Rupiah di Tepi Gang


Oleh: Yuyun Nurafni Latifah


Seorang pria bercelana jeans pudar koyak, dengan setelan kaos putih berbalut jaket denim nekat berjalan menerabas teriknya matahari yang sinarnya menyengat tanpa ampun. Beratnya gendongan tas punggung bermuatan besar ditambah pemandangan di hadapannya membuat pria itu menggerutu sepanjang perjalanan.

“Apakah membuang sampah sembarangan sudah menjadi tradisi baru di tempat ini?”

Kaki pria itu sibuk menendang kaleng susu dan kaleng minuman yang hampir memenuhi jalanan gang sempit tempat dirinya lewat saat ini. Tidak jarang juga ia menemukan sampah dapur rumah tangga. Beberapa kali pria itu menyumbat hidung dengan jaket karena tidak tahan mencium aroma khas sampah busuk.

“Alter!” Sebuah suara menghentikan langkah pria berjaket denim itu.

“Hans?” Begitu sahutnya.

“Kau sudah tiba rupanya, bagaimana kabarmu?”

Pria bernama Hans tersebut lantas berlari dan memeluk brutal seorang Alter. Alter yang tidak siap di tubruk itu berakhir sedikit mundur karena tidak mampu mengendalikan tubuhnya.

“Ah, ya. Aku baru saja tiba. Seperti yang kau lihat aku sangat baik.”

Hans lantas mengangguk senyum di balik bahu kekar milik Alter, kemudian melepas pelukannya.

“Apa yang sedang terjadi, sahabatku?”

Kali ini Hans mengerutkan kening seakan tidak mengerti dengan pertanyaan Alter. Alter terkekeh, pria itu menepuk pundak Hans.

“Hm, ya. pemukiman kita, Hans. Kurasa sekarang ini sedang tidak baik-baik saja, bukan?”

Sekarang Hans mulai paham dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Alter. Hans pun menghela nafas panjang, kemudian menunduk lesu.

“Ya, kau benar.”

Alter dan Hans adalah dua orang bersahabat. Keduanya sudah bersahabat sejak awal duduk di bangku Sekolah Dasar. Pada saat itu, pemukiman tempat tinggal Alter mengalami tanah longsor yang berhasil menimbun habis perumahan di sana. Melalui banyak pertimbangan, akhirnya Rosaline, ibu Alter memilih untuk pindah ke sebuah gang kecil jauh dari tempat tinggal sebelumnya. Gang itu bernama gang Svarga.

Di pemukiman gang kecil itu pertemuan Alter dan Hans terjadi. Dari awal pertemuan mereka, Alter sudah menobatkan Hans menjadi seorang sahabat. Keduanya memiliki banyak kesamaan, salah satunya adalah gemar membeli buku bajakan yang kerap dijual di bawah jembatan.

Namun kebersamaan mereka akhirnya terjeda, Alter meninggalkan Hans sebab harus melanjutkan kuliah beasiswa di luar kota. Biaya menjadi kendala Alter untuk dapat pulang setiap saat. Setelah empat tahun berlalu, pria itu kini kembali ke gang sempit yang sangat ia rindukan.

“Hei tolonglah Hans, aku baru saja tiba dari luar kota. Apa kau tidak berniat mengantarku bertemu orang rumah terlebih dahulu?”

Hans terkekeh, pria itu merangkul Alter. Keduanya kembali meneruskan perjalanan sembari bertukar cerita. Sesekali diantara mereka ada yang mengumpat dan terbahak karena terbawa ke dalam suasana cerita.

Di tengah perjalanan pulang, Alter dan Hans berjumpa dengan salah seorang penduduk gang.

“Bibi Nam, apa yang sedang bibi kerjakan?”

“Hei, Alter. Kau sudah pulang? Bibi sedang membuang kubis busuk ini.”

“Ya, aku baru saja tiba. Dimana bibi akan membuang kubis busuk itu?”

“Di sini saja.”

Alter sontak membelalak menyaksikan Namimah menuang kubis di tepi gang tersebut. Pria itu benar-benar terkejut. Di sampingnya, Hans hanya mampu terdiam.

“Tidak ada yang melarang?”

“Halah, sudah biasa. Mau kemana lagi harus kami buang?”

“Bagaimana dengan mobil sampah?”

“Mereka sudah menaikkan harga dua kali lipat dan kami harus mengantar sampah ini ke depan gang. Sungguh merepotkan!” Begitu sahut Bibi Nam.

Setelah beberapa saat, Alter dan Hans pun izin meninggalkan wanita tua itu.

Rumah Alter masih sama seperti terakhir kali ia tinggal, terlihat sejuk walau harus diakui bahwa kini cat dindingnya sudah banyak yang terkelupas.

“Alter, anakku!”

Seorang wanita tua dengan beberapa uban yang berjuntai memekik histeris kala mendapati pemandangan Alter di beranda rumah. Pria yatim itu lantas berjalan merentangkan tangan kemudian mendekap erat wanita tua dihadapannya.

 “Ibu!”

Pertemuan ibu dan anak itu sungguh mengharukan teruntuk siapa saja yang melihat termasuk Hans. Empat tahun adalah waktu yang cukup lama bagi Rosaline menahan rindu bersua dengan anak semata wayangnya. Tentulah ini menjadi hari yang berkesan bagi keduanya.

Keesokan harinya, terlihat Hans memasuki beranda rumah Alter membawa tiga buah tas jinjing.

“Mengapa kau menyuruhku harus menggunakan tas jinjing? Merepotkan saja”

Keluh Hans terhadap Alter sembari meletakkan tas jinjing itu. Subuh tadi Alter mengabari Hans agar membeli beberapa benda untuk mereka.

“Kau mengeluhkan tempat tinggalmu dipenuhi banyak sampah, tetapi kau sendiri tidak melakukan pergerakan apa-apa” Balas Alter telak.

“Ah, kau bawel sekali” seru Hans mengibaskan tangannya.

“Jadi apa yang akan kau lakukan dengan benda-benda ini, Alter?”.

Alter memuntahkan isi sebuah tas jinjing, Hans hanya mengerutkan alis bingung. Di sana terlihat banyak sekali plastik sampah hitam berukuran besar.

Sudah satu jam berlalu Alter menelantarkan Hans. Jari pria itu sibuk mengutak-atik benda pipih canggih di tangannya. Tidak lama kemudian empat bocah lewat dengan suara begitu nyaring mengusik gendang telinga Alter.

“Gayung bersambut!” Desis pria itu.

“Hei bocah-bocah tengil, kemarilah!” Seru Alter, empat bocah itu lalu mendekat.

“Apakah kalian menginginkan es krim?” Bocah mana yang akan menolak es krim, sontak saja mereka semua mengangguk antusias.

“Akan kubelikan banyak es krim untuk kalian, asal kalian sudi membantuku!” Balas Alter.

“Boleh, apa yang harus kami lakukan?” Tanya salah seorang bocah sedikit gempal berkulit putih. Bocah itu bernama Gopal.

“Mudah saja, kalian cukup mengumpulkan sampah kaleng sebanyak empat plastik hitam ini. Bagaimana?” Alter menaikkan sebelah alisnya.

“Oke, siapa takut?” Sahut bocah cungkring berambut kribo.

“Kribo, kau yakin?” Bocah bergigi tonggos itu menepuk dahi Kribo.

“Hei, Tonggos. Apa yang kau khawatirkan? Kau tidak melihat di sini banyak sekali sampah kaleng? Itu bukan hal sulit bagi kita” Balas Kribo.

“Hm, aku setuju! Itu bukan hal sulit Gos” Angguk bocah gempal berlesung pipi bernama Ken.

Tawaran Alter pun disetujui oleh para bocah itu. Tidak perlu menunggu waktu lama untuk mengumpulkan empat kantong sampah kaleng. Alter, Hans dan juga para bocah tengil itu kini sudah berada di lapangan futsal sudut gang. Matahari mulai meninggi, sengatannya sudah terasa menusuk kulit. Namun Alter dan Hans tetap semangat memisahkan kaleng susu dan kaleng minuman.

“Apa yang akan kakak lakukan dengan kaleng ini?” Tanya Ken sembari memilah kaleng dengan malas.

“Sesuatu yang membuatmu kagum” Balas Alter.

“Aku tidak yakin” Sahut Kribo.

 “Lihat saja, kau akan berkali-kali memujiku, bocil” Balas Alter tersenyum jemawa.

Kali ini Alter mulai menumpahkan tas jinjing yang berisi gunting besi, cat semprot, paku, palu dan beberapa benda lainnya. Kemudian Alter menggunting tutup kaleng bagian atas agar terbuka keseluruhan. Setelah tutup kaleng berhasil tergunting, Alter lantas merapikan bekas guntingan dengan cara memukulnya ke permukaan bagian dalam.

Langkah selanjutnya pria itu melubangi bagian bawah kaleng menggunakan paku dan kemudian menyemprot permukaan bagian luar kaleng dengan cat semprot berwarna biru. Untuk menarik minat para bocah tengil agar bersedia membantunya, Alter menambahkan beberapa motif animasi yang sangat mereka sukai.

“Waw, ini sangat keren! Kakak pandai sekali” Decak Ken saat pertama kali melihat kaleng susu yang berhasil Alter sulap menjadi pot bunga. Alter menyeringai mendengar itu.

“Luar biasa. Aku merasa bangga kepadamu Alter” Susul Hans.

“Sudah kuduga, kalian akan mengatakan hal itu. Nah, sekarang tolong bantu aku untuk mengisi tanah ke dalam pot ini. Kuharap kalian berhati-hati dalam memasukkannya, aku tidak ingin warna pot ini ternodai!” perintah Alter diiringi gelak tawa.

“Baik, kak” Balas para bocah itu.

Kribo dan Ken bertugas mengisi tanah ke dalam pot, kemudian Tonggos dan Gopal ditugaskan untuk menanam bunga yang sebelumnya sudah Hans beli.

Setelah pot kaleng itu berisi tanah dan ditanami bunga, kini saatnya tugas Hans untuk memasang tali rami, agar pot kaleng ini dapat digantung di teras rumah warga. Tentu saja, tidak semua warga memberi tanggapan baik atas kegiatan yang Alter dan Hans lakukan.

“Alter, apa yang sedang kau lakukan? Sudahlah, hentikan. Membuat semak saja menggantung-gantung kaleng di depan rumah.” Begitu kata paman Kim.

Cibiran dan juga makian sudah menjadi santapan bagi Alter dan Hans. Namun setelah beberapa minggu melihat bunga dan tanaman dapur seperti seledri serta daun bawang dalam pot tumbuh kian subur membuat para ibu rumah tangga berbondong membantu Alter dan Hans untuk mengelola sampah kaleng.

Kini mereka sudah tidak hanya mengolah kaleng bekas menjadi pot bunga, mereka juga mengolah kaleng bekas menjadi kerajinan yang lain. Seperti beberapa hari belakangan, mereka baru saja memproduksi tempat pensil lucu yang dibuat dengan cara melilitkan kertas kado di permukaan kaleng, mereka juga memproduksi tempat sendok yang dilapisi dengan kain flanel supaya desainnya semakin unik.

Banyak warga yang kini mendukung kegiatan Alter, bahkan saat ini Alter bersama Hans telah mendirikan sebuah rumah produksi kaleng bekas yang menjual seluruh hasil karya para ibu rumah tangga di pemukiman tersebut. Kaleng bekas yang berserak di tepi gang itu kini sudah berubah menjadi rupiah. Para warga juga sangat berterima kasih berkat Alter dan juga Hans kini pemukiman mereka jauh lebih bersih dan asri.

“Bocil, ini es krim yang telah aku janjikan untuk kalian pada waktu itu. Maaf, sedikit terlambat” Alter menyerahkan sekantong es krim yang ia yakini para bocah itu mampu sampai muak menyantapnya.

“Hm! kakak, sebenarnya kami tidak memikirkan es krim itu lagi. Tapi kata ibuku menolak rejeki itu tidak baik” Sahut Gopal sembari menyambut kantong es krim dengan cengiran.

Seluruh orang di rumah produksi kaleng itu terbahak menyaksikan tingkah Gopal.

“Oh iya paman Kim, aku berniat memanfaatkan sampah dapur yang masih berserak itu menjadi kompos. Bagaimana menurut paman?” Tanya Alter dengan sengaja memancing tanggapan paman Kim.

“Aku sangat mendukungmu, Alter. Maaf saat itu paman sempat mematahkan semangatmu.” Alter tersenyum lebar.

Dan ya, keduanya pun lantas berpelukan.


Penulis Yuyun Nurafni Latifah, lahir pada 23 Juni 2000 di Masda Makmur, Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Sedang menempuh Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Riau. Jika ingin terhubung dengan penulis, silahkan melalui email: [email protected]


Editor: Rahmat Amin Siregar

Ilustrasi: Akhmat Kusairi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *