Jokowi Harus Hentikan Diskriminasi di Papua

 

Benny Giay mengunjungi Filep Karma di penjara Abepura hari Minggu, 30 November 2014, guna bicarakan persiapan peluncuran buku "Seakan Kitorang Setengah Binatang."
Benny Giay mengunjungi Filep Karma di penjara Abepura hari Minggu, 30 November 2014, guna bicarakan persiapan peluncuran buku “Seakan Kitorang Setengah Binatang.”

Presiden Joko Widodo harus hentikan semua diskriminasi dan rasialisme di Tanah Papua, dari impunitas para pelanggar hak asasi manusia sampai pembatasan wartawan independen berkunjung ke Papua, demikian seruan penerbit buku Deiyai.

Dr. Benny Giay, ketua perusahaan penerbitan buku Deiyai, mengatakan rasialisme dan diskriminasi tersebut disuarakan oleh Filep Karma, seorang tahanan politik di penjara Abepura, dalam bukunya Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua, yang diluncurkan hari ini di Jayapura. Hari ini persis 10 tahun Karma dipenjara sejak dia pidato soal peminggiran terhadap etnik Melanesia di Tanah Papua pada 1 Desember 2004.

“Filep Karma tak bisa keluar dari penjara. Saya mewakili dan minta pemerintah Indonesia hentikan diskriminasi dan rasialisme terhadap orang kulit hitam, rambut keriting, yang disebut Papua,” kata Benny Giay.

“Sudah 10 tahun Karma dipenjara karena bicara aspirasi Papua Merdeka dengan damai, tanpa kekerasan. Apa bedanya dengan orang di Jawa bicara khilafah Islamiyah? Saya harap Presiden Jokowi sadar bahwa Filep Karma seharusnya dibebaskan.”

Buku ini hasil wawancara dengan Filep Karma selama dua tahun. Wawancara dilakukan dalam penjara dan rumah sakit ketika dia berobat. Karma memeriksa semua transkrip, bantu riset data, bolak-balik dengan redaksi Deiyai, serta setuju dengan hasil final. Ia berisi lima bagian, mulai cerita masa kecil di Wamena dan Jayapura, Biak berdarah hingga kritik terhadap pelaku perjuangan Papua Merdeka.

Karma cerita soal bagaimana militer dan polisi Indonesia melanggar hak asasi manusia lewat berbagai operasi. Pelakunya, kebal hukum termasuk dalam pembantaian Biak pada 6 Juli 1998 ketika ratusan orang Papua ditangkap, dipukul dan mayat mereka dibuang ke laut. Karma juga cerita soal anak-anak yang lahir dari pemerkosaan oleh serdadu Indonesia.

Dia juga cerita bagaimana warga Papua, sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 sampai hari ini dengan “sistem noken” –dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi– masih tidak diberi hak one man one vote. Wartawan independen dan organisasi hak asasi manusia juga dibatasi masuk ke Papua sejak 1963. Ini beda dengan wartawan mau datang ke kota lain di Indonesia. Tiada izin khusus bila ada wartawan asing mau ke Pekanbaru atau Makassar.

Secara pribadi, Karma juga cerita bagaimana ketika dia kuliah di Solo pada 1990an, dia sering disebut sebagai “monyet” atau “koyo ketek” (kaya kera). Orang juga sering tutup hidung ketika berdekatan dengan orang Papua. Ini bukan saja di Jawa tapi juga di Papua, oleh para pendatang yang tinggal dari Sorong sampai Merauke, dari Wamena sampai Paniai. Karma berpendapat orang Papua yang hitam, rambut keriting, dianggap “setengah binatang.” Karma mendapat pencerahan ketika dia kuliah di Manila, Filipina, dan kembali ke Papua pada Mei 1998.

Karma dipenjara sesudah pidato soal peminggiran etnik Papua dan menaikkan bendera Bintang Kejora di lapangan Abepura pada 1 Desember 2004. Dia ditangkap, diadili, dihukum makar dan dipenjara 15 tahun oleh pengadilan Abepura. Dia banding namun kalah oleh pengadilan tinggi Papua serta belakangan oleh Mahkamah Agung di Jakarta. Dia lantas banding ke Perserikatan Bangsa-bangsa di New York dengan bantuan hukum pro-bono oleh Freedom Now di Washington DC.

Pada November 2011, UN Working Group on Arbitrary Detention di New York memutuskan pengadilan Indonesia tidak memberikan fair trial kepada Karma. Pasal-pasal soal makar dari Kitab Hukum Undang-undang Pidana ditafsirkan secara tidak proporsional. Mereka minta pemerintah Indonesia membebaskan Karma “sesegera mungkin dan tanpa syarat.” Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak pernah menanggapi peradilan PBB.

“Sudah 10 tahun Filep Karma dipenjara. Saya kira gunanya adalah hati nurani bangsa Papua. Dia konsisten berjuang untuk kebenaran dan cara damai. Dia tak punya kekuasaan, tak punya organisasi, tak punya pengikut. Dia tahu bangsanya lemah. Dia berjuang dengan sikap saja,” kata Giay.

“Di Papua, banyak orang bisa dibeli … dengan uang, kedudukan, gelar dan janji-janji. Namun Filep Karma menolak untuk dibeli. Dia menunjukkan bahwa orang Papua punya harga diri. Dia adalah hati nurani bangsa Papua,” kata Giay.

James Elmslie, seorang profesor dari Universitas Sydney yang menulis buku Irian Jaya Under the Gun: Indonesian Economic Development versus West Papuan Nationalism, menuliskan pengantar buku Karma. Menurut Elmslie, “Judul bukunya adalah ungkapan kuat yang menjelaskan 52 tahun salah penanganan Papua Barat oleh pemerintah Indonesia. Hingga kini, orang Papua Barat diperlakukan ‘setengah binatang’ di seluruh pelosok negeri, dari Jayapura hingga Wamena di Pegunungan Tengah.”

Elmslie pernah tinggal beberapa tahun di Papua. Ia menyatakan buku Karma memberi perspektif baru sehingga pembaca memahami benar perlakuan Indonesia terhadap Papua Barat. “Filep Karma menjelaskan perlakuan kejam Indonesia terhadap orang Papua ini karena dasar rasialisme mendalam.”

Dukungan terhadap buku ini ditulis tujuh orang termasuk dari Carmel Budiardjo, pendiri organisasi Tapol.