Mengupas Sejarah Lewat Film

Melihat fenomena September ini, yang sedang gencar-gencarnya menonton Film Penghianatan G30S/PKI. Timbul berbagai pertanyaan di benak beberapa kru Media Mahasiswa AKLaMASI UIR. Mengapa harus Film G30S?

Tersusunlah kegiatan untuk diskusi dan nonton film bersama. Sabtu (30/9) bersama beberapa kawan dari luar kampus ikut menonton Film The Act Of Silence atau Senyap. Film berdurasi 90:12:55 ini bercerita soal pembantaian tahun 1965 hingga 1966 di Deli Serdang Medan, Sumatra Utara. Film  karya sutradara Denmark Joshua Oppenheimer setelah Jagal, sesuai dengan judulnya film ini dipenuhi dengan suasana hening. Mengambil sudut pandang dari pihak keluarga korban pembantaian.

Di Jagal, penonton langsung berhadapan dengan para algojo yang membunuh ribuan orang yang dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu. Anwar Congo, karakter utama film ini, adalah salah satu algojo tersebut. Sementara di Senyap, sutradara menggunakan Adi Rukun—seorang optometris keliling. Kakaknya, Ramli adalah salah satu korban yang terbunuh.

Adi Rukun melakukan wawancara kepada para pembunuh kakaknya—Ramli. Selain itu pula terhadap Kemat satu korban yang selamat dari peristiwa pembantaian tersebut. Awalnya, Ketua pasukan pembunuh tingkat Desa, Amir Hasan dan Inong dengan besar hati menceritakan prosesi peristiwa pembantaian. Dengan tidak merasa bersalah. Paman Adi sendiri yang ketika itu bertugas menjaga penjara dimana kakak Adi dikurung, tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya melaksanakan tugas.

Setelah selesai pemutaran film, banyak peserta diskusi melemparkan argumennya mengenai film tersebut. Di antaranya Wahid Irawan yang mempertanyakan akar dari pesoalan yang terjadi pada peristiwa 1965. Mengutip dari Ariel Heryanto penulis terorisme negara, dalam bukunya jelaskan untuk membedakan peristiwa 1965 ada dua cara. Pertama, melalui cara vertikal dari atas kebawah dan yang kedua, horizontal.

Menurutnya, peristiwa 1965 ini adalah vertikal karena, tidak mungkin ada satu konflik yang begitu besar sampai bertahun-tahun dan terus terjadi tanpa ada campur tangan negara. Hal ini terus terjadi disebabkan negara belum menyelesaikan tugasnya dengan meminta maaf kepada para korban. Inilah faktor penyebab naiknya isu ini setelah Soeharto turun.

Dalam diskusi, Yosa Sastrama Putra jelaskan bahwa ada sebuah penelitian yang dilakukan Jhon Roosa dalam bukunya. Ia menganggap bahwa kejadian 1965 itu tidak mungkin PKI melakukannya, teorinya mengatakan kejadian 1965 adalah kudeta yang dilakukan oleh Soeharto untuk merebut kekuasaan.

Setelah kejadian 1965 Soeharto naik setelah mendapatkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Ketika Soeharto memimpin negara, lalu memerintahkan bahwa seluruh orang yang terkait dengan PKI harus dimusnahkan ke akar-akarnya. Pembantaian paling besar yang pertama kali terjadi yaitu  di Bali. Sekitar satu juta korban, lalu berikutnya hingga sampailah pembantaian yang di Medan, Sumatra Barat dan Jawa.

Hari ini muncul isu G30S/PKI, disebabkan oleh Yayasan Penelitian Korban Pembantaian 1965 (YPKP) meminta pertanggungjawaban negara kenapa mereka dieksekusi waktu itu. Para korban 1965 meminta rekonsiliasi agar negara membuka lagi sejarah dan meminta maaf kepada korban, supaya korban-korban ini tidak menjadi stigma (berbagai pandangan negatif, pemikiran negatif). Karena setiap yang masih berkaitan dengan PKI akan susah mendapat pekerjaan.

Menurut Yosa, alasan negara tidak mau mengungkapkan sejarah karena, ketika sejarah kembali diungkap, maka akan ada nama-nama yang akan tercantum seperti penguasa-penguasa saat ini yang pernah melakukan intruksi dalam pembunuhan 1965. Tentunya ini akan menjadi konflik baru, untuk itu para korban-korban 1965 yang ingin mengungkap sejarah mereka langsung dituding PKI. Apalagi kejadian 1965 adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia berat (HAM), bukan hanya hukuman nasional tapi bisa dibawa kepengadilan internasional. Maka itu mereka melakukan genosida (penghapusan atau pembunuhan karakter satu suku, atau bangsa).

Ramli dibunuh hanya karena dia adalah salah satu pengiat PKI  dibidang buruh dan tani. Ramli hanya khusus dibagian bawahan yang tidak tahu dengan kudeta 1965, tapi tetap dibunuh. Karena, itulah tujuan Soeharto untuk menghilangkan bukti dan memberikan doktrinisasi (pencucian otak) bahwa PKI benar-benar yang bersalah, tapi pada kenyataannya, kembali membuka kasus dan melihat banyak kejadian yang janggal di 1965 menurut film G30S/PKI.

Salah satu kejanggalannya adalah, ketika mayat tujuh jendral di silet-silet, kemaluannya dipotong, lalu sebelum mereka dibunuh para Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) berjoget riang. Itu adalah kebohongan paling besar yang tidak pernah dilakukuan. Salah satu saksinya adalah Dokter Forensik dari Belanda yang diwawancarai oleh indoprogress.com mengatakan luka silet itu tidak ada, tidak ada luka potong, semuanya bersih hanya ada luka tembak.

“Dalam film tadi, para pembunuh mengatakan bahwa PKI tidak memiliki agama, sehingga mereka memberontak,” ujar Dede Mutiara Yaste.

Langsung mendapat tanggapan dari Yosa. Perpecahan antara orang beragama dengan Komunis yang dikatakan tidak beragama atau orang yang tidak bertuhan, itulah yang ditanamkan oleh orde baru bahwa komunis adalah anti tuhan. Namun kenyataannya tidak seperti itu, “siapa sebenarnya yang memberontak? PKI kah, atau PKI yang dimanfaatkan militer, militer yang dimanfaatkan PKI, atau Soeharto sendiri?” Ungkapnya.

Film Jagal dan Senyap bisa dijadikan sebagai perbandingan sejarah. Ada beberapa teori yang mengatakan bahwa, tidak mungkin hanya PKI saja yang melakukannya. Ada kesalahan dalam sejarah yang harus diluruskan, tetapi sejarah yang mau diluruskan ini mencoba di halang-halangi oleh sebagian orang yang pernah terlibat agar namanya tidak pernah tersebut lagi.

Herlina katakan, bawa banyak hikmah yang dapat diambil dari film ini. Maka dari itu sebagai pemuda harus belajar, apa sebenarnya motif dibalik ini semua. Harus punya pandangan lebih luas dan tidak mendoktrin diri sendiri. “Jika kita hanya melihat 1965 itu merupakan penggalan sejarah satu titik saja, namun jika kita melihat sepanjang sejarah manusia, kita bisa melihatnya secara global” ujarnya.

“Melalui kegiatan menonton dan diskusi film senyap ini kami tidak sedang membela pihak korban atau siapapun yang terlibat dalam pembunuhan massa 1965, hanya sebagai bahan bacaan seperti buku. Film juga bisa sebagai bahan kita untuk berpandangan sendiri,” tutur Laras Olivia—Pemimpin Umum AKLaMASI.

Di akhir diskusi Yosa juga katakan bahwa masih banyak yang tidak mengetahui peristiwa 1965 ini, dengan diskusi dan berkumpul seperti ini itulah kunci menyadarkan ideologi, dari pada berdebat dimedia sosial, orang lain akan berfikri kita hanya membuat persimpangan baru, bahwa ini ada satu jalan yang lurus yang tidak diketahui orang ternyata ada jalan yang lain, sejarah yang belum selesai.

“Orang yang bisa menguasai sejarah adalah orang yang menang. Orang menang, akan membuat versi sejarah menurut dia, dan orang yang kalah itu akan tenggelam,” tutupnya.

 

Penulis : Arniati Kurniasih

Editor : Laras Olivia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *