Aksi Tuntut Dugaan Pelecehan Seksual oleh Dekan di UR


Penulis: Gerin Rio Pranata


Daftar pelecehan seksual di lingkungan kampus kembali bertambah setelah mahasiswi Hubungan Internasional (HI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip), Universitas Riau, diduga menjadi korban membuka suara. Hal ini diunggah dalam akun Instagram milik Komahi (Korps Mahasiswa Hubungan Internasional), @komahi_ur pada 4 November 2021.

Dalam video yang berdurasi 13 menit 26 detik itu, korban mengungkapkan kronologis kejadian yang terjadi pada Rabu, 27 Oktober 2021, sekitar pukul 12.30 WIB. Dugaan pelecehan seksual terjadi ketika mahasiswi angkatan 2018 itu menemui SH—inisial terduga pelaku dan juga dekan Fisip UR—untuk melakukan bimbingan proposal skripsi.

Butuh waktu satu minggu untuk mahasiswi semester tujuh ini berani membuka suara terkait kejadian pelecehan seksual yang menimpa dirinya.

“Saya merasa kasus ini harus diangkat. Saya harus mendapatkan keadilan saya, dan saya juga mengharapkan untuk wanita di luar sana, siapapun kalian yang mendapat pelecehan seksual—terlebih lagi di lingkungan kampus—saya berharap kamu kuat, saya berharap kamu untuk speak up memberitahukan apa perlakuan keji yang mereka lakukan kepada diri kamu,” ujar mahasiswi yang diduga korban pelecehan seksual dalam video tersebut.

Terkait hal ini, mahasiswa yang tergabung dalam FISIP BERGERAK melakukan aksi di depan gedung Rektorat. Sebelumnya mereka melakukan konvoi dari gedung Fisip pukul 14.30 WIB, Jum’at (5/11). Sesampainya disana, sembari menunggu perwakilan rektor untuk menemui mahasiswa, massa berorasi menuntut penyelesaian kasus dan sanksi kepada SH. Hingga perwakilan massa aksi melakukan audiensi dengan pihak rektorat.

Dr. Sujianto, M.Si, Wakil Rektor II bagian Umum dan Keuangan memberikan tanggapannya terkait video pengakuan korban dugaan pelecehan seksual yang kepalang viral di media sosial maupun media massa, Sujianto mengatakan, telah membentuk tim pencari fakta.

“Tim pencari faktanya kami sudah bentuk dengan pengarah pimpinan, kemudian diketuai oleh orang yang independen. Kami tidak mau melibatkan senat universitas, senat fakultas, dan kami juga tidak mau melibatkan pimpinan universitas, dan juga tidak mau melibatkan pimpinan fakultas,” ujar Sujianto di hadapan massa aksi.

Sujianto menambahkan, tim pencari fakta akan mulai bekerja pada Senin (08/11) dan segera melakukan investigasi terkait kasus dugaan pelecehan seksual tersebut.

Tim pencari fakta ini sudah dibentuk sejak Senin lalu, menyusul Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Aturan yang diundangkan pada 3 September itu menyebutkan bahwa pihak universitas harus membentuk Satuan Tugas (Satgas) maksimal 1 tahun setelah aturan tersebut terbit.

Hadirnya peraturan tersebut bertujuan untuk menyusun kebijakan terkait tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terjadi di dalam maupun di luar kampus.

Tidak hanya itu, berdasarkan pasal 2, ayat 2 Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 bertujuan untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus di perguruan tinggi.

Kasus pelecehan seksual yang terjadi di UR, Plt Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Ristek, Anang Ristanto turut memberikan tanggapannya.

“Kami bekerja sama dengan pemangku kepentingan terus berkomitmen untuk memberantas praktik-praktik tiga dosa besar di lingkungan pendidikan,” ujarnya dilansir Antara, Jumat, 5 November 2021.

Adapun tiga dosa besar tersebut, kekerasan seksual, intoleransi, dan perundungan.


Editor: Rahmat Amin Siregar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *