Kelapa Sawit, Apa Nak Jadi ?

 

Oleh: Dr. Ir. H. T. Edy Sabli, M.Si

 

Riau terbilang sebagai provinsi yang kaya akan sumber daya alamnya, sehingga layak dijuluki “Negeri minyak di bawah dan minyak di atas”. Karena Riau tercatat sebagai penghasil utama minyak bumi, sampai minyak kelapa sawit untuk devisa negara.

Berbicara soal minyak kelapa sawit, berdasarkan data yang dilangsir dari Pusat Data dan Sistem Infomasi Kementerian Pertanian Tahun 2019, Provinsi Riau merupakan penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia dengan luas kebun mencapai 2,430,510 hektar dan produksi mencapai rata-rata 8,605,650 ton.

Namun, belakangan ini petani kelapa sawit mulai harap-harap cemas karena harga sawit mulai tak menentu dan cenderung terus menurun. Selain itu, berkembang pula berbagai isu terkait ancaman terhadap minyak sawit, baik dalam bentuk kampanye hitam, labelisasi Palm Oil Free, boikot, hingga embargo. Bahkan Uni Eropa mengancam untuk menghapus penggunaan minyak kelapa sawit di Eropa mulai Tahun 2030 yang akan datang.  Kalau sudah demikian apa nak jadi?

 

Kelapa Sawit Riwayatmu kini

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis) bukanlah tanaman asli Indonesia, namun berasal dari Afrika Barat, merupakan tanaman penghasil utama minyak nabati yang mempunyai produktivitas lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya.

Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Pemerintah Belanda pada Tahun 1848.  Saat itu ada 4 batang bibit kelapa sawit yang ditanam di Kebun Raya Bogor (Botanical Garden).  Dua berasal dari Bourbon (Mauritius) dan dua lainnya dari Hortus Botanicus, Amsterdam.  Awalnya tanaman kelapa sawit dibudidayakan sebagai tanaman hias, sedangkan pembudidayaan tanaman ini untuk tujuan komersil baru dimulai pada Tahun 1911.  Di kampung saya, Pelalawan menurut cerita orang tua-tua, dulunya kelapa sawit ini lebih dikenal dengan nama “kelapa puyuh”.

Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet (orang Belgia), kemudian diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran.  Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli, Provinsi Sumatera Utara) dan Aceh, dengan luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 5,123 hektar.

Pada masa pemerintahan orde baru, pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan, dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan sektor penghasil devisa negara.

Sampai pada Tahun 1980, luas lahan kelapa sawit mencapai 294.560 hektar dengan produksi CPO (Crude Palm Oil) sebesar 721,172 ton. Sejak itu, lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat, terutama perkebunan rakyat.  Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah  yang melaksanakan program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun).  Seiring dengan itu, ekspor minyak sawit Indonesia juga kian meningkat antara lain ke Belanda, India, Cina, Malaysia dan Jerman. Sedangkan untuk produk minyak inti sawit lebih banyak diekspor ke Belanda, Amerika Serikat dan Brasil.

Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tercatat hingga saat ini seluas 14,03 juta hektar. Dari luas lahan perkebunan kelapa sawit tersebut, sekitar 5 juta hektar merupakan perkebunan kelapa sawit milik rakyat. Sedangkan tingkat produksi minyak sawit Indonesia berkisar 37,8 juta ton dengan rata-rata produktivitas berkisar 3,6 ton per hektar (Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, 2019).

Di sisi lain, jumlah petani yang bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit saat ini telah menyebar pada 15 negara, diperkirakan telah mencapai sekitar 50 juta orang pekerja yang menghidupi sekitar 200 juta orang anggota keluarganya. Di Indonesia, sektor perkebunan kelapa sawit mampu menyerap sebanyak 5,7 juta orang, dengan 2,2 juta orang merupakan orang-orang yang terlibat langsung dalam perkebunan sawit rakyat.

Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian mengungkapkan rata-rata produktivitas Tandan Buah Segar (TBS) perkebunan sawit rakyat hanya 2-3 ton per hektar, jauh dibawah angka produktivitas kebun kelapa sawit negeri jiran kita, Malaysia, yang bisa mencapai angka 12 ton per hektar.  Rendahnya produktivitas kebun kelapa sawit rakyat ini karena dua sebab yang paling dominan, yakni usia tanaman yang sudah tua, serta bibit kelapa sawit yang tidak berkualitas.

Bagian utama untuk diolah dari kelapa sawit adalah buahnya.  Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harganya yang murah, dan tidak mengandung asam lemak trans. Sedangkan minyak kedelai dan minyak bunga matahari mengandung asam lemak trans yang ditengarai penyebab penyakit jantung dan pembuluh darah, mengandung anti oksidan seperti beta karoten, tokoferol yang bermanfaat sebagai anti kanker, rendah kolesterol dan anti penuaan dini.

Minyak sawit juga dapat diolah menjadi bahan baku alkohol, sabun, lilin, dan industri kosmetik. Sisa pengolahan buah sawit sangat potensial menjadi bahan campuran makanan ternak dan difermentasi menjadi kompos dan bokashi.  Tandan kosong (tangkos) dapat dimanfaatkan untuk mulsa, sebagai bahan baku pembuatan pulp dan pelarut organik, dan tempurung kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan pembuatan arang aktif.

Masa produksi tanaman kelapa sawit cukup panjang (sekitar 25 tahun), akan mempengaruhi ringannya biaya yang dikeluarkan pengusaha kelapa sawit. Tanaman ini juga tergolong mudah dibudidayakan dan dapat tumbuh diberbagai kondisi tingkat kesuburan lahan dan termasuk relatif tahan terhadap serangan hama dan penyakit.

 

Sawit Kotor versus Sawit Bersih

Kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat strategis terutama dalam bidang perekonomian Indonesia yaitu; 1) Minyak sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng, sehingga pasokan yang kontinyu ikut menjaga kestabilan harga dari minyak goreng di pasar, hal ini penting karena minyak goreng merupakan salah satu dari 9 bahan pokok kebutuhan masyarakat sehingga harganya harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. 2) Kelapa sawit sebagai salah satu komoditas pertanian andalan ekspor non migas, mempuyai prospek sebagai sumber dalam perolehan devisa maupun pajak bagi negara. 3) Mampu menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri berkembangnya perusahaan-perusahaan industri kelapa sawit telah menimbulkan berbagai masalah di lapangan, mulai dari masalah tenaga kerja, lingkungan, konflik manusia dan hewan dilindungi seperti harimau, gajah, beruang, buaya dan sebagainya yang terganggu habitatnya, sampai masalah konflik sosial dan pelanggaran hak asasi manusia. Ekspansi perkebunan sawit di Indonesia utamanya yang dimiliki korporasi skala besar telah menjadi salah satu penyebab utama konflik agraria.

Rencana Uni Eropa melarang penggunaan minyak kelapa sawit (CPO) dalam bahan bakar nabati berakar dari banyak persoalan, diantaranya deforestasi, alih fungsi lahan, konflik masyarakat adat, ancaman kesehatan dan perubahan iklim di negara produsen. Perluasan lahan perkebunan kelapa sawit disinyalir telah menjadi penyebab utama kebakaran hutan, gambut mengering, sungai kritis, erosi, hingga keberadaan keanekaragaman hayati semakin terdesak, dengan demikian apa yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit ini dianggap sebagai produksi “sawit kotor”.

Jika larangan minyak sawit sebagai bahan dasar energi diterapkan maka harus segera dicarikan solusi bagi nasib kelapa sawit ke depan, mungkinkah dengan menerapkan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, sehingga mengasilkan produksi “sawit bersih” ataukah telah tiba masanya kita mengucapkan selamat tinggal kepada komoditi kelapa sawit?

Wallahu a’lam bissawab


Pak Edi
Dr. Ir. H. T. Edy Sabli, M.Si Ketua Prodi S2 Agronomi Program Pascasarjana UIR

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *