Karhutla : Diantara Bencana, Kejahatan Dan Regulasi

Apakah ungkapan Negeri Diatas Awan akan kembali mencuat sebagai bentuk bullian atas keresahan masyarakat kepada pemerintah dan penegak hukum yang dianggap gagal dari tahun ke tahun menghadapi kasus Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla).

Barangkali itulah ungkapan yang pas atas kekecewaan masayarakat yang telah bergelut dengan asap beracun sejak delapan tahun terakhir. Hal ini menisbahkah mengenai keseriusan penegakan hukum dari pemerintah perlu dipertanyakan. Bagaimana tidak ketika virus yang lahir dari kesengajaan itu dapat mengancam kesehatan hingga jatuh korban, dan ketika rutinitas pendidikan dan taransportasi menjadi terhambat ditambah masalah kerusakan lingkungan yang sudah tidak lagi menjadi pertimbangan.

Prestasi delapan tahun itu seharusnya menjadi referensi kebijakan pemerintah dan pelajaran bagi penegak hukum dalam segala upaya di konteks pemberantasan dan pencegahan. Mindset pencegahan dan pemberantasan di level pemerintah dan stake holder nya seharusnya bukan lagi bagaimana menyediakan masker dan obat-obatan yang dapat mempengaruhi simpati publik atas keperhatiannya.

Ketegasan pemerintah sangat dinantikan dalam konteks regulasi di negara yang katanya negara hukum ini, karena kebakaran hutan harus mampu membuat pelakunya kebakaran jenggot. Tinggal bagaimana regulasi itu dapat di ciptakan tanpa disentuh oleh kepentingan-kepentingan yang dapat menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Ungkapan diatas dapat diasumsikan bahwa sebagian besar kasus Karhutla merupakan praktik organized crime atau kejahatan terorganisir yang didalangi kaum-kaum kerah putih— White Collar Crime. Para pelaku dengan otoritas dan kapasitasnya memistifikasikan praktik pembakaran hutan menjadi kesalahan mutlaknya, sehingga hukum tidak dapat menyentuh pelaku sebenarnya.

Jika melihat dengan teropong awam, kasus Karhutla adalah suatu musibah yang lahir tanpa kesengajaan, asumsi publik harus sedikit beranjak dari pemikiran demikian. Lalu siapa? kita tidak perlu bingung memikirkan itu. Karena konsep kejahatan seperti ini tidak akan pernah berakhir selagi hukum sulit menembus benteng yang dibangun berdasarkan kepentingan dan bisa jadi berpondasikan transaksional antara mereka yang mampu mencengkram regulasi.

Sebagai seorang mahasiswa Kriminologi, saya tidak menyalahkan persepsi umum seperti di atas, meski kurang juga setuju. Menurut hemat saya, realita Karhutla di Riau dan Indonesia umumnya merupakan konsekuensi logis dari kegagalan kebijakan pengelolaan pertanahan atau lahan oleh negara yang tidak memberikan proteksi terhadap kemaslahatan lingkungan hidup dan sosial. Sekali lagi bukan melulu pada persoalan penegakan hukum, sekalipun penegakan hukum hadir, tidak menjamin fenomena Karhutla hilang.

Bila dilihat dari aspek lingkungan hidup, sebagian besar lahan-lahan perizinan di Riau merupakan lahan gambut yang masuk dalam kategori lahan gambut dalam. Secara teori, lahan gambut dengan kategori dalam adalah lahan yang sama sekali tidak boleh dikelola atau diterbitkan izin untuk dieksploitir.

Hal ini sebagai prinsip alamiah dalam rangka menjaga lahan gambut terhindar dari kekeringan. Jika lahan dalam kategori tersebut dirambah, maka dapat dipastikan gambut di bawahnya akan mengalami kekeringan, dan kasus kebakaran menjadi wajib hukumnya (rentan).

Dan apabila terbakar sudah barang tentu tidak akan dapat dipadamkan, karena yang terbakar bukan kayu atau minyak yang dapat dijinakan oleh air, melainkan gambut dan tanah.

Sementara dari sisi objeknya, gambut dan tanah jika terbakar, maka yang muncul bukanlah api yang menyala melainkan kepulan awan asap berkadar karbondioksida yang tidak akan berhenti sebelum datangnya hujan dengan intensintas tinggi dan terus menerus, atau bila areal gambut yang terbakar tersebut habis.

Sementara dilihat dari aspek sosial,lahan hutan bagi Masyarakat Riau memiliki fungsi ekonomis tanpa harus melakukan illegal logging. Belum lagi aspek sosial terkait dengan kesehatan. Semua kalangan sudah faham dengan dampak kabut asap beracun yang ditimbulkan dari Karhutla. Dari resiko kematian dikarenakan kegagalan pernafasan seperti yang menimpa beberapa jumlah anak-anak pada periode yang lalu, penyakit ISPA secara massif, sampai potensi resiko kesehatan dalam jangka panjang bagi Generasi Muda Riau menjadi mengkhawatirkan.

Kenyataan-kenyataan di atas, sudah barang tentu merupakan pil pahit bagi masyarakat di Riau untuk dapat hidup sehat secara normal. Sekiranya kenyataan-kenyataan seperti itu tidak difahami oleh Negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) sebagai problem sosial yang harus dihapuskan mata rantainya, maka secara teoritis ini dapat dikatakan bagian dari realita Viktimisasi Struktural. Dimana masyarakat menjadi korban (disadari atau tidak) akibat dari bekerjanya sistem yang tidak cakap.

Mengadopsi pemikiran R. Elias (1986), bahwa Viktimisasi Struktural sebagai Abuse Of Power And Human Rights. Mengapa Viktimisasi Struktural saya pakai sebagai konsep untuk menganalogikan dampak asap gambut dalam tulisan ini, adalah karena tidak tepatnya reaksi atau pendekatan dari Negara dalam menyikapi dampak dari fenomena karhutla lahan gambut.

Pendekatan yang digunakan lebih mengarah pada pola-pola reaksioner saat kebakaran lahan gambut terjadi. Katakanlah mempersiapkan pasukan pemadaman, membuat kanal, hujan buatan dan sebagainya. Mindset pencegahan seperti itu tidaklah mencerminkan kemauan yang sungguh-sungguh dalam rangka melenyapkan secara total fenomena Karhutla untuk tidak lagi terjadi. Sebab, cara-cara itu hanya bersifat situasional tanpa menghilangkan dasar penyebabnya.

Artinya cerita Karhutla tetap akan kembali hadir saat musim kemarau tiba pada masa berikutnya, dan saat itu pula masyarakat kembali menghirup udara beracun yang berbahaya tersebut.

Kebingungan saya selaku mahasiswa Kriminologi terhadap fenomena kabut asap yang ditimbulkan dari karhutla yang terus berulang itu, memunculkan pertanyaan besar sekaligus jawaban dalam diri saya.

Pertanyaan mengapa karhutla seakan tidak dapat dihilangkan, adalah karena mosi kebijakan masih belum sepenuhnya mengarah pada kemauan tersebut. Akar kemauan dari itu semua adalah terletak pada perbaikan total terhadap seluruh regulasi yang berkaitan dengan pertanahan. Sebab tanpa itu, saya pesimis terhadap Riau dan Indonesia umumnya terlepas dari fenomena kabut asap yang ditimbulkan dari kasus karhutla selama lahan gambut belum habis terbakar.

Mengambil analisis Melzoff oleh Green dan Tony (2004) dalam studi State Corporate Crime di Amerika, bahwa Negara dan Korporasi adakalanya terkoneksi dalam arah kepentingan, dan arah kepentingan tersebut bermuara pada kebijakan regulasi yang mendukung kemauan Korporasi. Mengacu pendapat Melzoff tersebut, wajar kiranya analisis Herry Purnomo—peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR)—dalam penelitiannya yang berjudul Ekonomi Politik Kebakaran Hutan dan Lahan, melihatdari sisi pelaku pembakar hutan, sangat sulit untuk diungkap atau dikriminalisasikan dikarenakan dinamika kekuatannya berkait dengan konstelasi politik.

Alhasil, tiada apa yang dapat mencegah Karhutla, bukan pasukan pemadam, bukan hujan buatan, bukan pula masker atau obat gratis saat fenomena asap terjadi. Itu semua upaya jangka pendek yang mengabaikan masalah dasar. Opsinya adalah Negara harus berani mengambil sikap mengembalikan fungsi lahan yang terlanjur tereksploitasi melalui regulasi ulang terkait.

Penulis.
Nama : Zunnur roin
Jur/fak: Kriminologi / Fisipol UIR
Alamat: Jl. Jendral Sudirman Pekanbaru
Cp : 085365309598
Email : [email protected]

Editor : Rifal Fauzi
Foto : faktapost.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *