Menyoal Isu Lingkungan

Hari kedua Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJTLN)  yang ditaja oleh Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra Universitas Lampung, mengundang Agus Sudibyo penulis buku 34 prinsip etis jurnalisme lingkungan sebagai pemateri. Mengangkat tema Etika Jurnalisme Lingkungan.

Agus katakan bahwa jurnalisme lingkungan ini sangatlah penting, karena pencemaran lingkungan sering kali terjadi di Indonesia. Menurutnya, jurnalisme lingkungan harus mengorbankan kepentingan satu orang demi kepentingan publik. Dalam hal ini seperti yang ia contohkan, perusahaan-perusahaan asing yang bekerjasama dengan pemerintah dalam klaim wilayah Sumber Daya Alam (SDA) atau perairan. Fenomena ini seringkali merugikan pihak masyarakat di daerah tersebut.

Seorang jurnalis yang ingin menuliskan isu tentang lingkungan harus membuka mindset. “Jangan seperti mata kuda hanya terfokus pada lingkungan saja, namun buka lagi pandangan yang lebih luas mengenai keseimbangan alam” ujarnya, Minggu (29/10).

Dalam materinya, Agus jelaskan ada beberapa etika jurnalisme lingkungan yang harus diketahui oleh seorang jurnalis. Yaitu, bergerak di antara banyak kepentingan publik, bergerak memberitakan fakta, pers harus independen, mengontrol kekuasaan, berpihak kepada yang lemah, konflik dikomodikasi atau diupayakan penyelesaiannya, memperkaya prespektif tentang lingkungan, menyuguhkan beragam informasi dan sudut pandang.

Penulisan jurnalisme lingkungan sangat membutuhkan verifikasi dari beberapa narasumber yang berkaitan dengan masalah yang sedang terjadi. Dalam penulisan harus benar dan selalu cross check untuk menguji keaslian data yang di dapat, “ saring sebelum sharing” tuturnya.

Selesai penjelasan materi, peserta mulai melontarkan pertanyaan mengenai permasalahan yang terjadi di lingkungan daerah asal meraka. Di antaranya, Muhammad Lutfi perwakilan dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Obsesi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto. Ia cerita bahwa di daerahnya ada pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Penggerusan gunung merapi untuk pembangkitan tenaga listrik yang bertujuan agar tidak terjadi krisis listrik di lingkungan setempat. “Akibat dari penggerusan itu tanah di sekitar menjadi longsor dan masuk ke dalam sungai, membuat air di sungai menjadi tercemar dan banyak ikan-ikan mati. Bagaimana kita sebagai jurnalis lingkungan menyikapinya?”.

Agus langsung menanggapi pertanyaan dari Lutfi, bahwa sebagai jurnalis lingkungan yang pertama kali harus dimiliki adalah data, dari data tersebut dan dikupas tuntas, baru dapat diketahui sikap apa yang dapat diambil sebagai jurnalis lingkungan. “Seperti menampilkan data-data yang sudah kita pegang ke ruang publik,” terangnya.

Hal ini juga ditanggapi oleh Misthafiyatillah, perwakilan dari Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Genta Andalas Sumatera Barat. Menurutnya apa yang dilakukan pemerintah semata-mata adalah untuk kepentingan publik. Dengan adanya aliran listrik tersebut, maka pemerintah tidak menggunakan bahan fosil seperti batubara dan minyak bumi, yang lambat laun akan habis dan tidak bisa diperbaharui. “Dengan adanya pembangkit tenaga listrik itu dapat membantu masyarakat juga, bayangkan saja 20 tahun atau 50 tahun kedepan kita harus berjalan kaki menuju tempat yang jauh karena habisnya bahan bakar untuk pesawat, mobil, dan kendaraan lainnya jika terus menggunakan bahan fosil” ujarnya.

Agus kembali angkat bicara untuk meluruskan. Jurnalisme lingkungan sangat mendahulukan kepentingan umum, jadi dari kejadian tadi mana yang merupakan kepentingan untuk orang banyak, disatu sisi pencemaran sungai juga merugikan banyak orang namun, dampak kedepannya hal tersebut bisa menjadi manfaat yang besar bagi masyarakatnya, “tergantung masyarakatnya lagi mau bersusah-susah dulu demi kesenangan di akhir atau sebaliknya” tutupnya.

 

Reporter : Arniati Kurniasih

Editor : Laras Olivia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *