Orde Baru Jungkirbalikkan Sejarah Indonesia

Sejarah yang kita pelajari selama ini kebanyakan satu versi: orde baru. Lalu bagaimana anak mudanya, termasuk saya untuk tahu soal kebenaran sejarah Indonesia yang selama ini dijungkirbalikkan rezim diktator Soeharto?

Sejarah Indonesia sesungguhnya tidak dapat dipandang berdiri sendiri, dan bisa berkait saling pengaruh-mempengaruhi dengan sejarah dunia. Melihat sejarah dari Belanda yang pernah menjajah juga perlu ditelusuri.

Dalam buku ini Saling silang Indonesia-Eropa (Marjin Kiri, 2013) Joss Wibisono mengurai hubungan Indonesia- Eropa dalam berbagai aspeknya, mulai dari musik, sejarah sampai bahasa. Contohnya, bagaimana mitos dijajah 350 tahun begitu lekat diingatan, dan kosakata Indonesia diserap bahasa Belanda.
Pada bab soal 350 tahun dijajah, Joss Wibisono menyampaikan keberatan mengapa angka 350 itu salah, dan bagaimana sebaiknya kita melihat penjajahan Belanda dengan berbagai macam aspek negatifnya. Pernyataan “Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun” mengandung ketidakbenaran dan salah persepsi.

Joss Wibisono menulis begini “…pertama-tama angka 350 tahun itu saja sudah salah. Ini diperkuat dengan kutipan sejarah, Belanda mulai menjajah Indonesia dengan berdirinya VOC pada 1602. Kalau memang awal penjajahan dari 1602 bila ditambahkan 350 tahun maka kita baru merdeka pada 1952! Jadi bagaimana dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 27 Desember 1949?.”

Kalau pun Indonesia dijajah oleh Belanda, paling maksimal 340 tahun itu pun hanya daerah Maluku dan wilayah Banten yang kebetulan sebagai markas besar VOC. Bagaimana dengan daerah lain seperti Aceh, Bali? Aceh sendiri baru bisa ditaklukan pada 1904 ( bahkan Belanda baru sepenuhnya berkuasa di sana pada 1912), sedangkan Bali pada tahun 1906. Dengan begitu dapat dilihat bahwa Aceh dan Bali maksimal dijajah oleh Belanda kurang lebih selama 38 tahun dan Bali 36 tahun. Kita tidak bisa pukul rata bahwa seluruh wilayah Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun!

Kesalahan lain selain itu, yaitu menyebut ‘Indonesia’. Seolah-olah Indonesia sudah lama ada dan 350 tahun dijajah belanda. Padahal Indonesia baru diproklamasikan kelahiranya pada 17 Agustus 1945. Sebelum itu yang hanyalah Hindia Belanda, dan sebelum itu pada abad 19, yang ada adalah Kesultanan Aceh, Kerajaan Bone, Kerajaan Klungkung, dst. Indonesia sebagai sebuah negara belum ada.

Ejaan Jadul
Esai soal EYD Versus Edjaan Djadoel, lebih menarik lagi. Bahkan satu bab khusus menggunakan ejaan Soewandi. Ejaan yang tidak pernah saya gunakan di sekolah! Indonesia sempat berganti-ganti soal ejaan. Pertama, ejaan Van ophuysen pada era Hindia Belanda yang berlaku sampai 1947. Kedua ejaan Suwandi (atau Republik) yang berlaku dari 1947-1972, dan terakhir ejaan yang disempurnakan yang berlaku dari 1972 hingga sekarang (EYD).

Alasan resmi kebijakan menggunakan EYD ini adalah untuk membuka pasar cetak bersama dengan Malaysia. Tetapi di balik itu, untuk memberi batas tegas pada apa yang ditulis di bawah kediktatoran Soeharto dengan apa yang diterbitkan sebelumnya.
Salah satu bentuk tindakan kediktatoran pada masa orde baru antara lain mencurigai setiap orang yang menerapkan ejaan Van Ophuysen, pengasingan, membunuh semua kalangan kiri (Komunis) yang sebagian besar adalah penulis seperti hikayat, cerpen, dll, dalam bentuk ejaan Van Ophusyen. Hasilnya banyak generasi muda yang kesulitan untuk membaca buku-buku lama. Atau apa yang disebut Benedict Anderson historical labotomy (kebuntetan sejarah).

Tentu timbul pertanyaan, lalu kenapa kita tidak diajarkan untuk berbahasa Belanda seperti negara-negara dunia ketiga lainnya?
Kees Groeneboer, Direktur Pusat Bahasa Belanda Eramus di Jakarta, berpendapat bahwa ketika tiba di Nusantara pada akhir abad ke-16, Belanda mendapati bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca, bahasa pengantar. Sehingga mereka tidak perlu mengenalkan bahasa Belanda. Dan kedua Groeneboer berpendapat bahwa sebagian besar wilayah Nusantara sudah beragama Islam, setelah wilayah ini diduduki, warganya tetap dibiarkan menggunakan bahasa Melayu, alhasil ini permainan politik kolonial Belanda agar warganya tidak begitu merasakan penjajahan. Ketiga, bahwa Belanda datang ke Nusantara sebagai sebuah perusahaan dagang VOC.

Penguasa kolonial sama sekali tidak berminat menyebarkan bahasa Belanda, mereka khawatir semakin banyak warga Hindia bisa berbahasa Belanda, maka banyak pula kalangan intelektual yang menghendaki kebebasan, kemandirian dan akhirnya kemerdekaan.
Keterbukaan terhadap sejarah, mengajarkan kita untuk tidak langsung menerima begitu saja, serta kita dapat mengetahui bagaimana cara pandang dari orang Belanda terhadap sejarah di Indonesia. Terlebih-lebih Joss Wibisono menulis persoalan ini dengan ringan namun mendalam, sehingga lebih gampang dipahami untuk semua kalangan, mulai dari pelajar, mahasiwa, maupun bangsa Indonesia secara umum. Dan buku ini memberi sumbangan penting bagi histroriografi Indonesia. Magang (Wira Fras Sukma)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *