Kekerasan Terhadap Jurnalis Kembali Terulang

AKLaMASI—Rabu (30/11), wartawan media online Tirto.id—Reja Hidayat, dipukul saat hendak melakukan peliputan. Reja, yang saat itu sedang menjalankan tugas meliput rapat Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) bahkan diusir dan dibentak untuk menghapus berita yang ia tulis. Tak hanya Reja, dua wartawan lainnya juga diusir di waktu dan tempat yang sama—Gatra dan JPNN, hanya saja tak dapat pukulan seperti Reja.

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), dalam siaran persnya sangat menyesalkan terjadinya kekerasan terhadap jurnalis Tirto.id, Reja Hidayat, yang sedang menjalankan tugasnya sebagai jurnalis (01/12). Selain itu, mereka mendesak pihak kepolisian untuk mengusut peristiwa pemukulan dan pengusiran ini dan memprosesnya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, yakni UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers Pasal 18 ayat 1.

Dari broadcast yang diperoleh Sejuk dari salah satu jurnalis Tirto.id di sebuah Whatsapp Grup, tertulis bahwa Reja ditugaskan untuk meliput rapat persiapan aksi 2 Desember GNPF MUI di Petamburan, Jakarta. Ia bertemu dengan seorang pria berbadan tambun berwajah Arab yang mengenakan seragam laskar Front Pembela Islam (FPI) dekat markas FPI Petamburan, Jakarta sekitar pukul 14.15 WIB.

Kemudian pria itu bertanya pada Reja apa yang ia lakukan. Reja menjawab sedang menunggu Habib Rizieq Shihab. Pria itu lantas memaksanya masuk ke salah satu rumah warga, dan memaksa Reja untuk menghapus berita yang ia tulis. Reja mengatakan belum melakukan peliputan, dan memperlihatkan handphone-nya. Tanpa alasan jelas pria itu langsung memukul kepala bagian belakang lalu menampar muka Reja. Kemudian Reja diusir bersamaan dua wartawan lainnya ke ujung jalan dan pria tersebut meneriakkan “Saya tidak percaya Media”.

Masih dalam siaran persnya, Sejuk mengajak masyarakat untuk menghormati kerja-kerja pers dalam usahanya menyampaikan kebenaran kepada publik. Sehingga kekerasan, penyerangan, pengusiran maupun intimidasi yang menimpa jurnalis tidak terulang lagi.

Dalam blog pribadinya, Andreas Harsono, peneliti hak asasi manusia dan penulis buku Agama Saya Adalah Jurnalisme, beranggapan bahwa kebebasan pers tidak berjalan sesuai harapan salah satu penyebabnya karena kurang mengertinya sebagian kalangan tentang prosedur jurnalistik. Jika tak ada kepuasan terhadap pemberitaan atau terhadap wartawan, banyak yang menempuh dengan caranya sendiri. Salah satunya adalah melakukan kekerasan.

Padahal, kalau ada ketidakpuasan terhadap pemberitaan, kalangan yang merasa tidak puas ini bisa mengadukan wartawan ke media bersangkutan atau ke Dewan Pers. Kalau bersangkutan adalah wartawan elektronik bisa melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Prosedur inilah yang tidak dimengerti masyarakat.  (Andreas Harsono saat berbincang dengan wartawan FAJAR, Hamsah Umar, 28 Maret 2011).

*Gambar: Jubi Illustration/westpapuamedia.info

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *