Kasus Pembunuhan Munir Masih Menjadi Misteri

Kasus pembunuhan seorang aktivis HAM, Munir Said Thalib masih menjadi tanda tanya. Pasalnya, dokumen hasil laporan Tim Pencari Fakta (TPF) menghilang di Kementerian Sekretariat Negara dan sejak TPF menyerahkan laporan akhir mengenai kasus Munir kepada Mantan Presiden SBY, ia tidak juga mengumumkan laporan tersebut ke masyarakat sampai sekarang. Anggota Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bekerjasama dengan Media Mahasiswa AKLaMASI, mengajak para aktivis dan Mahasiswa Pekanbaru melakukan diskusi dan Pemutaran Film Dokumenter “Garuda’s Deadly Upgrade” mengenai Kasus Pembunuhan Munir di Fakultas Hukum UIR, Senin (31/10).

Munir ialah seorang pembela HAM di Indonesia. ia memulai karirnya menjadi pengacara LBH di Jawa Timur. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia. Ia tewas dengan racun arsenik yang ditaruh ke minumannya saat berada di dalam pesawat Garuda GA-974 menuju Amsterdam pada 7 September 2004. Saat itu ia ingin melanjutkan pendidikannya ke Utrecht University. Diduga pembunuhnya ialah Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot Garuda yang saat itu menawarkan tempat duduk kelas bisnis kepada Munir. Ia divonis 14 tahun hukuman penjara, namun melakukan Peninjauan Kembali (PK) menjadi delapan tahun.

Mutia, mahasiswa Universitas Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) memberikan tanggapan, Jika pollicarpus adalah salah satu yang terbukti bersalah atas kasus ini.mengapa kita tidak menanyai kepada Pollicarpus mengenai dalang pembunuhan Munir, sementara Pollicarpus sudah selesai di penjara selama delapan tahun. Bisa jadi Pollicarpus hanya sebagai tangan kanan dari aktor penguasa. Sehingga informasi tidak transparan kepada public. Apalagi ketika ditanyai bahwasannya tidak ada yang menyuruhnya.

Berbeda dengan Hendropriyono, Mantan Kepala Badan Inteligen Negara (BIN) dan Muchdi Purwopranjono yang pernah dilawan oleh Munir sendiri, mereka tidak pernah diperiksa oleh TPF dikarenakan mempunyai kekuasaan dan posisi jabatan pada lembaga BIN tersebut. “Saya rasa merakalah dalang dibalik pembunuhan Munir. Juga saya penasaran dengan dokter yang menyuntikkan Munir saat di pesawat, ada kemungkinan bahwa dokter tersebut juga terlibat dalam kasus pembunuhan Munir, yang kita tidak ketahui suntikan apa yang diberikan kepada Munir,” ujar Lukman Haqim, salah satu aktivis kampus dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UIR.

Hingga kini, perjuangan untuk menuntut pengungkapan kasus Munir tidak juga berhenti. “Kita tidak bisa menyalahkan Pollicarpus saja, saat ini kita hanya bisa menduga-duga saja. Tidak juga BIN yang bersalah, karena ada beberapa nama Intitusi di belakang, jika dokumen tidak ditemukan adalah sejarah besar Indonesia, dan jika dokumen itu ditemukan ataupun tidak, maka ini masih menjadi masalah, usung tuntas kasus Munir,” tambah Riana Putri mahasiswa Fakultas Hukum UIR.

Berdasarkan hal tersebut, Suciwati (Istri Munir) dan Kontras pada 17 Februari 2016 mengajukan permohonan informasi kepada Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Sekretariat Negara mengenai sengketa kasus Munir dan mendesak berkali-kali membuka hasil investigasi, namun pemerintah tak kunjung mengumumkan hasilnya ke publik.

Lukman Hakim menambahkan bahwa Pemerintah tidak bersikap tegas dan adil, malah menutup-nutupi kasus pembunuhan Munir. Oleh karena itu, kita sebagai aktivis dan mahasiswa harus mencari cara untuk membantu menegakkan keadilan, tidak hanya diam saja. dengan mendesak pemerintah terus menerus agar membuka hasil TPF sekarang juga dan menyelesaikan kasus pembunuhan Munir yang masih menjadi misteri.

Dede Mutiara Yaste (Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi AKLaMASI / Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi UIR) – masalah keamanan di pesawat Garuda, harusnya pihaknya dapat mengungkapkan dengan gambling dan jelas mengenai kejadian Munir. Selain itu mengenai pengiriman ayam busuk kepada istri dan sahabat Munir, dimana tertera tulisan jangan bawa nama TNI. Padahal sebemnya tidak ada tuduhan ke TNI. Jika dianalisis bisa jadi TNI terlibat dalam kasus ini.

Ralat : 7 September 2004

Reporter : Mulya Jamil, Sofiah
Editor : Sofiah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *