Jati Diri Toleransi Desa Bendosari Salatiga

Indonesia bakal gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo ( Kekayaan alam yang berlimpah, kondisi aman serta tentram), begitu kata nenek moyang kita.

Di halaman Hotel Grand Wahid Salatiga, dua mini bus menanti rombongan Workshop Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) mengadakan field visit reportase (03/09) menuju pura dan gereja. Pukul 13.30 bus pun meninggalkan jejak di halaman hotel.

Terlihat aktivitas masyarakat Kota Salatiga dengan semua kesibukan mereka. Kegiatan berdagang disepanjang jalan selepas bertolak dari hotel. Kehidupan masyarakat yang tenang dan harmonis ditengah-tengah pluralitas agama. Bau angin yang sejuk meski terik matahari dan puncak Merbabu turut mengiringi perjalanan yang memakan waktu hingga 20 menit.

Pura Adya Dharma, berlokasi di Jalan Purasari Desa Bendosari Kecamatan Argomulyo Salatiga. Kami disambut dua lelaki paruhbaya dengan senyuman ramah nan ikhlas dari bibir mereka. Lantas kami dipersilahkan duduk di ruang Madya Mandala. Sapa akrab dan rombongan field visit reportase yang berasal dari berbagai daerah, suku, dan agama satu persatu mengenalkan diri.

Pura yang merupakan tempat peribadatan umat Hindu tertua di Salatiga ini dirawat oleh seorang pemeluk agama Islam, sedang masalah keamanan dipasrahkan kepada pemeluk agama Kristen.

“Semua itu mereka kerjakan ikhlas tanpa mengaharap imbalan. Inilah bukti konkret tingginya toleransi beragama di Desa Bendosari,” ujar Nyoman selaku Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Kabag Humas) di Polres  setempat saat membuka perbincangan.

Bediri pada tahun 1995, H. Mardianto, selaku Gubernur pada tahun 2000 turut meresmikan Pura Adya Dharma. Disamping kiri Nyoman, seorang berbusana putih lengkap dengan atribut kalung dan ikatan yang mengingat jambul dikepalanya. Adalah Romo Wiku Satya Dharma Telaga—Pandhita Pura Adhya Dharma.

“ Om Swastiastu, Assalamualaikum, Shalom, Namaste,” ucap Romo Wiku meyalami kami sembari merapatkan kedua tangannya di depan dada.

Romo Wiku menjelaskan makna dari kata Adhiya Dharma berasal dari kata Adya (sedang) dan Dharma (Kebenaran). Makna kata tersebut mengisyaratkan bahwa manusia memiliki jasmani dan rohani yang sedang menuju pada kebenaran untuk mencapai titik tertinggi, yakni kesejatian dalam hidup.

Selain kepengurusan pura oleh umat beda agama. Representasi kondisi ril juga terlihat dari kerukunan masyarakat Bendosari. Umat Hindu tetap hidup damai meski berada dilingkungan yang mayoritas pemeluk agama Kriten Protestan dan Islam. Kegiatan sosial warga Bendosari, penuh toleransi dan gotong-royong. Warga biasanya saling bahu membahu apabila ada pembangunan di desa. Saling menjaga komunikasi dalam Rukun Tetangga (RT) merupakan kunci hidup rukun mereka.

“Bicara mengenai toleransi di kota Salatiga memang tidak perlu diragukan lagi.  Tidak jauh dari pura terdapat Gereja Salib Putih peninggalan Belanda, di depan gereja itu juga mau dibangun masjid,” ujar Karmat, warga Bendosari.

Pluralitas sebagai pondasi bangsa tidak bisa disangkal. Nasionalisme kita itu berbeda-beda tapi satu, bukan homogen yang sangat dipaksakan. Salatiga Satu-satunya kota di Pulau Jawa yang memberikan harapan bahwa masih ada kota  toleran di Indonesia khususnya Jawa. Itu sebabnya Kota Salatiga dinobatkan sebagai kota paling toleran nomor dua setelah Pematang Siantar, menurut Setara Institut setelah mengadakan survey di 94 kota.

Ditengah maraknya isu SARA yang mengatasnamakan suku, agama, ras dan golongan sebagai sumber konflik, masyarakat Desa Bendosari justru membuktikan bahwa mereka mampu merawat keberagaman yang berbasis pluralitas beragama. Wujud keberagaman tersebut, mereka ekspresikan dalam rasa saling menghormati dan menghargai antar umat beragama. Seperti halnya saat membangun jalan di depan Pura, masyarakat saling bergotong royong menyukseskan program tersebut. Selain itu, warga non Hindu juga turut membantu acara wedalan (hari ulang tahun pura) dengan membuat arak arakan.

“Umat Islam dan Kristen biasanya turut serta memasang umbul-umbul sebagai bentuk solidaritas dalam merawat toleransi,” ungkap Nyoman.

Perayaan keagamaan antar umat dijadikan media untuk memperkukuh persatuan.  Anjangsana (perkumpulan antar pemuka agama) kerap dilakukan guna mengeratkan solidaritas antar pemuka agama. “Kami ikut acara halal bi halal pada hari raya idul fitri, jika ada perayaan natal kami berkunjung ke rumah mereka,” imbuh Romo Wiku sambil duduk bersila.

Hampir tidak ada soal-soal gesekan agama yang ada di Desa Bendosari. Hampir tidak ada masalah sosial, soal agama, dan ras. Dalam hal itu, peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dipimpin KH. Drs. Tamam Qulany menjadi penting dalam kehidupan masyarakat yang beragama. Para pemuka agama maupun komunitas-komunitas pemuda sering mengadakan pertemuan guna memberikan kesadaran akan pentingnya toleransi antar umat. Kendati begitu, tanpa dukungan masyarakat yang sangat menyadari betapa pentingnya merawat kerukunan beragama pada era Media sosial, mustahil kedamaian bakal terwujud. Kepiawaian dan kedewasaan cara berfikir masyarakatnya juga menjadi peran penting.

Beragam teori tentang kerukunan umat beragama mungkin setiap saat bisa dibaca di diktat tebal. Namun, bagi masyarakat Bendosari, mereka sudah belajar secara otodidak mengenai pentingnya merawat perdamaian antar suku, ras, agama dan antar golongan (SARA). Di mulai sejak Republik ini berdiri, yang namanya perbedaan keyakinan telah ada. Hebatnya, tak ada individu yang merasa terusik. Ditambah lagi dengan adanya Universitas Kristen Satya Wacana yang menampung beragam mahasiswa dari berbagai daerah. Itu turut menjadi cerminan kota Salatiga yang beragan tapi tetap rukun.

Menurut Romo Wiku, agama bukanlah aspek yang perlu perdebatan. Tuhan hanya satu, keyakinan manusialah yang berbeda. Biarlah perbedaan tetap tumbuh untuk memperkaya pengetahuan dalam konteks keragaman agama dan budaya.

Oleh : Laras Olivia

Editor: Arniati Kurniasih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *