Konflik Tenurial di Riau Tak Kunjung Usai

Sustainnable Social Development Partnership (Scale Up) atau Kemitraan Pembangunan Berkelanjutan adakan diskusi “Satu Dasawarsa Konflik Tenurial di Bumi Melayu”. Acara ini dihadiri berbagai media cetak ataupun online yang ada di Riau, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Riau (UR) dan Universitas Islam Riau (UIR), Media Mahasiswa UR dan UIR serta para mahasiswa jurusan Hukum dan Kehutanan, yang berlangsung di Evo Hotel, Selasa(9/1).

Menurut peneliti Dr. Elvriadi mengatakan bahwa, ada beberapa akar yang mengakibatkan konflik tenurial di Riau, cengkraman Struktural dan Politik  Hegemoni Negara terhadap rakyat diantaranya; penetapan 70% total luas kawasan hutan yang mana ketetapan itu ditetapkan oleh belanda dan sampai sekarang belum diubah, pola pikir negara dan produk Undang-Undang (UU) yang tidak mengakui adanya hak ulayat atau wilayah kelola masyarakat adat, adanya ketimpangan distribusi kepemilikan lahan, konflik perizinan investasi, pengawasan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), adanya disorientasi Manajeman sumber daya alam (SDA), menjadikan SDA dan lingkungan sebagai komoditas semata dan hasil SDA tidak digunakan untuk kesejahteraan hutan maupun masyarakat sekitar.

“Hal ini akan terus bertambah bila tidak adanya keseimbangan antara pihak satu dengan pihak lainnya” ujarnya.

Harry Otavian selaku Direktur Scale Up jelaskan bahwa Riau memiliki luas 8.915.016 Hektar, yang terdiri dari 1.846 desa dan dihuni oleh 6.500.971 jiwa penduduk Lancang Kuning. Dengan luas sebanyak itu wilayah kawasan hutan 5.499.659 Hektar, 2.424.545 Hektar sawit, 2.394.027 izin kehutanan, dan seluas 3.415.357 untuk area peruntukan lain.

Harry juga katakan konflik tenurial merupakan permasalahan lahan yang sudah dan terus mengalami peningkatan, hal ini dilatarbelakangi dua hal yang pertama, masih adanya pertentangan dalam ranah regulasi antara instansi pemerintah. Kedua, berlarut-larutnya penyelesaian konflik karena adanya mekanisme dan lembaga yang secara efektif menangani konflik.

“ selama tahun 2017 Scale Up mengetahui ada 76 konflik tenurial di Riau, yang terdiri dari 139 desa yang mana konflik tersebut mengakibatkan ada 6 masyarakat yang ditahan oleh pihak yang berkewajiban, 7 orang luka-luka serta 2 jiwa melayang dalam konflik yang terjadi yang sebagian besarnya terjadi di sektor perkebunan seluas 98,043 Hektar”. Ungkap Harry saat rilis catatan konflik akhir tahun 2017 di Meeting Room Evo Hotel.

Menurut Harry, Kabupaten Pelelawan selalu menjadi konflik tertinggi dalam tiga tahun terakhir, terdapat 20 konflik pada tahun 2017 dan konflik terendah ada di daerah Meranti hanya terjadi 2 konflik di tahun yang sama.

Scale Up sendiri memiliki empat rekomendasi untuk pihak pemerintah dalam mengatasi permasalahan ini. Pertama, mendorong implementasi perhunian Sosial dan taraf untuk memberikan kepastian hukum masyarakat atau ruang kelola dan langkah resolusi konflik. Kedua, mengefektifkan kembali komitmen yang dimiliki pihak pemerintah dan swasta dalam menyelesaikan konflik. Ketiga,  pemerintah harus menyelenggarakan pelayanan publik dengan trasparan, akuntable,efesien dan tanggung jawab. Keempat memastikan bahwa calon Gubernur yang maju dalam pemilihan kepala daerah memiliki komitmen untuk penanganan dan penyelesaian konflik.

Ahmad Fikri—Kepala Ombudsman Riau— ungkapkan kesiapan mereka dalam membantu pihak pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan tenurial, “kami siap membantu pihak pemerintah dalam penanganan konflik yang terjadi di pelayanan publik seperti, pelayanan barang publik,jasa publik dan administratif” tuturnya.

Selain itu, Firman Agus—Perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Riau—katakan bahwa berita bagus harus dimulai dengan memperbaiki sistem dari masing-masing personalnya, “mari kita sama-sama saling membagi informasi dan menekan pihak menegah harus mau kritis dalam menangkap suatu kebijakan pemerintah” tutupnya.

 

Reporter: Nisa Hasanah (Magang)

Editor: Arniati Kurniasih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *