Sejuk – Workshop Pers Mahasiswa Jurnalisme Keberagaman di Era Digital

Kamis, (4/5) Serikat Jurnalistik untuk Keberagaman (Sejuk) adakan Workshop Pers Mahasiswa Jurnalisme Keberagaman di Era Digital di Hotel Swiss Belinn, Medan, Sumatera Utara. Berlangsung 4/7 April. “60 paper peserta yang masuk dan terseleksi 25, itu selalu diadakan proses seleksi,” ungkap Rifa (Panitia Sejuk pada sambutannya).

Pada workshop tersebut hasil akhirnya peserta diharapkan mampu melaporkan atau menulis tentang isu keberagaman serta membuat video pendek untuk di upload di sosial media seperti Youtube. “Sosial media dianggap sebagai rujukan dan dilihat oleh orang dengan cepat,” tambahnya.

Jadwal workshop hari pertama, kebebasan beragama dan berkeyakinan, HAM dan kebebasan, berekspresi dan beragama. Kedua, Refleksi keberagaman, kesetaraan dan keadilan gender, Media Sosial: tantangan dan peluang, prinsip-prinsip jurnalisme keberagaman, feature keberagaman serta teori dan praktek pendokumentasian.

Ketiga, pembekalan field visit, field visit reportase dan keberagaman, diskusi menyusun reportase, produksi video dan produksi feature keberagaman. Dan keempat, presentasi kelompok hasil reportase keberagaman, refleksi dan evaluasi workshop serta rencana tindak lanjut.

Daniel Awigra pemateri HAM dan kebebasan, berekspresi dan beragama katakan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) adalah kewajiban negara dengan cara menghormati, melindungi dan memenuhi. Menghormati untuk tidak melakukan intervensi terhadap pelaksanaan HAM (ha katas hidup, integritas personal dan privasi). Melindungi dan menekankan pada langkah-langkah menghadapi pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak non-negara. Serta memenuhi upaya-upaya positif negara untuk menjamin implementasi HAM ditingkat konkrit.

Dikatakan pula kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah sebuah hak. Hak beragama dan berkeyakinan tertuang dalam Pasal 18 Kovonen Hak-hak Spil dan Politik.

Isu keberagaman akan menjadi serius di Indonesia. Diperlukan adanya advokasi dan intervensi khusus untuk jurnalis dalam meliput, memberitakan, melaporkan ketegangan dan konflik atas perbedaan (Agama, suku, etnis, bahasa, budaya dan ras).

Pemberitaan-pemberitaan di media massa cenderung tidak pada prinsip jurnalistik. Dengan menyebut kelompok keagamaan minoritas sebagai sesat. “Jurnalis mengadili satu kelompok dengan prejudge dan pertimbangan moral yang diyakininya tidak sesat dan menyesatkan kelompok yang lain,” jelasnya.

Awigra ceritakan kejadian 1 Juni 2008 saat memeringati hari Pancasila para pendiri Sejuk di serang saat mengadvokasi hak-hak minoritas agama Ahmadiah di Gereja yang mana kala itu tempat ibadahnya di tutup. Dengan cara turun ke jalan bersama, mengorganisisr diri dan protes aksi masa. Diperjalanan tepatnya di Monas di serbu massa. Sejuk melihat pemberitaan-pemberitaan di media cukup bermasalah dengan kasus tersebut. seperti media bincangkan dan kabarkan adanya aksi bentrok. Padahal harusnya aksi damai karena Indonesia adalah Pancasila.

Tidak hanya terjadi di Jakarta namun, menyebar di penjuru Indonesia. Seperti cara pilkada di reproduksi di tahun depan akan mengerikan dengan memanfaatkan isu agama dan etnis untuk menihilkan dan melawan suku, ras dan agama. Harusnya demokrasi membawa nilai-nilai dan yang terpinggirkan mempunyai suara.  “Kemarin hilang semua, demokrasi tidak membawa suara atau nilai-nilai HAM yang harusnya dijunjung tinggi dan ini bukan demokrasi sejak 20 tahun yang lalu.”

Tidak ada demokrasi tanpa kebebasan pers. Negara maju adalah negara dengan kebebasan pers seimbang dengan demokrasi. Tetapi untuk sebagian hal tidak bebas seperti isu agama. Di Indonesia boleh berbicara apa saja, namun jangan isu Papua. Pemerintah terlalu tegang terhadap isu.

 

Reporter : Sofiah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *