Hiphop Ala Anak Muda Siak

Ia menggenggam kedua telapak tangan, lalu menempelkannya  ke bibir dan menarik nafas perlahan. Udara mengalir ke sela tangan yang dibuka-tutup dan menghasilkan bunyi-bunyian, Bum..cebebap..cebebup..bumm..cebebap..cebebup.

Fikri, namanya. Siswa kelas satu SMAN 2 Siak itu sedang berlatih beatbox, yaitu memainkan musik dengan mulut saja. Fikri dikelilingi tiga orang teman yang juga belajar beat. Membuat beat itu sulit, “Ini saja butuh sebulan untuk satu nada.”

Di sudut ruangan, ada Isda dan dua orang teman yang sedang diskusi gerakan dance modern. Isda, kakak kelas Fikri, baru belajar dance sejak bulan puasa. Ia lebih tertarik pada tarian modern, ketimbang tari Melayu. “Lebih asik aja,” ujarnya.

Ruangan ini penuh dengan bermacam aktivitas. Ada yang beatbox atau dance seperti Fikri dan Isda. Ada yang latihan rap. Ada juga yang  main gitar, bahkan sekadar mengisi daftar hadir. Ruangan begitu sibuk.
Mereka menamai diri Siak hip-hop clan. Komunitas ini berdiri awal 2012 dan kini memiliki anggota 15 orang. Ada yang masih SMP, SMA, dan ada pula yang sudah bekerja. Sekretariat mereka bersebelahan dengan Istana Siak. Ia ramai tiap Rabu, Sabtu, dan Minggu, dari siang hingga sore.

Menariknya, hiphop bagai virus di antara mereka. Agung, si ketua, mendengar musik hiphop pertama kali dari teman sekelas. Pertama mendengar, ia jatuh cinta. Kemudian, Agung memperdengarkan musik hiphop tersebut kepada Fikri, lalu Fikri suka. Begitu seterusnya. Atas dasar kesamaan tersebut, mereka dirikan komunitas ini.

Siak Hiphop Clan kerap diajak dengan kegiatan komunitas lain. Misalnya, mereka pernah ikut pertunjukan seni yang diadakan oleh Kampoeng Seni, komunitas seni di Siak di Gedung Maharatu. Di sana, Agung dan teman-teman memperlihatkan kepiawaian mereka ngebeatbox, sampai ngerap menyanyikan lagunya “Fade to Black.” Tepuk tangan dari penonton diberikan kala mereka selesai tampil. Mereka pulang dengan senang dan bangga, karena bisa menghibur masyarakat. Apalagi, keluarga juga mendukung kegiatan mereka ini, “Asal jangan lupa belajar,” kata Fikri lugu.
Kebanyakan mereka, belajar main beatbox ataupun latihan ngerap, dance secara autodidak. Diajarin sekali, dua kali, tiga kali, biasanya langsung ngerti.

“Siapa yang ngajarin?” saya bertanya.

Lalu Agung menunjuk seorang lelaki tambun, dengan kaus dan jeans gombrong yang berdiri di teras sekretariat. Ialah Chandra. Lelaki ini dulunya berencana membuat komunitas sejenis bersama teman-temannya, tapi gagal karena masing-masing sibuk. Saat mengenal Agung dan kawan-kawan, ia pun tertarik bergabung. Dan karena ia dianggap lebih paham soal hiphop, ia didaulat mentor bagi mereka.
“Ya hitung-hitung ada wadah positif bagi mereka. Daripada main ke warnet,” ujarnya. Kini, sembari bekerja sebagai pengelola rumah makan, ia  mengajari Agung dan kawan-kawan bagaimana membuat beat yang asyik, mengedit musik, sampai menjadi tempat curhat mereka.

Saya tanya bodoh-bodohan, “Nggak takut dibilang nggak cinta budaya Indonesia karena suka hiphop?”
Chandra, dan Agung serempak tertawa.

“Ya enggaklah. Hiphop ini kan cuma masalah selera,” ujar Agung.

Menurut Chandra, ada banyak kemiripan antara hiphop dan budaya Melayu. Misalnya, ngerap dengan pantun melayu. Sama-sama bersyair dan memiliki rima. Sama-sama memiliki pesan positif. Jika pantun Melayu berisi petatah-petitih, musik hiphop berisi cerita persahabatan dan kehidupan, “Ada banyak kesamaan, jadi wajar kita suka,” ujar Chandra.

Mereka juga tak marah kalau ada yang mengatakan mereka latah. Mereka baik-baik saja dengan anggapan itu. Yang penting, musik hiphop memberi dampak positif bagi mereka. “Musiknya enak didengar dan liriknya banyak bercerita tentang persahabatan dan semangat hidup,“ ujar Agung. Dan juga, mereka belajar keterampilan seperti beatbox yang siapa tahu, bisa berguna buat mereka nanti.
“Daripada duduk-duduk gak jelas kak,” timpal Fikri lugu.

Agung  dan teman-teman  berencana menggabungkan budaya Melayu dengan hiphop. Misalnya, menyanyikan lagu Melayu dengan beatbox atau menyelipkan gerakan tarian melayu dalam dance. “Supaya hiphopnya bisa diterima masyarakat, dan seni Melayunya juga gak hilang,” tutup Agung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *