‘Marsinah’, Simbol Perjuangan Buruh Indonesia

 

Oleh: Gerin Rio Pranata

 

Marsinah, bukan maling uang rakyat, namun ia dipaksa-hilangkan hidupnya hanya karena menuntut haknya sebegai pekerja.


26 tahun silam, Marsinah, seorang buruh PT. Catur Putera Surya (CPS), yang memproduksi jam tangan, meninggal dunia dengan bekas luka tembak pada kemaluannya. Ia meninggal di usia 24 tahun usai menghampiri rekan-rekannya yang ditahan setelah melakukan aksi mogok kerja selama dua hari. Sebelumnya ia diculik selama tiga hari dan disiksa.

Marsinah lahir pada 10 April 1969, anak kedua dari tiga bersaudara, dan hidup tanpa ibu sejak umur 3 tahun. Marsinah kecil dirawat oleh neneknya di desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur. Marsinah adalah simbol bagi buruh Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak sebagai pekerja kelas bawah. Namanya digaungkan setiap Mei di Hari Buruh dalam perlawanan buruh untuk mendapatkan kehidupan yang layak.

Dieqy Hasbi Wardhana dalam tulisannya di laman tirto.id, Satu Bulan Sebelum Meninggalnya Marsinah, presiden soeharto menghadiri pertemuan Hak Asasi Manusia di Thailand. PBB mencanangkan RUU Hak Asasi Manusia, namun Soeharto menyatakan tidak setuju dengan RUU tersebut. Soeharto menjelaskan, di Asia warga tidak bisa bebas mengkritik pemimpinnya.

Presiden bertangan baja tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara harus menaruh rasa hormat kepada pemimpin negaranya. Seperti halnya anak kepada orang tua. Hal itu diuraikan Leena Avonius dan Damien Kingsbury dalam “From Marsinah to Munir: Grounding Human Rights in Indonesia” yang terbit tahun 2008. Dikutip pada laman tirto.id, (8 Mei 2018).

Soeharto melakukan intervensi yang kuat untuk memonitor dan mengatur protes buruh. Dia memiliki perangkat Surat Keputusan Bakorstanas No.02/Satnas/XII/1990 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342/Men/1986. Jika ada perselisihan antara buruh dengan pengusaha, maka yang berhak memediasi adalah militer. Dengan keluarnya surat tersebut, para pekerja yang kritis dalam memperjuangkan hak-haknya harus siap menerima intimidasi dan penangkapan oleh rezim orde baru.

Pada awal tahun 1993, Gubernur KDh (Kepala Daerah) Tk. I Jawa Timur mengeluarkan Surat Edaran No. 50/Th. 1992, yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Namun, medio April 1993, timbul keresahan pada karyawan PT. CPS saat membahas surat edaran tersebut. Keresahan ini membuat karyawan PT. CPS mengambil langkah untuk melakukan unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Dalam unjuk rasa tersebut karyawan PT. CPS menuntut kenaikan upah dari Rp.1.700 menjadi Rp.2.250 per bulan.

Marsinah dan rekan-rekannya membuat 12 tuntutan yaitu, kenaikan upah sesuai kebutuhan buruh, tunjangan cuti haid, asuransi kesehatan buruh ditanggung perusahaan, THR minta satu bulan gaji sesuai himbauan pemerintah, uang makan ditambah, kenaikan uang transportasi, bubarkan Serikat Partai Buruh Seluruh Indonesia, tunjangan cuti hamil, upah karyawan baru disamakan dengan upah katyawan lama, pengusaha dilarang melakukan mutasi, intimidasi, dan PHK kepada karyaman yang menuntut haknya.

Kemudian, 13 orang buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa tersebut digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Rekan Marsinah, Uus (43) menuturkan kepada merdeka.com (2 Mei 2016), mengetahui hal tersebut Marsinah langsung mengunjungi teman-temannya ke Kodim.

Menurut Uus, para buruh sudah puas dengan keputusan perusahaan yang telah menaikkan gaji. Bahkan Marsinah mengajak rekan-rekannya untuk bekerja lebih giat .

Wes yo rek, perjuangane awak dewe wes mari. Upahe awak dewe wes diundakno. Saiki, aku titip. Ayo kerjo sing temen, gawe masa depane awak dewe,” ujar Uus sambil menirukan gaya bahasa Marsinah.

Setelah mendatangi rekan-rekannya, Marsinah pamit untuk makan malam di seberang Jalan Raya Porong. Sedangkan Uus dan rekan-rekannya kembali ke kos di Desa Siring. Malam itu adalah pertemuan terakhir Marsinah dan rekan buruh lainnya. Pada kurun waktu 6, 7, 8 Mei 1993 Marsinah menghilang tanpa kabar. Rekannya mengira bahwa Marsinah pulang ke kampung halamannya di Nganjuk.

Pagi 8 Mei 1993, Uus dan rekan buruh lainnya mendapat kabar bahwa Marsinah ditemukan meninggal penuh luka di hutan Dusun Jegong, Desa Wilangan, Nganjuk. Kematiannya diduga karena aksi buruh yang ia lakukan bersama rekan-rekannya.

Kini, sudah 26 tahun lamanya kasus pembunuhan misterius Marsinah masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia. Kepala staff kepresidenan, Moeldoko, mengatakan cukup sulit untuk mengungkap kasus tersebut karena kejadian yang sudah terjadi puluhan tahun lalu. katanya kepada merdeka.com, (8 Mei 2018).


Editor: Ardian Pratama


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *