GMKI – Suarakan Kepentingan Masyarakat Adat

Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Komisariat Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik (Fisip) Universitas Riau (UR), selenggarakan Seminar umum perguruan tinggi di Aula lantai dua Gedung Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Jl.Arifin Ahmad Pekanbaru, “Pengakuan Hak Masyarakat Adat dan Konflik serta Pembakaran Lahan di Riau”. Selasa,(28/3).

Pukul 10:45 acara dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dilanjutkan dengan Upacara Organisasi menyanyikan Mars GMKI, dan diteruskan dengan Pembacaan Anggaran Dasar Aanggaran Rumaha Tangga (ADART) GMKI. Dalam sambutannya Ferry Edwin Sormin (Ketua GMKI Komisariat FISIP UR) mengangkat tema ini karena ada 9 Hutan Adat baru diresmikan oleh Presiden Jokowi dan kita Mahasiswa perlu memahaminya. Sudah melalui diskusi bersama senior Komisarist Fisip.

“Dari Seminar ini GMKI ikut menyuarakan kepentingan Masyarakat Adat,” ucap Ardianta Ginting (Kepala Bidang Pendidikan Kader & Kerohanian). Diteruskan Ardianta dengan resmi membuka Seminar ini.

Dipandu Moderator Povin Sinaga (Senior Fisip dan Jurnalis Riau Pos). Pemateri satu dari Polda Riau AKBP Agus setiawan, SE, SH, MH dan AIPTU Dr.Yudi krisman, SH, MH dengan topik Sengketa Lahan masyarakat Adat dengan Korporasi di Provinsi Riau. Yudi jelaskan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dalam Pasal-Pasal UUD 1945, juga tentang Hukum Nasional Versus Hukum Adat.

Hukum adat selalu bertentangan denagn Hukum Nasional. Kelemahannya Indonesia tidak memiliki suatu Hukum Adat umum, dikutip dari Van Vollenhoven. Kedudukan Hak ulayat menurut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), Bahwa bumi, air dan semuanya adalah milik negara, semua harus berdasarkan Hukum. Jika ada Undang-undang yang tidak mengakui keberadaan Hak-hak tradisional Komunitas maka Undang-undang tersebut jelas bertentangan dengan UUD yang diambil dari Pasal 18b ayat 1.

“Boleh Masyarakat menggunakan Hukum Adat tapi jangan bertentangan dengan kepentingan Nasional,” jelas Yudi.

Diteruskan Yudi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)  versus Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) belum ada paduserasi seperti kasus yang menimpa mantan Gubernur Riau, Annas Ma’mun terkait penyalahgunaan kekuasaan dan suap alih fungsi hutan di Riau. Terkait Faktor Konflik diantaranya tapal batas yang tidak jelas dan perambahan Hutan.

Terkait solusi topik sengketa lahan masyarakat adat adalah Non Litigasi yaitu mengedepankan mediasi dengan menunjuk orang-orang yang tidak memihak dan litigasi.

Woro Supartinah,S.P.,M.Sc (Ketua Jaringan Kerja penyelamat Hutan Riau / Jikalahari) sampaikan Topik Masyarakat Adat dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan (TKHL) di Riau. 2,3 Juta Hektar  hak pengolahan hutan diberikan kepada HTI perusahaan Pulp & Paper Raksasa di dunia. Diantaranya APP, NI dan April Group kemudian 2,4 Juta hektar diolah untuk perkebunan sawit haknya diberikan kepada Perusahaan perkebunan Sawit  dan diantaranya itu ada Perusahaan-Perusahaan Sawit tidak punya izin pelepasan kawasan Hutan dan tentu saja ada aktivitas-aktivitas ilegal lainnya. Dan hanya sedikit yang tersisa bagi Masyarakat Adat. Penyebab ini dikarenakan masi lemahnya fungsi pengawasan dan penegakan Hukum di bidang Kehutanan.

Hasil dari riset Jikalahari dampak ekonomi dari pemberian izin ini beberapa di tiga Kabupaten bahwa desa-desa yang berada disekitar daerah konservasi itu tidak lebih baik daripada desa-desa yang tertinggal. “Pemerintah akan selalu bilang bahwa izin-izin yang diberikan untuk industri itu adalah untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi tetapi yang perlu kita pertanyakan adalah sebenarnya kepentingan siapa yang sedang ditumbukan?,” ungkap Woro.

Aktifitas pengelolaan Perusahaan tersebut berakibat buruk kepada mata pencarian masyarakat adat juga masyarakat umum, lahan menjadi kering, angka kebakaran tinggi. Dampak sosialnya konflik antara perusahan dengan masyarakat. Juga Kabut Asap yang menjadi agenda rutin kita alami karena pembakaran lahan untuk penanaman Sawit.

Hasil investigasi lapangan antara Jikalahari, Polisi kuali dan WWF Riau bahwa kebakaran hutan punya relasi yang kuat dengan konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Ketika ada satu wilayah terjadi konflik lalu ada masyarakat tinggal di daerah konserversi dan perusahaan itu adalah wilayahnya maka pembakaran itu disengaja sebagai alat mengintimidasi masyarakat supaya keluar perlahan dari wilayah hutan tersebut, setelah keluar maka perusahaan akan leluasa melakukan aktivitas yang ditinggalkan oleh masyarakat. “Dan membakar hutan itu bagi perusahaan menyuburkan lahan dan tidak memerlukan biaya yang besar untuk menyewa alat,” ungkapnya lebih lanjut.

Woro mengajak peserta untuk merebut peluang hutan adat ini dan kita harus membantu masyarakat yang selama ini selalu menjadi korban dan mereka (Masyarakat Adat)  sudah berkorban bagi kita, diam dan tidak menyatakan atau mengungkap realitas sebenarnya. Kawan-kawan bisa menentukan sikap ketika ada isu atau ada hal apapun terkait kebakaran sebagainya, bisa melihat persoalan itu lebih real atau profesional punya perspektif yang sesuai sehingga outpout-output pemikiran yang kawan-kawan sampaikan bisa bermanfaat untuk merubah kondisi.

Efri Subayang (Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara / AMAN) Riau jelaskan topik Masyarakat Adat. Masyarakat Adat tidak mengakui negara jika negara tidak mengakui mereka dikutip dari pandangan dasar Kongres Masyarakat Adat Nusantara 1999. Setelah Presiden Jokowi mendukung hutan adat ini, implementasi atau penyambungan ditingkat daerah yang terkadang sulit. “Menyesalkan tidak adanya RTRW hutan adat di Riau, karena ini adalah Politik perebutan uang, di Riau adalah perebutan uang! masyarakat adat mendapat akses tidak untuk mengajukan ke pemerintah pusat?,” jelas Efri.

“Sebaran Komunitas Masyarakat Adat di Organisasi AMAN di Kongres kemarin sudah menjadi 2704 Komunitas Adat diseluruh Nusantara tetapi setelah keputusan MK 35 itu yang keluar di akui MK baru 500 sekian, tapi mungkin ini persoalan waktu saja.”

AMAN sudah melakukan pemetaan Hutan Adat yang menjadi cikal bakal disahkannya 9 Hutan Adat di Indonesia oleh Presiden Jokowi. Undang Undang masyarakat adat sekarang ini masih ditunda-tunda. “Karena ini bukan undang-undang mata air tapi air mata tidak membawa keuntungan finansial bagi oknum tertentu,” jelasnya lebih lanjut.

Masyarakat Adat adalah masyarakat teradat dan beradab. Ada 3 Provinsi hukum adat dijalankan Kalimantan tengah, Aceh, dan Sulawesi Tenggara. PBB juga sudah mendeklarasikan Hak-hak Masyarakat Adat 13 Desember 2007 bahwa, masyarakat adat itu ada oleh Pemerintah Indonesia diakui haknya didepan Sidang umum PBB, tetapi implementasinya pertanyaan besar kembali.

Kemudian ditutup Efri dengan 4 cara untuk pengakuan atas wilayah Hutan Adat. Diantaranya Permendagri 52 juga pengakuan SK oleh Bupati, Identifikasi masyarakat adat tapi kadang-kadang kan Bupati kita tidak mau melakukan identifikasi, nah Mahasiswa bisa lebih giat lagi mengajak Bupati terkait dengan Peraturan Menteri (Permen)  Agrari dan tata ruang (ATR)  kepala BPN Nomor 10 yang dimana surat keputusan (SK) dari Bupati.

 

Reporter : Tomi Ericson Ginting

Editor : Sofiah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *