Hock Siu Kiong

SONY DSC
Tepat pukul 11.00 pagi, sebuah bus  dengan plat mobil BM 7148 S berhenti di depan Hotel Mempura tempatku menginap, untuk menjemput perjalanan wisata kami pada kali ini. Bus bermerek Marcedes Benz tersebut dengan gagah beraninya meluncur ke istana Siak dalam perjalanan yang tidak begitu jauh, hanya berjarak  4 KM dari hotel.
Ketika tiba di Istana yang dibangun pada tahun 1989 itu, rombongan makan siang di tepi Sungai Siak. Setelah makan siang saya pun menunaikan shalat zuhur di Masjid Raya Syahbuddin (Di sini terdapat makam Sutan Syarif Kasim). Setelah shalat, saya  masuk ke dalam Istana Siak.
‘’Harga karcis Rp 3000,- bro,’’ kata Yosa Satrama Putra, salah seorang teman saya dari Pekanbaru.
Lalu saya masuk ke istana untuk melihat peninggalan benda milik Sultan Syarif Kasim (sultan Siak ke-12). Tak beberapa lama kemudian lalu saya minta izin pada salah seorang teman untuk pergi ke luar.
‘’Mau kemana bro,’’ tanya salah satu teman.
‘’Saya mau ke pasar, mana tahu ada bangunan sejarah lainnya yang menarik dilihat,’’ jawabku.
Pasar tak jauh dari lingkungan istana Siak. Saya lalu melewati jalan Sultan Ismail. Sebuah  bangunan bercat merah, dengan luas area kira-kira 50 meter berdiri dengan kokohnya. Bangunan itu klenteng atau vihara Hock Siu Kiong.
Vihara ini sudah ada sejak tahun 1888. Lebih tua dari Istana Siak. Bentuknya petak persegi, dengan halaman yang luas. Di halaman terdapat dua tempat pembakaran kim (kertas untuk sumbangan buat dewa). Ada juga patung singa dua buah. Dan ruang tengah tempat sembahyang untuk dewa dan dewi.
‘’Di sini kami setiap tanggal 1 dan 15 setiap bulannya dalam hitungan kalender imlek saya  melakukan sembahyang,’’ kata seorang perempuan paruh baya yang saya temui di vihara sedang melakukan sembahyang sambil membakar kertas kim dan dibakar di tempat pembakaran.
Perempuan itu mengaku baru tinggal di Siak. Jadi ia tak tahu bagaimana sejarah klenteng Hock Siu Kiong. ‘’Coba kamu tanya saja sama Bapak itu,’’ ujarnya sambil pergi dari klenteng.
Bapak yang dimaksud perempuan tadi adalah Chai Tsey, 45 tahun. Ia sudah hampir tiga tahun bekerja di klenteng yang diketui oleh Kho Tian Cing alias Mempura Mukhtar. Penjaga kelenteng bertugas untuk membersihkan, mengawas serta meyiapkan bahan untuk sembahyang bagi umat budha.
Bapak yang sudah punya dua anak ini pun memperlihatkan dokumen mengenai apa saja tentang klenteng pada saya. Saya pun mencatatnya di selebaran kertas. Di dokumen pada surat keputusan rapat 15 April 2003, umat Budha Siak menunjuk ketua klenteng Mempura Muktar. Wakilnya Thi Cing Hun. Sekretarisnya Khu Kong Seng. Serta bendaharanya Joni dan wakil bendahara Wi Ciu Kin.
Selain itu masih ada juga dokumen yang terpampang sebelah kanan ruang tengah vihara yang dapat dibaca. Kali ini, penjaga klenteng yang hanya  bersekolah sampai  kelas II SD itu, melihatkan bukti Tanda Daftar Tempat Ibadat Agama Budha dari Kementrian Agama dengan nomor kw.04./BA.04/16/2013.Ditandatangani oleh pembimbing Masyarakat Budha Tarjoko S.Pd. Surat tanda daftar tempat ibadat vihara berlaku hingga 14 Februari 2017.
‘’Kalau mengenai sejarah yang rinci saya tak tahu dek,’’ bebernya sambil merokok.
Aktivitas sehari-harinya dimulai dari pukul tujuh pagi. Vihara ditutup pada pukul delapan malam. Vihara Hock Siu Kiong selalu ramai dikunjungi saat imlek.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *