Diskusi Rumah Suku  : Menjinakkan Kebudayaan Millenial

Rumah Kreatif Suku Seni Riau yang merupakan komunitas seni di Pekanbaru taja diskusi umum yang menghadirkan Prof. Tulus Warsito. Salah satu perupa dan Guru Besar Diplomasi Kebudayaan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Sebelumnya ia juga pernah menjadi pemateri  diskusi pada bulan April di Rumah Suku, dengan pembahasan politik.

Kegiatan diskusi  Selasa, (11/9) dibuka dengan penampilan musikalisasi puisi. Dihadiri beberapa organsasi dan komunitas seperti, Komunitas paragraf,  AKLaMASI, Serikat Sastra Riau, Competer, dan Malam Puisi.

Dalam materinya, ia menyampaikan kemajuan zaman yang semakin berkembang membuat generasi millenial kecanduan dalam menikmati alat teknologi. Seni dan budaya menjadi pembahasan yang dikaitkan dengan teknologi.

“Yang membuat budaya itu adalah manusia sendiri, hindari konteks-konteks yang membuat kita lupa akan diri kita,” ucap Prof. Tulus Warsito.

Ia juga menjelaskan esensi dari tema yang diangkat dalam diskusi malam itu, “Menjinakkan Millenial”. Setiap individu harus bisa memulai dari dirinya sendiri, mengontrol diri dan nafsu dari pesatnya perkembangan teknologi.

Seni dan budaya bersifat dinamis, sejalan dengan perkembangan zaman dan manusia itu  sendiri. Dede Mutiara Yaste lalu memberi pertanyaan, “Seni yang termasuk ke dalam unsur budaya, kini telah dicampuri oleh politik, lalu bagaimana pandangan Prof. Tulus terhadap hal tersebut?”

Tulus Warsito membenarkan pernyataan tersebut. Dan menurutnya bahwa politik adalah unsur yang paling berpengaruh terhadap seni itu sendiri, dari pada unsur yang lainnya.

Kepala Suku Seni Riau—Marhalim Zaini, menambahkan bahwa banyak juga hal positif yang didatangkan pada era millenial ini. Jika dilihat dari aspek lapangan pekerjaan. “Tidak sedikit dari anak millenial yang menggunakan gadgetnya untuk peluang usaha di media sosial. Seperti membuka online shop,” tuturnya.

“Dulu, kita masih melihat tukang ojek mangkal di sudut-sudut jalan, tapi sekarang hanya dengan aplikasi kita sudah bisa memesan apapun dalam waktu sekejap,” tambah Tulus Warsito.

Generasi yang lahir pada masa transisi millenial, masih merasakan masa-masa tanpa gadget. Pestnya perkembangan teknologi hanya menciptakan “kerinduan” terhadap masa-masa dulu yang pernah dilalui.

“Kita hanya perlu merenung dan tidak perlu menolak datangnya teknologi. Semua kan ada manfaatnya, jika digunakan untuk hal yang positif. Jadikan teknologi hanya sebagai alat, dan jangan kita yang diperalat.” Tutup Tulus Warsito.

Pada akhir diskusi, moderator mengambil kesimpulan. “Ada banyak pintu untuk menjinakkan kebudayaan millenial, dari agama, adat istiadat daerah, dan diri sendiri. Jangan berselimut pada apa yang telah ada tetapi harus mampu melakukan perubahan”.

 

Penulis : Dendi Alrizki (Kru Magang)

Editor : Laras Olivia