Komunitas Agama Tolak Senjata Nuklir

Julia Rainer

WINA (IPS) – “TAK pernah ada kebutuhan yang lebih besar daripada sekarang bagi semua agama bersatu, mendorongkan kearifan mereka, dan memberi manfaat dari persatuan ini, gudang kearifan untuk hukum internasional dan untuk dunia.”

Kata-kata itu meluncur dari Christopher Weeramantry, mantan hakim Mahkamah Internasional (ICJ) dan wakil ketuanya pada 1997-2000, yang berbicara dalam sebuah sesi tentang bersatunya agama-agama melawan senjata nuklir dalam forum masyarakat sipil yang diadakan International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN) pada 6-7 Desember lalu di Wina, ibukota Austria.

Weeramantry mengkritik keras argumen yang mengklaim senjata nuklir telah menyelamatkan dunia dari perang dunia lain selama 50 tahun terakhir.

Dia menegaskan bahaya selalu hadir dari senjata ini dan beruntung dalam berbagai peristiwa kita terhindari dari bencana kecelakaan nuklir atau pecahnya perang nuklir yang menghancurkan.

Mantan Hakim ICJ Christopher Weeramantry. Sumber :Henning Blatt, Wikimedia
Mantan Hakim ICJ Christopher Weeramantry. Sumber :Henning Blatt, Wikimedia

Menekankan bahwa senjata nuklir “melanggar setiap prinsip tunggal agama,” Weeramantry menjadi bagian dari diskusi panel bersama sejumlah pemimpin agama berbeda. Antara lain Mustafa Ceric, mufti besar Bosnia dan Herzegovina; Ela Gandhi, cucu Mahatma Gandhi dan aktivis perdamaian; serta Akemi Bailey-Haynie, pemimpin perempuan nasional Soka Gakkai Internasional-USA, organisasi Budha.

Kendati sering ada perbedaan sikap di antara komunitas agama yang berbeda mengenai berbagai isu, semua panelis sangat jelas menekankan pentingnya moral dan menyatakan nilai-nilai sama yang melekat pada semua agama.

Menurut Mustafa Ceric, ini “bukan masalah apakah Anda percaya, tapi apakah kita hanya menunggu dan menyaksikan kehancuran planet kita.”

Ceric juga menekankan, tujuan dan nilai-nilai kemanusiaan ditentukan standar moral dan etika umum dan bahwa peran komunitas agama hari ini lebih besar daripada sebelumnya. Menghadapi ketakutan dan ketidakpercayaan masyarakat, dia mengatakan, mereka juga punya tanggungjawab untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia.

Akemi Bailey-Haynie melanjutkan dengan pernyataan emosional dari pengalaman langsung –ibunya sendiri adalah penyintas dari bom Hiroshima pada 1945.

“Ketika senjata nuklir dianggap sebagai alat pencegah atau pilihan yang layak dalam perang, ini sepertinya berasal dari pola pikir yang pada dasarnya menyangkal bahwa manusia memiliki potensi tak terbatas. Tak seorang pun berhak merengut kehidupan orang lain yang begitu berharga.”

Bagi Bailey-Haynie, senjata nuklir tak melayani tujuan lain selain kehancuran massal. Ia punya efek luar biasa merusak bagi manusia dan lingkungan, dan kemungkinan terjadinya bencana nuklir atau potensi terorisme tak bisa dikesampingkan. Dia menambahkan, dialog di antara orang-orang yang memiliki pendapat berbeda atau bertentangan adalah awal untuk mencapai perubahan terkait isu ini.

“Sebagai penyintas generasi kedua, saya merasakan kesedihan, juga kemarahan, yang dibawa sejak lahir karena tak mampu hidup di masa ketika senjata paling tak manusiawi, senjata nuklir, telah dilarang,” pungkasnya.

Desmond Tutu, peraih Nobel Perdamaian dan mantan uskup Anglikan, mengirim pesan video kepada para peserta untuk mengungkapkan solidaritasnya yang mendalam dan dukungan bagi inisiatif forum masyarakat sipil di ICAN.

Dia menyatakan, cara terbaik untuk menghormati para korban peristiwa di Hiroshima dan Nagasaki adalah menetapkan pelarangan penuh senjata nuklir untuk memastikan tak terjadi peristiwa serupa lagi.

Dua pembicara pada sesi itu, Ela Gandhi dan Mustafa Ceric, juga menghadiri Konferensi Wina tentang Dampak Kemanusiaan Senjata Nuklir pada 8-9 Desember.

Di sana Ela Gandhi menyampaikan pidato mengenai semangat kakeknya yang, menurutnya, akan bergabung dengan gerakan penghapusan senjata nuklir ini jika masih hidup.

Gandhi telah mendedikasikan hidupnya untuk mengajarkan manusia bahwa ada cara tanpa kekerasan untuk mengatasi konflik. Dia bahkan mengutuk senjata nuklir pada 1946 saat berkata: “Karakter bom atom adalah amoral, tidak beretika, adiktif, dan hanya kejahatan yang dihasilkannya.”

Menyadari keberadaan senjata nuklir mendorong negara-negara rival mempersenjatai diri dengan senjata yang sama, Ela Gandhi mengingatkan bahwa senjata nuklir bisa merusak kesempatan generasi selanjutnya untuk bertahan hidup dan memiliki kehidupan yang sejahtera.

Konferensi Dampak Kemanusiaan Senjata Nuklir merupakan tempat diskusi yang intens dan terkadang emosional di antara perwakilan resmi dari lebih 160 negara, korban, dan peserta masyarakat sipil. Terutama, untuk kali pertama wakil Amerika Serikat dan Inggris secara resmi hadir dalam sebuah konferensi di mana senjata nuklir mereka menjadi subjek perdebatan dan kritik.

Agama memainkan peran penting pada konferensi tersebut, di mana banyak kelompok lobi punya latar belakang agama, dan pidato pembukaan disampaikan Paus Francis.

“Saya yakin keinginan untuk perdamaian dan persaudaraan, yang tertanam jauh di lubuk hati manusia, akan berbuah dengan cara nyata untuk memastikan senjata nuklir dilarang sekali dan untuk semua, untuk kepentingan rumah kita bersama,” kata Paus Francis, mengungkapkan harapannya agar, “dunia tanpa nuklir benar-benar mungkin.”

Dalam sebuah pernyataan atas nama komunitas agama pada sesi terakhir, Kimiaki Kawai, direktur program Urusan Perdamaian Soka Gakkai International (SGI), mengatakan: “Penghapusan senjata nuklir bukan hanya kewajiban moral; ia adalah ukuran utama dari nilai-nilai kita sebagai spesies, sebagai manusia.”

Dia mengatakan bahwa “dukungan atas keberlangsungan senjata nuklir menghambat kemampuan kita untuk berpikir lebih luas dan penuh kasih tentang siapa kita sebagai manusia, dan apa potensi kita. Kemanusiaan harus menemukan cara-cara alternatif untuk mengatasi konflik.”*

Penerjemah Imam Shofwan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *