Menulis di Negeri Tua

18 Juli 2017 lalu 21 peserta dari berbagai Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Se-Indonesia  sampai di Pelabuhan Kota Siak. Sebelumnya, kegiatan sudah dimulai di Kota Pekanbaru, di awali seminar “anti hoax” dan dilanjutkan dengan peluncuran buku “Kuntau Empat Penjuru” selanjutnya PJTLN di resmikan langsung oleh Rektor Universitas Riau. Kota siak, menjadi tempat kami menjalani Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJTLN) yang di taja oleh LPM Bahana Mahasiswa Universitas Riau (UR).

Dari pelabuhan Kota Siak, dua buah mobil jemputan sudah tiba, seluruh peserta memasukkan kopernya ke-dalam bagasi. Samar-samar ku dengar hembusan nafas kelelahan sekaligus lega karena perjalanan yang cukup melelahkan, sekitar dua jam menggunakan speedbot, dari Pekanbaru menuju Kota Siak.

Dalam perjalanan menuju penginapan, aku pandang Kota Siak dari jendela mobil bus, daun-daun hijau sengaja dirawat, setengah jadi kulihat tulisan “Siak Kota Istana” yang dibentuk dari tanaman Pangkas yang biasa memang digunakan untuk taman. “Keren yaa” kata Iqbal, peserta dari Jawa tengah.

Kami sampai dijalan yang sepi, tidak ada rumah masyarakat disini. Tetapi di samping kanan kulihat gedung kuning dengan tinggi empat lantai, ada tiga gedung yang mirip, gedung tempat kami menginap berada dipaling belakang. Disisi kanan gedung itu tertulis “Asrama Haji Putra” di belakangnya hutan, depan, kiri dan kanan lapangan yang luas.

“Siap” kali ini celotehan dari Ikhdan yang keluar, ia peserta dari Tasik. Kami menunggu antrean untuk pembagian kamar. Kusandarkan koper, kutaruh tas di lantai, sambil ku usap lensa kamera ku yang sudah berdebu setelah digunakan selama perjalanan.

“Hamdi Al- Fansyuri, Rega Al-susar, kamar 2.19” kata panitia. Aku satu kamar dengan Hamdi, ia mahasiswa asal Bandung, kuliah di Institute Teknologi Bandung (ITB) semester 5, satu angkatan denganku. Tetapi ia asli dari Pekanbaru.

Hari ini kami tidak langsung belajar, diberikan waktu istirahat sampai besok pagi. Aku rebahkan badan dikasur empuk dengan alas putih yang bersih. Remot TV ada disamping kiri kasurku, diatas meja hias yang sengaja ditaruh untuk memperindah kamar. Ku nyalakan TV, sementara Hamdi menyalakan AC. Dia juga kelalahan nampaknya.

Aku sempat tertidur, “Tok, tok, tok” terdengar suara pintu kamar di ketok oleh panitia. Setelah sholat maghrib, kami sudah dijemput mobil bus lagi. Kali ini kami menghadiri undangan makan malam dari Bupati Kota Siak, di gedung sebelah taman air pancur juga tepian sungai Jantan. Bisa dibilang gedung ini dikelilingi taman rekreasi.

Begitu lah sekilas kegiatan kami di kota Istana. Pulangnya, aku langsung istirahat dulu di kamar. “Ting tong” nada dering WhatApp mulai ramai, ternyata Wahyu, peserta dari Jambi sudah menyiapkan kopi untuk dinikmati bersama. Langsung ku cari sarung dan baju kaos, aku keluar kamar dan ikut bergabung. Dua cangkir coffee ku lihat sudah ada diatas meja. “Biar terasa kayak keluarga, secangkir untuk bersama” kata Fadhil, peserta dari Aceh.

Tak banyak obrolan kami malam itu, angin malam pun ikut menyejukkan suasana. Dengan lampu kuning yang menyala terang, lampu-lampu jalanan pun indah dipandang, tempat kami berkumpul ini di lantai dua asrama haji, selasar terbuka yang memang nyaman.

Suara adzan subuh berdering dari hp ku, alarm ini memang sengaja ku pasang biasanya. Ternyata Hamdi pun terbangun. Selesai ibadah, sebagian ada yang joging menikmati angin pagi Kota Siak, ada pula yang langsung sarapan, dan tentu saja ada yang masih tidur.

Materi pertama di isi oleh Andreas Harsono yang merupakan pendiri Yayasan Pantau, pembawa jurnalisme sastrawi ke-Indonesia. Ia pula yang sempat belajar langsung dengan Bill Kovach penulis “The Elements of Journalism” buku yang tersohor dikalangan wartawan ini ditulis oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel di tahun 2001.

Semakin berkembangnya zaman, dunia wartawanpun sudah mulai di pengaruhi pula oleh teknologi. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menambahkan lagi elemen ke sepuluh “Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita” ini karena warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga kadang menciptakan media sendiri.

Di lain kesempatan setelah makan siang, Andrea menyampaikan materi tentang “Writing Tools” karya Roy Peter Clark. Terdapat 50 perkakas menulis yang disajikan dalam buku Roy Peter Clark  yang dibagi menjadi beberapa bagian; “Nuts and Bolts” terdapat 10 perkakas, “Spesal Effect” dengan 13 perkakas, “Blueprints” ada 16 perkakas, dan “Useful Habits” ada 11 perkakas.

Andreas Harsono mengibaratkan perkakas menulis seperti sebuah rumah. Pertama, “Nuts and Bolts” dianggap rumah petak asal jadi, lebih kurang ada 500-600 kata. Jika wartawan sudah menguasai perkakas ini maka sudah dianggap bisa menulis sebuah straigh news atau tulisan piramida.

Selanjutnya “Spesial Effect” maka rumah terlihat lebih indah, lebih ada variasi. Ini dianggap sebagai tulisan feature, lebih kurang 5000 kata. Lalu “Blue Print” maka wartawan tersebut sudah bisa menulis narasi, lebih kurang 15.000 kata.

Dan jika wartawan sudah menguasai “Useful Habits” rumah yang di bikin sudah semakin mewah, dengan gedung beberapa tingkat, ini diibaratkan sebuah buku, dengan kurang lebih ada 100.000 kata.

Hari itu dipenuh dengan canda tawa celotehan Andreas, belajar terasa menyenangkan di buatnya. Kami diberi tugas untuk menulis feature dan akan di koreksi esok hari oleh Andreas. Sore ini kami istirahat dahulu.

Selesai makan malam, kami nonton bareng film “The Black Road” soal Aceh karya William Nessen. Film ini berbahasa Aceh, translatenya pun hanya ada bahasa inggris. “Ada dua pilihan, kita harus paham bahasa Aceh, atau paham bahasa Inggris.” Kata ku untung di antara para peserta ada dua orang yang berasal dari Aceh. Namanya Muhammad Fadhil dan Muhammad Fadhil.

Namanya memang sama, kami pun sempat bingung awalnya. Namun mereka bukan kembar, mirip pun tidak. Yang satu berbadan gendut, kulitnya sedikit putih. Ia minta di panggil Fadhel. Yang satu lagi kurus, sedikit tinggi dan dalam celotehan kami sebut “Si hitam manis” ia kami panggil Fadhil. Kini sudah tahu kan bedanya?

“Jika ada yang tidak mengerti dengan ucapan di film ini, minta di pause saja sama panitia, lalu kita minta Fadhel dan Fadhil untuk menjelaskan” kata Andreas.

The Black Road merupakan dokumenter yang dibuat William Nessen pada 2005. Ini adalah dokumenter yang menceritakan soal pertempuran antara gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka dengan pasukan pemerintah Indonesia (TNI dan Polri).

Seusai menonton film, seharusnya diskusi dimulai. Namun karena sudah larut, mata-mata para peserta pun sudah layu tak sabar ingin tidur. Tak satu pun ku dengar peserta yang mengajukan pertanyaan. Namun ditengah-tengah film berlangsung antusias para peserta cukup mencapai emosi kewartawanannya.

Besoknya, kami dijemput odong-odong “Wow keren cuy” suara peserta kegirangan,karena jarang sekali sudah besar begini masih naik odong-odong. Tapi itulah serunya, kami berkeliling Kota Siak dengan odong-odong sambil mendengarkan musik anak-anak yang kini sudah lama tidak diputar dirumah-rumah.

Kami tiba di sebuah rumah tepian Sungai Siak, rumah itu disebut sebagai Rumah Datuk Pesisir. Didepannya, ada makam tua dengan pagar besi hijau yang merupakan tempat bersemayam yang disebut-sebut sebagai datuk pesisir.

Perjalanan kami lanjutkan, kali ini kami berjalan kaki karena tempatnya tidak jauh. Sambil berjalan kami bercerita tentang Kota Siak dengan seorang yang aktif sebagai penggiat film Siak. Kami lebih akrab menyapanya “Pak ketua” karena tidak ada tourgaet, dia lah yang kami jadikan sebagai sumber informasi. Setelah berkeliling, seluruh peserta wajib membuat sebuah tulisan feature dari perjalanan tersebut. Guna memenuhi tugas yang diberikan oleh Andreas. Aku menulis dengan judul “Tua, Sejarah” aku menceritakan sejarah-sejarah yang kami temui di perjalanan siang itu.

Mulai dari makam tua, sebuah makam yang tidak jauh dari makam datuk pesisir. Dimakam itu terdapat sebuah pohon besar yang didalamnya terdapat tiga buah makam yang di duga makam Hindia Belanda. Konon katanya hal tersebut terjadi begitu saja.

Akar pohon yang besar dan menjulang tinggi, terbuka lebar seolah sedang memayungi tiga makam tersebut. disekeliling nya makam-makam lain berserakan, hingga salah seorang temanku sempat menginjak batu nisan nya. Seluruh peserta ku lihat mengeluarkan peralatan merekam nya, entah itu kamera, atau pun gawai nya.

Selanjutnya ada lagi tangsi Belanda. Ini merupakan tempat kunjungan terakhir kami di hari itu, tempatnya berada di pinggir sungai yang ramai anak-anak kecil menikmati mandi sore nya. Tak jauh dari situ, sebuah gedung tua terlihat rapuh masih tegak berdiri.

Gedung yang dibangun sebagai tempat persembunyian TNI di masa itu, tempat yang digunakan sebagai penjara pula. Gedung ini terdiri dari tiga bangunan. Dibagian dalam nya, ada dua gedung yang sudah dipercantik dengan cat berwarna kuning. Dan ini suah tercatat sebagai “Situs sejarah”.

Tulisan ku di koreksi oleh Andreas, seluruh tulisan peserta tepatnya. Hari ini kami belajar feature dari apa yang kami tulis. Andreas Harsono mengetuk-ngetuk meja “Tok, tok, tok” awal nya bernada datar. Selanjutnya “Tok tok tok, Tok, tok tok tok” lalu mulai ada hentakan-hentakan. Ia mengibaratkan ini sebagai paragraf dalam sebuah tulisan.

“Paragraf yang datar, akan membuat bosan pembaca” kata Andreas.

Tulisan milik ku paragraph memang sangat datar sekali, tidak ada seni dalam kepenulisan. Karena aku masih takut menulis satu kalimat hanya dimuat dalam satu paragraf. Namun Andreas mengajarkanku, bahwa psikologi pembaca juga perlu di perhatikan.

Andreas pulang, celotehannya yang paling kami ingat adalah sebuah frasa “Pria penyayang” dan “Perempuan nafsu besar” setiap peserta mulai ngantuk, frasa-frasa itu ia lontarkan untuk memecah suasana.

“Kita tunggu mas Budi Setiono dulu, sambil menunggu istirahat lah” kata panitia. Budi Setiono atau akrab di sapa Buset merupakan seorang sejarahwan, ia juga menjabat sebagai redaktur majalah Historia. Berpenampilan unik, selalu menggunakan syal katanya “biar terlihat keren saja” ia juga sedikit pendiam.

Sesi belajar bersama nya di awali dengan Bagaimana Tom Wolfe memulai gerakan

“jurnalisme baru” pada 1960-an.

Buset menjelaskan jurnalisme baru bukan lah hal yang benar-benar baru. Jurnalisme jenis ini memiliki keunikan yang berbeda dari jurnalisme kebanyakan. Tulisannya lebih bersifat santai dan penulis memiliki kebebasan dalam bernarasi.

Buset sendiri memandang jurnalisme baru sebagai hal yang dapat membantu para menulis, karena tulisan jenis ini begitu menukik, bukan saja menggambarkan seseorang melakukan apa, tetapi lebih masuk ke psikologi yang bersangkutan dan mengapa ia melakukan itu.

Jurnalisme jenis ini juga dapat membantu media cetak untuk bersaing dengan media online. “Tetap salah satu jalan terutama untuk media cetak dalam bersaing dengan media online, kita tidak bisa adu kecepatan, sehingga unsur kedalaman dan akurasi berita yang dapat kita andalkan,” kata Buset.

Bersama Buset, kami juga belajar tentang tulisan panjang atau tulisan narasi. Pengalaman nya sebagai Redaktur majalah Historia yang merupakan majalah sejarah dengan ciri khas bertutur narasi tersebut membuat nya matang dalam menyampaikan materi.

Buset berpesan, dalam menulis kita harus bisa menemukan sudut pandang yang berbeda dari wartawan kebanyakan. “Apabila tulisan tersebut sudah pernah dibuat, jangan ditulis lagi, atau kalian bisa tulis lebih dalam dari tulisan sebelum nya,” tutupnya.

 

 

Reporter : Rega Al Susar

Editor : Sofiah

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *