Hak atas Air sebagai Hak Asasi Manusia

unnamed


M. Islah
Manager Kampanye untuk Kedaulatan Air dan Pangan, Eksekutif Nasional WALHI

 

Air adalah salah satu kebutuhan paling pokok bagi keberlanjutan kehidupan manusia, tumbuhan, hewan dan mahluk hidup lainnya di muka bumi ini.

Tanpa air mahluk hidup di bumi akan punah, maka untuk keberlanjutan kehidupan, alam menyediakan air bersih terus menerus melalui daur hidup air yang kita kenal sebagai siklus hidrologi. Pun demikian, cara hidup manusia di alam seringkali tidak menyesuaikan dengan daur hidup alam, sehingga siklus hidrologi dan pemenuhan kebutuhan air oleh alam terganggu.

Saat hujan turun, maka seyogyanya air meresap maksimal kedalam tanah mengisi danau dan rawa sebagai simpanan air dimusim kemarau. sisanya akan menjadi air permukaan yang mengalir melalui sungai sungai, memberi layanan bagi setiap mahluk hidup di daratan yang dilalui hingga akhirnya menuju lautan.

Namun rusaknya daerah hulu karena penebangan, perubahan fungsi lahan dan perubahan bentang alam menyebabkan air hujan tidak lagi maksimal meresap kedalam tanah.

Air permukaan menjadi berlimpah tidak tertampung di danau dan sungai sehingga menjadi bencana banjir. Disaat musim kemarau tiba, karena terbatasnya simpanan air maka yang terjadi adalah bencana kekeringan. Dilihat secara kwalitas, pencemaran terhadap tanah dan air  juga menyebabkan sumber air bersih menjadi semakin berkurang sementara kebutuhan air terus meningkat.

Kerusakan lingkungan hidup dan ketidakadilan distribusi air di dunia, telah menyebabkan berbagai dampak mencengangkan. Sehingga di dunia terdapat sekitar 884 juta orang tidak memiliki akses air minum yang aman, terdapat 2.6 milyar tidak memiliki akses terhadapa sanitasi dasar, sekitar 1,5 juta anak di bawah 5 tahun mato dan 443 juta hari sekolah hilang setiap tahun akibat air dan sanitasi-terkait penyakit.

Melihat dampak yang begitu besar tersebut, pada tahun 2010, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui sebuah pemungutan suara dalam majelis umum mengeluarkan sebuah resolusi tentang hak atas air dan Sanitasi “The Human Right to Water and Sanitation”. Resolusi ini, sesuangguhnya mempertegas akan pentingnya pemenuhan hak dasar manusia yang sebelumnya telah diatur dalam Konvenan hak Ekonomi Sosial dan Budaya, maunpun resolusi badan HAM PBB tentang akses kepada air bersih dan Sanitasi.

Pengakuan hak atas air sebagai hak asasi manusia berarti negara dan organisasi internasional mempunyai kewajiban untuk mengalokasikan dana, pembangunan kapasitas, transfer teknologi khususnya kepada negara berkembang dalam menyediakan air dan sanitasi yang bersih, aman, terjangkau.

Dalam kerangka agar dapat terpenuhi dan terjaganya hak atas air ini, maka berbagai hal yang berkaitan, mendukung dan mempermudah pemenuhan hak atas air ini harus pula dijamin keberlangsungannya.
Seperti menjamin keberlangsungan hutan, sungai, danau, pesir dan pemenuhan atas lingkungan hidup yang bersih, sehat, bebas dari pencemaran, termasuk didalamnya bebas dari upaya-upaya yang menghambat terpenuhinya keadilan pemenuhan hak atas air.

Karena jika pemenuhan hak atas air hanya dilihat dari sisi struktur pemenuhan di hilir, yaitu sebatas menyediakan air perpipaan kepada warga negara, maka akan sulit bagi Negara-negara berkembang untuk memenuhinya.

karena kerusakan lingkungan dan privatisasi sumber air menyebabkan air semakin langka dan biaya pemurnian air semakin mahal. Hal terakhir seringkali menjadi sebab tidak terjangkaunya air bagi kebanyakan warga Negara yang berpenghasilan rendah. Ini juga berpotentsi pada semakin kuatnya dorongan agar air di jadikan barang komoditas (komudifikasi) yang diperjual belikan yang justru makin menyulitkan pemenuhan hak atas air secara adil, karena air akan dialirkan terutama kepada warga yang siap membayar saja.

Pemenuhan Hak Atas Air di Indonesia
Sebagai salah Negara yang ikut menandatangani resolusi PBB 64/292 tentang Hak atas Air dan Sanitasi, maka sesungguhnya Indonesia mempertegas sikap Negara dalam menjalankan pasal 33 ayat 3 Undang Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan demikian hak atas air dan pemanfaatan kekayaan alam lainnya bagi rakyat telah diakui sejak Indonesia merdeka.

Pun demikian penegakan konstitusi tidak serta merta dijalankan oleh Negara, air yang merupakan barang publik, justru pengelolaannya diserahkan kepada swasta, sehingga tidak semua rakyat dapat terpenuhi haknya, karena swasta mengejar keuntungan dalam pengelolaannya.

Dampaknya di Indonesia, banyak warga miskin tidak dapat mengakses air bersih sementara air sungai maupun sumur yang biasa mereka gunakan telah tercemar. Sementara Kerusakan Daerah Aliran Sungai, privatisasi mata air dan pencemaran di desa dan kawasan sekitar hutan telah menyebabkan hak atas air warga yang sebelumnya telah dipenuhi oleh alam menjadi hilang.

Oleh karena itu pemenuhan hak atas air terkait erat dengan menjalan amanat konstitusi diatas. Bahwa air harus dikuasai oleh Negara dan dimanfaatkan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Frase “dikuasai negara” dan “sebesar besarnya kemakmuran rakyat” seringkali di moderasi oleh pelaksana negara, dalam prakteknya pelaksana negara kemudian menyerahkan pengelolaannya kepada swasta ataupun asing.

Alasan yang seringkali dipergunakan adalah bahwa pihak swasta lebih profesional dan efisien, walaupun fakta yang terjadi tidak demikian.
Sebagai contoh dalam pengelolaan air oleh swasta di Jakarta, profesionalisme dan efisiensinya sangat rendah sehingga warga negara dirugikan. Kebocoran air yang tinggi, distribusi air yang belum menyentuh seluruh lapisan warga dan akhirnya Pemerintah daerah DKI Jakarta dirugikan.

Untuk itu menjadi penting merujuk kepada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yang bertugas menjaga konstitusi.
Dalam putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010, Mahkamah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “dikuasai Negara” adalah negara mempunyai kewenangan untuk membuat kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, pengawasan.

Mahkamah juga menjelaskan bahwa makna “sebesar besarnya kemakmuran rakyat” harus memenuhi empat hal yaitu: kemanfaatan sumberdaya alam bagi rakyat, tingkat pemerataan sumberdaya alam bagi rakyat, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumberdaya alam dan penghormatan terhadap hak rakyat turun temurun.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *