Tradisi Tionghoa Rayakan Datangnya Musim Semi


Oleh: Arif Widyantiko


Malam itu, Kota Pekanbaru terlihat lebih ramai dari biasanya, padat kendaraan yang melintas di jalan raya membuat ruang gerak ku tidak leluasa, sehingga menjadi sedikit terlambat menuju tempat perayaan Cap Go Meh. Lokasi acara yang berada di Kampung Tionghoa Jalan Karet, Kecamatan Senapelan ini, sudah tampak ramai pengunjung. Setibanya di lokasi aku pun bergegas memarkirkan sepeda motor. Parkiran terlihat sangat sempit hari itu.  

Berada di sebuah gang, kanan kirinya diapit oleh bangunan-bangunan toko tingkat dua, terlihat begitu sempit, ditambah kerumunan orang yang memadati jalan. Penuh dan sesak, malam itu jalanan di dominasi oleh warna merah, bahkan bukan hanya orang-orang dari etnis Tionghoa, etnis lain juga banyak yang menggunakan aksesoris maupun baju berwarna merah, hanya untuk sekadar menghargai perayaan.

 Beraneka ragam pernak-pernik memperindah suasana malam, salah satu yang menarik perhatianku yaitu, lampion merah berbentuk bulat dengan tulisan mandarin tergantung dan tersusun secara rapih disepanjang jalan, tampak menawan menghiasi perayaan Cap Go Meh. Selain itu, disana juga menjual kuliner khas Tionghoa, terpampang tulisan di depan warung tersebut, Mie Ayam Jamur yang tengah ramai pembeli.

Aku kembali berkeliling dan melangkahkan kaki menuju Vihara Tri Ratna Buddist yang berada di sebuah gang, ujung jalan dari tempat perayaan Cap Go Meh. Sebelum tiba di pagar vihara terdapat sebuah patung buddha berukuran besar, ada yang tengah berdoa di depan patung tersebut, dan tak sedikit dari pengunjung yang mengabadikan momen itu dengan gawainya.

Aroma Bakaran dupa tercium diseisi vihara, namun rasa penasaranku membuat aku ingin terus kembali berkeliling untuk melihat-lihat.

Setelah puas berkeliling, aku memutuskan untuk kembali ke tempat utama perayaan Cap Go Meh, melihat pertunjukan tari, sejarah etnis Tionghoa yang dibawakan oleh anak-anak kecil hingga pentas seni lainnya.

Sejarah perayaan tahun baru imlek sudah dirayakan leluhur Tionghoa sejak 4700 tahun yang lalu. Seperti dikisahkan dalam pertunjukan, bahwa  awal mulanya Negara China dulu adalah negara agraris, dimana imlek merupakan hari raya pertanian, hari masuknya musim semi setelah melewati musim dingin. Umumnya bertani tergantung musim, musim dingin tidak bisa menanam, tetapi ketika musim semi tiba dan bunga Sakura mekar semua orang bersuka cita karena mereka segera akan bisa menanam, semua orang keluar rumah, berkumpul, bertemu dan saling mengucapkan gong xi-gong xi (selamat-selamat). Sebagai wujud rasa syukur tentu bagi etnis Tionghoa, namun untuk caranya tetap sesuai kepercayaan yang mereka anut masing-masing.

Sedangkan Cap Go Meh sendiri berasal dari bahasa  Hokkian (Cap = sepuluh, Go = lima dan Meh = malam. Jadi Cap Go Meh adalah malam ke-15 dihitung mulai awal pertama tahun baru imlek dan biasanya Cap Go Meh dianggap sebagai penutup rangkaian kegiatan.

Perayaan tahun baru imlek dan Cap Go Meh pada umumnya didominasi warna merah, sebab menurut kepercayaan warna merah melambangkan optimisme, kebahagiaan dan suka cita. Bagi Masyarakat Tionghoa setiap tahun baru imlek, mereka mempunyai resolusi akan hari kedepan yang lebih baik. Sedangkan lampion berbentuk bulat, memiliki esensi pertemuan atau berkumpulnya keluarga secara utuh.

Untuk proses perayaanya tergantung masing-masing penyelenggara, intisarinya ialah bagaimana saling membaur dalam kebersamaan dan suka cita.

“Biasanya perayaan bisa diisi melalui kegiatan seni budaya, konsumsi dan saling berkomunikasi” ujar Ket Tjing selaku panitia acara.

“Tadi di vihara kami ada menyiapkan  lima atau enam macam menu vegetarian masing-masing ada 3000 porsi, siapa saja yang ingin mencoba silahkan biasanya jam 8 sudah habis” katanya menimpali.

Kebahagiaan terpancar jelas, terlihat dari mimik wajah pengunjung, saling tertawa dan menikmati acara pentas seni yang disuguhkan. Ditambah dengan nyanyian khas Tionghoa terdengar nyaring di telinga.

Tidak hanya pementasan khas Tionghoa saja, Tarian-tarian tradisonal melayu juga ikut memeriahkan acara. Seperti tarian Injit-Injit Semut yang dibawakan oleh sekelompok pemuda dari Kepulauan Meranti.  

Perayaan Cap Go Meh di Pekanbaru lebih menonjolkan keanekaragaman budaya, termasuk para pelaksana dan pembawa acara terdiri dari berbagai kalangan suku dan agama, hal ini menunjukan proses akulturasi budaya dan perbedaan bukan menjadi persoalan.  

Antusias masyarakat tidak hanya dari etnis Tionghoa saja, bahkan dari kalangan etnis lain pun ada turut meramaikan perayaan ini. Seperti seorang ibu, berbaju merah menggunakan jilbab hitam kala itu mengatakan bahwa, alasannya menghadiri acara, karena diundang oleh pihak panitia untuk hadir di perayaan Cap Go Meh.

“Saya menghargai kebersamaan mereka, dengan diundangnya masyarakat sekitar. Acara dari tahun-ketahun semakin baik dan membaur dengan ditampilkanya tarian melayu, biasanya tahun lalu tidak seperti ini” ujarnya.

Sedangkan Ket Tjing menjelaskan bahwa beberapa tahun belakangan ini, Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Banyak konflik-konflik yang terjadi akibat suku, budaya dan agama. Benturan-benturan tersebut mengakibatkan banyaknya perpecahan yang terjadi.

“Maka dari itu, kami ingin menampilkan tarian-tarian dari suku lain juga, setidaknya itu bisa membantu mengurangi benturan-benturan yang ada” terangnya.

Adanya penampilan tarian melayu menjadi sorotan para pengunjung untuk perayaan kali ini, Ket Tjing juga menerangkan, bahwa dari pihak mereka awalnya sudah membicarakan dan berdiskusi hal tersebut dengan para pemuka agama lain, setelah mendapatkan kesepakatan akhirnya  pihaknya mengundang pemuka agama dan warga sekitar untuk ikut memeriahkan acara imlek tahun ini.


Editor: Arniati Kurniasih


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *