Kedai Kopi Sebagai Pusat Intelektualitas yang tidak Menemukan Senjakalanya

So give me coffee and TV, peacefully/I’ve seen so much, I’m going blind/And I’m brain-dead virtually.


Penulis: Gerin Rio Pranata


Begitulah penggalan lirik dari lagu Coffe and TV milik band British Pop, Blur. Lagu ini digubah langsung oleh sang gitaris, Graham Coxon. Tidak berhenti disitu, Coxon juga menyanyikannya bersama sang vokalis, Damon Albarn.

Lagu yang video klipnya memenangkan Penghargaan Musik Eropa MTV 1999 ini merupakan kisah dari Graham Coxon sendiri. Lagu tersebut menceritakan tentang dirinya yang berjuang untuk berhenti dari candu minuman keras. Ia menjadikan kopi dan televisi, serta membuat lagu sebagai gantinya untuk menghilangkan kecenderungan mengonsumsi alkohol.

Sebelum Coxon melakukan tindakan tersebut, masyarakat Eropa sudah mengonsumsi kopi dan menemukan dimensi sosialnya sendiri. Menurut Linda Civitello dalam Cuisine and Culture: A History of Food and People, pada era 1600-an untuk pertama kalinya masyarakat Eropa berkumpul di ruang publik tanpa melibatkan alkohol. Tidak hanya itu, selain dikonsumsi setiap hari, kopi juga terlibat dalam banyak perubahan sosial-politik di Eropa, khususnya, melalui kedai-kedai kopi.

Jauh sebelum media sosial tumbuh dengan pesat, kedai kopi menjadi tempat masyarakat Eropa melakukan rutinitas sosialnya yang bersifat politis. Laporan The Economist pada 7 Juli 2011, Back to the Coffee House, sebelum mengenal konsep media massa, berita tersebar dari mulut ke mulut di kedai-kedai kopi, melalui proses dialogis.

Kedai Kopi dan Ketakutan Penguasa Terhadap Kaum Intelektual

Konsep kedai kopi atau coffee house atau coffee shop itu sendiri bermula pada masa Kekaisaran Ottoman, atau kini Istanbul di Turki. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat yang berada di lingkup Kekaisaran Ottoman beragama Muslim dan dilarang untuk minum alkohol. Maka kedai kopi menyediakan tempat alternatif untuk berkumpul, bersosialisasi, dan berbagi ide.

Dari kedai kopi itu sendiri, konsep-konsep egaliter sudah mulai tercermin dalam masyarakat Istanbul yang sebelumnya sangat hierarki. Dengan konsep egaliter yang bermunculan di warung kopi membuat norma-norma masyarakat Turki mengikis norma-norma yang telah disepakati sebelumnya.

Namun, hadirnya konsep Egaliter dalam masyarakat Turki ketika itu tidak membuat semua orang senang, salah satunya Sultan Murad IV. Pada tahun 1633, Sultan Murad IV menetapkan bahwa mengkonsumsi kopi adalah pelanggaran berat.

Sederhana saja, hal personal yang menyebabkan ia mengatakan bahwa mengkonsumsi adalah pelanggaran berat. Melansir history.com, kakak dan paman Murad IV dibunuh oleh Yanisari, unit infanteri yang dikenal sering mengunjungi kafe.

Dalam hal ini Murad IV berambisi untuk menangkap peminum kopi. Ia diduga menyamar sebagai orang biasa dan berkeliaran di Istanbul, memenggal kepala para pelanggar dengan pedang lebarnya yang seberat seratus pon.

Selain di lingkup kekaisaran Ottoman, hadirnya coffee house ditengah masyarakat Inggris juga menimbulkan ketakutan bagi Raja Charles II. Hal ini bermula ketika ayah Charles II, Charles I dipenggal kepalanya ketika Perang Saudara Inggris.

Pada 12 Juni 1672, Charles II mengeluarkan maklumat untuk menahan penyebaran berita palsu dan pembicaraan tidak bermoral terkait permasalahan negara dan pemerintahan. Sebagian maklumat tersebut berisi, “Manusia telah mengambil kebebasan, tidak hanya di coffee house, tetapi di tempat dan pertemuan lain. Baik (tempat) publik maupun pribadi, untuk mengecam dan mencemarkan nama baik proses negara dengan berbicara jahat tentang hal-hal yang tidak mereka pahami.”

Untuk mengatasi masalah ini Charles II menginstruksikan Menteri Luar Negeri, Sir Joseph Williamson untuk memasang jaringan mata-mata di kedai kopi sekitar London. Bahkan, pada Desember 1675, Charles II memerintahkan untuk menutup kedai kopi yang terdapat di London.

Kedai kopi di Inggris pertama kalinya dibuka oleh Pasqua Rosée. Sebelum membuka kedai kopi di London, Pasqua pertama kali membuka kedai kopi di Oxford. “Budaya Inggris sangat hierarkis dan terstruktur. Gagasan bahwa Anda bisa pergi dan duduk di sebelah seseorang secara setara adalah radikal,” ujar Markman Ellis, penulis The Coffee House: A Cultural History.

Dalam bukunya tersebut, Ellis mengungkapkan bahwa kedai kopi di Inggris memiliki ciri khas dengan meja-meja komunal yang dipenuhi koran dan pamflet tempat para tamu berkumpul untuk makan, berdiskusi, dan bahkan menulis berita. Bahkan Ellis mengungkapkan, “Kedai kopi adalah penggerak industri berita di London abad ke-18.”

Kedai Kopi adalah Universitas

Sebelum berkelana ke Eropa, di Indonesia sendiri universitas menjadi ruang-ruang terbentuknya kaum-kaum akademisi dari berbagai disiplin keilmuan. Selain itu, universitas menjadi tempat melahirkan pergerakan-pergerakan. Tanpa menihilkan peran dari entitas masyarakat, peristiwa tumbangnya pemerintahan Orde Baru juga lahir di ruang-ruang diskusi yang terdapat di universitas—bahkan dari obrolan-obrolan di kedai kopi.

Begitupun masyarakat Inggris yang menganggap kedai kopi layaknya sebuah universitas. Anggapan tersebut merupakan buntut dari pelarangan Raja Charles II yang melarang diskusi-diskusi di kedai kopi. Hal ini menimbulkan ledakan ide-ide baru bagi masyarakat Inggris.

Di Oxford, penduduk mulai menyebut kedai kopi sebagai Universitas Sen, hal ini dikarenakan dengan biaya secangkir kopi mereka sudah dapat akses untuk diskusi intelektual yang dilakukan secara kritis dan juga debat yang tenang.

Berdasarkan tinjauan dari buku harian seorang administrator Angkatan Laut Inggris dan Anggota Parlemen, Samuel Pepys setiap kedai kopi di Inggris memiliki karakteristik sendiri berdasarkan orang-orang yang datang ke tempat tersebut dan juga kegiatan yang dilakukan.

Adapun tempat tersebut yaitu, Grecian Coffee House yang menjadi tempat pertemuan bagi anggota Royal Society seperti Isaac Newton, yang pernah membedah lumba-lumba di salah satu meja kedai kopi tersebut.

Sementara itu, di Coffee House Jonathan di Exchange Alley—gang sempit yang menghubungkan toko-toko dan kedai kopi di lingkungan lama Kota London—para pialang saham berkerumun untuk memperdagangkan saham setelah jam perdagangan resmi ditutup. Dari tempat ini pula melahirkan Bursa Efek London atau London Stock Exchange.

Pecahan Cangkir-Cangkir Kopi pada Revolusi Perancis

Sedangkan di Paris, kedai kopi atau yang sering mereka sebut Cafés melahirkan istilah Source of ‘Mad Agitation’. Ketika kedai-kedai kopi bermunculan, para penguasa memiliki rasa kekhawatiran yang berlebih terhadap eksistensi tempat tersebut. Kedai kopi di Paris disambangi oleh masyarakat tidak hanya untuk merasakan sensasi rasa kopi tersebut, mereka juga datang untuk membicarakan politik.

Mark Pendergrast dalam Uncommon Grounds: The History of Coffee and How it Transformed Our World, menggambarkan penemuan kopi sebagai hal yang menguntungkan dan mampu memunculkan kebiasaan-kebiasaan baru, bahkan memodifikasi temperamen manusia. Bahkan ide-ide yang dibicarakan dalam diskusi di kedai-kedai tersebut terakumulasi menjadi salah satu peristiwa sejarah yang cukup penting, Revolusi Perancis.

Rolip Saptamaji dalam Sekarung Kopi yang melahirkan Revolusi yang terbit di Kumparan pada 6 Mei 2018 lalu, dengan munculnya kedai-kedai kopi baru di Paris menghasilkan trend kehidupan kedai kopi yang hiruk pikuk dengan diskusi. Obrolan masyarakat Paris ketika itu menjadi serius. Berawal dari keluh kesah perseorangan yang berubah menjadi keluh kesah kolektif.

Mereka yang memiliki keluh kesah kolektif ini akhirnya merubah keluh kesah kolektif tersebut menjadi rencana aksi dan organisasi. Salah satu organisasi yang lahir dari diskusi di warung kopi ini adalah Kelompok Jacobin yang menjadi pusat gerakan revolusioner Perancis. Hal ini ditandai dengan runtuhnya Penjara Bastille yang meluluhlantakkan feodalisme. Gerakan ini merupakan gabungan dari koalisi kaum borjuis dan kaum proletariat.

Kini kedai kopi sudah bertransformasi dengan segala entitas yang ada di dalamnya. Mulai dari jenis penyajian, tools yang digunakan, desain ruang, hingga manajemen setiap pelaku usahanya.

Walaupun penamaan kedai kopi yang dianggap jadul dan berubah menjadi berbagai istilah, mulai dari coffee shop hingga coffee house, namun tempat tersebut tidak menemukan senjakalanya. Tidak hanya obrolan seputar politik, isu-isu aktual juga turut diperbincangkan dalam setiap obrolan di hadapan gelas-gelas kopi.


Editor: Rahmat Amin Siregar


Foto: Lisa melalui Pexels

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *