Perlindungan Hukum, Psikologis Korban Kekerasan dan Pelecehan Seksual


Penulis: Rizka Yani


Sepanjang tahun 2021, angka yang menunjukkan kasus kekerasan dan pelecehan seksual, terus meningkat. Komisi Nasional Perempuan menerima 4.500 aduan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari-Oktober 2021. Angka itu naik dua kali lipat dibanding tahun lalu.

Mirisnya, pelecehan seksual dapat terjadi di ruang privat maupun publik. Hal ini merupakan keresahan bersama bagi setiap kalangan, termasuk mahasiswa.

Melihat tengah hangat diperbincangkan kasus kekerasan dan pelecehan seksual di provinsi Riau, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Islam Riau (UIR) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Pencegahan Kekerasan dan Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan di Ruang Publik Maupun Privat” pada Kamis (24/12).

Yanwar Arief, M.Psi., Psikolog, yang merupakan salah satu narasumber di FDG ini mengatakan faktor kekerasan dan pelecehan seksual yang muncul dari personality korban.

“Korban mudah dipengaruhi, tidak berani menolak, kecerdasan serta kontrol diri yang rendah” terang Yanwar.

Dekan Fakultas Psikologi UIR itu juga menjelaskan, bahwa faktor yang mendorong pelaku melakukan tindakan kekerasan dan pelecehan seksual, dapat dimulai dari kontrol diri yang rendah, pengalaman masa lalu yang buruk, gangguan seksual, lingkungan dan pengaruh teknologi. Yanwar mengatakan resiko pekerjaan juga berpotensi terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual.

Pada dasarnya, terdapat banyak sekali jenis-jenis pelecehan seksual yang terjadi, mulai dari fisik, lisan, melalui media tulisan, gambar, dan emosional serta psikologis yang biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan atau jabatan.

Di Kesempatan yang sama Ade Hartati Rahmat—Anggota Komisi V DPRD Riau—menyampaikan bahwa keberpihakan dalam membuat undang-undang dilatarbelakangi dengan perspektif bahwa perempuan makhluk lemah, maka dari itu perempuan harus diberikan tempat yang nyaman dan dilindungi.

“Penyelesaian korban tidak cukup hanya sampai penyembuhan psikologi, namun perlu UU keberpihakan untuk melindungi kaum perempuan” terang Ade.

Indra Lukman Siregar, Direktur Eksekutif Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Mahasiswa Islam, mengatakan, bahwa yang paling penting adalah kesehatan dan pemulihan bagi korban jika dibandingkan dengan proses hukum.

Sedikit berbeda dengan yang disampaikan Ade Hartati, menurut Indra payung hukum yang seadanya serta struktur penegak hukum yang tidak memiliki perspektif korban, mengakibatkan tidak dirasanya kebermanfaatan perlindungan hukum bagi korban kasus kekerasan dan pelecehan seksual.

Dari pengalaman pribadinya, kata Indra, banyak pertanyaan-pertanyaan yang membuat korban tidak nyaman. Sehingga mereka harus mengingat ulang kejadian kekerasa dan pelecehan  seksual pada dirinya. Hal ini tidaklah mudah, sehingga korban terpaksa merubah alur ceritanya.

“Secara tidak langsung, negara sudah melakukan kekerasan yang sistematik dan terstruktur terhadap korban” ujar Indra.

Acara ini ditutup dengan penandatangan oleh seluruh peserta FGD dalam bentuk dukungan bagi Korp Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Riau yang tergabung dalam Koalisi Pemberantasan Seksual di Kampus. 


Foto: Ludiana Mubarikah Suraya

Editor: Rahmat Amin Siregar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *