Politik Kampus: Angin Menuju Generasi Emas.

OPINI, Oleh : Teuku Farhan, Mahasiswa Universitas Islam Riau
Foto : sulsel.pojok.satu.id

Pekanbaru, UIR, aklamasi.net-“Saya mengajak Anda semua Mahasiswa memahami kembali watak Politik idealis Kampus agar tidak tergelincir pada pandangan yang salah”.

Sebentar lagi ada pesta demokrasi berupa pemilu raya mahasiswa di universitas kita tercinta. Selama ini pesta demokrasi tersebut kerap identik hanya dengan aktivitas sekelompok mahasiwa idealis.

Anda tentu mendengar mengenai Aktivis Idealis. Mahasiswa idealis itu bercirikan mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change) dan agen kontrol sosial (agent of social control). Mahasiswa bertipe aktivis idealis ini biasanya adalah seorang yang identik dengan aktifitas perpolitikan di kampus. Senang melakukan kajian-kajian terhadap kebijakan umum dan bertipe pengktirisi kebijakan di universitasnya.

Mahasiswa idealis juga orator kampus, mengikuti semua kegiatan-kegiatan pengembangan kepribadian dan pembentuk watak Leadership (artinya Sifat Kepemimpinan). Biasanya mahasiswa dengan jiwa aktivis idealis memiliki pandangan luas terhadap dinamika politik kampus serta kebijakan kampus.

Mahasiswa idealis bergerak berawal dari hati nurani ingin menjadi seorang mahasiswa yang tidak mau di kangkangi oleh pemerintahan dan tidak ingin menjadi boneka mainan oleh orang yang berkepentingan. Kerap kali konsistensi dan pendirian teguh. seorang mahasiswa berjiwa aktivis idealis biasanya memiliki gagasan atau ide-ide yang dicita-citakan, karena mereka adalah orang-orang yang senang berorganisasi dan mengabdi masyarakat.

Seorang mahasiswa aktivis idealis kerap berkumpul di kampus, di ruang Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), tempat rapat maupun di pinggir jalan untuk membaca, diskusi, melakukan aksi unjuk rasa maupun penggalangan dana untuk korban bencana alam dan lain sebagainya.

Rasa sosial mahasiswa aktivis idealis acap kali jadi panutan dan menjadi pemimpin yang dapat membangun bangsa ini menjadi lebih baik, dengan prinsip hidup yang besar, banyak dari mereka yang tidak mudah terpedaya oleh iming-iming penguasa agar merapat barisan kepada pemerintahan yang zalim.

Saat ini kelembagaan aktivis kampus sepertinya mengajarkan kita akan kehidupan politik bernegara. Setidaknya ada Lembaga Eksekutif Mahasiswa yang bertugas sebagai fasilitator dan juga lembaga legislatif mahasiswa sebagai pengawas dalam berjalanya politik yang semestinya. Idealnya segala bentuk aktivitas politik kampus mampu mewadahi terbangunnya idealisme seorang mahasiswa.

Politik kampus sesungguhnya berbeda dengan politik praktis di dunia nyata pasca kampus. Politik kampus yang identik dengan kawah candra dimuka yang menandakan bagaimana kehidupan politik di dunia nyata 10 hingga 20 tahun ke depan memiliki ciri yang berbeda dengan politik praktis.

Politik kampus adalah kegiatan politik dalam rangka membangun idealisme, meneguhkan identitas mahasiswa sebagai kelompok gerakan moral (agent of change) bukan kepanjangan tangan gerakan.kepentingan sekelompok elit politik diluar kampus. Politik kampus dengan demikian jauh dari money politic. Yang menjadi ukuran bagi kehidupan politik kampus adalah nilai-nilai baik yang diharapkan akan dibawa oleh kita di kehidupan nyata diluar kampus sebagai calon pemimpin masa depan.

Merujuk kepada dinamika umum, semakin dinamisnya geliat politik di kampus juga akan semakin mengeliatnya pergerakan politik dimasa depan. Begitu juga sebaliknya, semakin apatisnya geliat politik di kampus juga menandakan pragmatisnya dunia politik kedepanya, semakin apatis.

Apatisme inilah yang berbahaya karana dengan banyaknya mahasiswa apatis amat mudah untuk melakukan klaim sepihak, termasuk terhadap suara mereka yang biasanya dilakukan oleh sekelompok elit mahasiswa yang dibelakangnya kerap kepentingan partailah yang lebih mendominasi ketimbang ide dan cita-cita mahasiswa yang idealis.

Di era reformasi sekarang ini sistem politik di negara kita menerapkan demokrasi, yang meniscayakan semua warga negara turut terlibat dalam segala urusan yang dirumuskan dalam konstitusi negara. Dan semua warga negara diberi ruang yang sama untuk hak berpolitiknya.
Namun yang terjadi pada kehidupan kampus kita sekarang pendidikan tentang demokrasi sudah tidak adalagi.

Semangat demokrasi dan dinamis yang ada di kampus sudah sekian luntur dengan banyak apatisme dikalangan mahasisiwa.

Kawan-kawan yang saya banggakan jangan pernah kalian tinggal diam dengan keadaan terpuruknya citra kita sebagai mahasiswa yang penuh dengan segala kepentingan mereka para elit politik diluar kampus yang sama sekali tidak berfikir bagaimanakah negara ini akan ditegakkan dan hanya berpikir bagaimana melanggengkan tahta haramnya. Sikap apatisme kita ini dapat dijadikan tunggangan politik oleh golongan tertentu tersebut untuk meneruskan arah politik dinastinya di kampus.

Wahai kawan-kawanku lihatlah kampus kalian yang penuh badut itu?
Wahai Mahasiswa Lihatlah janji mereka akankah dapat dipertanggung jawabkan?
Wahai Mahasiswa akankah kalian sadar kampus bukan untuk sarana politik praktis?

Seperti halnya dalam pemilu raya kampus sebagai ajang penetapan pemimpin, yang paling penting bukan pada saat Badan Pemilihan Raya Mahasiswa (BPRM) sukses menggelar pesta demokrasi dan melahirkan pemimpin dari proses tersebut, namun yang terpenting adalah apakah proses pemilu raya berjalan sehat atau justru didominasi oleh pihak tertentu.

Jelas mereka memiliki andil besar dalam membuat manuver agar calon yang diusung keluar sebagai pemenang. Mereka akan berusaha dan berjuang mati-matian agar calon dari golonganya terpilih kembali yang membuat mereka bangga. Yang lebih parah lagi yang bermain dalam politik kampus sudah bukan mahasiswa lagi melainkan oknum, yang mengarahkan untuk kepentingan politik praktis jangka panjangnya.

Jika hal itu terus terjadi dan dipelihara, independensi mahasiswa yang identik sebagai pemimpin pemuda pada saat ini dipertanyakan ? sesungguhnya tidaklah pantas jika kampus di katakan sebagai miniatur negara, menjadi penuh intervensi. Jika di lingkup Negara kita mengetahui adanya intervensi asing maka di kampus juga ada intervensi partai politik.

Seyogyanya tidak selayaknya seperti itu. Sebagai miniature Negara, dinamika kehidupan kampus yang identik dengan peran sekelompok elit aktivis kampus, elit tersebut beserta lembaga yang dinaunginya tidak selayaknya mengambil jarak ataupun sesunggunya sengaja memisahkan diri dengan mahasiswa lainya.

Sesungguhnya kita sebagai elit mahasiswa harus memperpendek jarak antar golongan, tidak peduli apakah dia KAMMI, PMKRI, GMKI, PMII, HMI, GMNI tidak peduli dia mahasiswi tidak berjilbab, jilbab pendek, maupun jilbab panjang, mahasiswa harus mempunyai satu payung yang kokoh, untuk menghindari terpaan badai politik praktis dari luar kampus.

Kampus layak dikatakan laboratorium negara, dan memang harus dikatakan sebagai laboratarium negara, karena di kampuslah tempat kaum intelektual diasah dan ditempa untuk mengubah masa depan bangsa yang lebih baik lagi.

Mahasiswa merupakan agent, agent of development, agent of social control, dan agent of change. ketika fungsi mahasiswa ini telah di nodai di cemari oleh oleh partai politik, maka fungsi kampus sebagi laboratorium kehidupan bernegara yang baik sudah berubah bentuk.

Bahwa kampus saat ini dijadikan arena politik untuk memenangkan pertempuran politik praktis semakin nyata. Penyuplai dana (baca: elit politik luar kampus) terus berupaya untuk menjadikan sosok yang dimintanya agar menjadi pemenang dalam pertempuran.

Mahasiswa saat ini sudah terjual. Dimanakah peran dari universitas sebagai pembina dan pengawas ketika dinamika politik kampus dan elit mahasiswanya sudah melangkah keluar dari kodratnya? Ini sesungguhnya bukan suatu hal yang bisa dibanggakan, Jika hal ini dipertahankan maka hancurlah generasi bangsa. Geliat politik praktis luar kampus yang masuk ke kampus sangat merusak citra mahasiswa.

Antusias merebut kursi kepresidenan di level mahasiswa melalui organisasi internal kampus, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Melalui BEM inilah ajang nyatanya. Mereka berupaya merapatkan diri dengan jajaran elit aktivis kampus, mengampanyekan jargon dan ideologi partainya, dan melakukan kaderisasi terhadap sejumlah mahasiswa. Korban utama gerakan ini adalah mahasiswa yang buta politik,.

Mereka merasa bahwa BEM dan organisasi intra kampus mahasiswa lainnya tidak berpengaruh. Dengan memanfaatkan fanatisme buta mahasiwa awam tersebut pada fakultas atau jurusan masing-masing, kader partai yang telah ditanam di organisasi ekstra dan intra kampus akan mencalonkan diri sebagai ketua BEM atau organisasi lainnya.

Mahasiswa awam tertipu, maksud hati ingin mendukung calon yang diharapkan bisa memajukan fakultas atau jursannya, tetapi malah keliru memilih calon yang akan membawa kampusnya dalam pusaran politik praktis yang berbahaya. Bayangkan saat ini mereka berkompitisi untuk melihatkan siapa yang lebih hebat melalui baliho yang bertebaran disetiap fakultas hingga di setiap pintu masuk universitas.

Maka dari itu Pendidikan politik di kampus tidak mengarah pada pendidikan demokrasi, namun mengarah pada pendidikan “ politik dinasti”. Sangat prihatin juga banyak mahasiswa yang apatis dam membiarkan melihat realitas tersebut. Dan jika hal ini terus terjadi maka tak heran jika 10 atau 20 tahun lagi kita menghadapi sistem yang sama pada saat orde baru (lagi). Menjadi pemimpin memang merupakan apresiasi dan kepercayaan guna mentranformasikan gagasan dan narasi politik yang masuk dalam bilik-bilik hati dan kepentingan publik.
opini

Editor : Ardian Pratama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *