Hadiah Buat Ayah

Mataku tertuju pada satu foto, ah…dia mendahuluiku. Sebuah foto diakun sosial media membuat aku iri, seorang teman lama dengan pose kece berlatarbelakang menara kembar yang menjulang tinggi.

Tak peduli dan tak ingin mau tau dengan foto tersebut, aku berpindah dari akun facebook keakun instagram, lagi-lagi berandaku dipenuhi dengan foto temanku yang diakun facebook tadi, kalau tadi dengan gaya kecenya sekarang hanya sebuah tangan yang memegang secarik kertas bertuliskan “sayang dapat salam dari Borobudur, kapan kesini bareng aku??” rasanya sungguh menyebalkan jika harus melihat foto-fotonya yang memenuhi beranda ku.

Kemudian aku berpikir, mengapa aku harus iri dengannya,mengapa aku hanya berpangku tangan disini dan hanya bisa jadi penonton. seharusnya ini kujadikan motivasi untuk aku bisa seperti dia, kalau perlu aku akan mengunjungi banyak tempat indah didunia ini. Aku bukan hanya sekedar bermimpi, tapi aku ingin mewujudkan mimpi itu.

Setelah hari itu mulailah aku menabung…uang bulanan yang dikirimi orang tuaku aku hemat, agar aku bisa mewujudkan mimpi itu. Sebenarnya mimpiku cukup sederhana yaitu aku ingin naik pesawat, aku ingin merasakan sensasi ketika pesawat mulai meninggalkan bandara, yang kata temanku apabila pesawat mulai lepas landas darahnya seketika berdesir, dan darahkupun berdesir merasakan ketika sebuah pesawat yang akan hendak lepas landas tapi itu hanya mimpi. Tak apalah aku bermimpi dulu, suatu hari itu akan terwujud aku akan naik pesawat melihat bumi dari atas awan, akan kulambaikan tanganku pada mereka yang dibawah sana, semenjak mimpi itu semakin mengebu hasratku ingin pergi dengan pesawat. Setiap hari tak lupa aku sisihkan uang jajanku dicelengan ayam yang bertuliskan “tabungan buat naik pesawat”.

Tapi hari itu, aku tersadar dari mimpi yang sepertinya tak akan pernah menjadi nyata. Hari itu aku mendapat kabar dari seorang teman kalau pembayaran uang kuliah tinggal beberapa hari lagi, seketika langsung saja aku menghubungi orang tuaku agar dikirimi uang buat bayar kuliah.

Sebenarnya berat meminta pada orang tuaku mengingat tiga hari yang lalu mereka baru saja mengirimi aku uang bulanan, tapi karna ini kebutuhan kuliah kupaksa saja meminta. Jawaban ibuku cukup membuat aku tenang, besok pagi uang yang aku minta akan dikirim, tidurlah aku dalam tenang bayangan akan tidak bisa mengikuti ujian akhir semester kini sirna, karena ayahku sudah menyiapkan uang kuliahku jauh-jauh hari.

Keesokan hari.

Segera aku menuju ATM apakah uang yang dikirim ibuku sudah masuk kerekeningku. Dan pada akhirnya aku harus kecewa, karna uang yang aku minta buat bayar kuliah belum juga dikirim ibuku, aku segera menelpon rumah terdengar suara ibuku diseberang sana “udah…ayahmu sudah pergi kebank untuk mengirim uangmu, bahkan ia pergi semenjak pukul tujuh tadi pagi, sekarang saja ia belum pulan dari bank” tapi mengapa saldoku masih belum bertambah, padahal jika ayah pergi semenjak tadi pagi seharusnya uangnya sudah masuk kereningku, sampai siang begini kenapa ayah belum mengirimi uang kuliahku. Pikiranku berkecamuk,,praduga-praduga buruk mengelayut dalam benak.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan ayah? Mengapa ia begitu lama sekali?! Ternyata dibalik prasangka burukku ayahku tengah berjuang buat sampai kebank, memang malam sebelum ayah pergi mengirimiku uang didaerahku sedang musim penghujan, jadi kondisi jalan yang buruk membuat ayah kepayahan untuk sampai kebank. Jarak 20 kilometer itu ditempuh ayah selama lima jam, yang perjalanan normal hanya ditempuh sekitar satu jam perjalanan tapi karena kondisi jalan yang buruk membuat ayah harus berjuang dalam kubangan lumpur jalan. Ayah menelponku katanya uang sudah masuk kereningku, baru tiga menit yang lalu dikiriminya, suaranya terdengar letih.

Aku tak ingin berkata apa-apa pada ayah, bahkan percakapan kami ditelpon hanya beberapa detik saja, ia Cuma bilang “coba cek saldomu…sudah ayah kirim barusan”. Aku tak ingin mengecek saldoku, air mataku terlanjur tumpah, segeraku seka, karena aku tak ingin terlihat menangis oleh pengunjung ATM yang lain, aku pulang kekos dengan perasaan campur aduk, inikah aku anak yang selalu merepotkan ayahku….inikah diriku yang selalu menyusahkan ayahku padahal hidupnya saja sudah susah, tak terbayangkan olehku ayah tengah berjuang dalam lumpur jalan yang aku sendiri pernah merasakan rasanya bagaimana melewati jalan berlumpur seperti itu, tapi ayahku rela, ia tinggalkan pekerjaannya hari itu, demi aku dan demi pendidikanku.

Sesampai dikos kupandangi celengan ayamku….entah perasaan apa yang aku rasakan ketika itu, tulisan tangan yang aku buat sendiri pada celengan ayamku aku hapus kemudian aku ganti menjadi “tabungan buat umrohin ayah” mataku berbinar memandangnya, ayah berhak atas hadiah ini, biarlah aku tak pernah naik pesawat seumur hidupku asalkan aku bisa memberi hadiah ini buat ayah biar tak sesak dadaku mengenang wajah tuanya. Biarlah aku tak bisa memasang foto diakun social mediaku yang berlatarbelakang menara kembar asal aku bisa melihat foto ayah berlatarbelakang Rumah ALLAH… biarlah aku tak bisa melihat bumi dari lagit dan melambaikan tangan pada orang-orang yang dibawah asalkan aku bisa memandang langit dari bumi dan melambaikan tangan pada langit yang membawa ayahku ketanah suci bersama kegembiraanku…

 

Kontrobutor : Rubiyah Ibrahim

Ilustrasi : Sustriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *