Keekonomian dan Pengembangan Migas di Indonesia


Penulis: Tuni Dariyanti


Migas Center Universitas Islam Riau (UIR) menggelar webinar dengan mengusung tema “Keekonomian Pengembangan Lapangan Minyak dan Gas Bumi” pada Kamis, 23 Desember 2021.

Peningkatan dan mengembangan diri serta wawasan industri migas pada era revolusi 4.0 saat ini menuntut kecakapan dalam penguasaan teknologi, daya kreativitas, serta pemahaman yang komprehensif mengenai industri migas.

Kabar baik 30 November 2021

Tahun 2021, capaian pendapatan Satuan Kerja Khusus (SKK) Minyak dan Gas (Migas) mencapai 171% dari yang telah ditetapkan. Rikky Rahmat Firdaus—Kepala Perwakilan SKK Migas Sumbagut—mengatakan bahwa industri hulu migas masih menjadi lokomotif penggerak pagi penerimaan negara, selain pajak.

 “SKK Migas mengajak elemen mahasiswa untuk melihat krisis pandemi covid-19 sebagai peluang. Karena masih membentang sederet tantangan yang harus dihadapi pada masa mendatang. Melalui hal tersebut dengan inovasi dan solusi penambahan informasi pembelajaran,” ajaknya.

Rikky juga menjelaskan bahwa,  Surat Keputusan (SK) Mahato bisa diinformasikan sebagai New Kids On The Block (NKOTB). SK Mahato merupakan wilayah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) baru di provinsi Riau. Disetujui periodenya dari tahun 2020 sampai mulai berproduksi di bulan Desember dan saat ini sudah mencapai 5000 oil/day.

Di kesempatan yang sama Wisnu RizkiawanHead of Commercial Texcal Mahato EP Ltd—menyoal tentang keekonomian pengembangan lapangan migas.

Wisnu mengatakan keekonomian migas sangatlah sederhana, dimana pendapatan berasal dari hands gas production yang dikalikan dengan Inductively Coupled Plasma (ICP) dan dikombinasikan dengan biaya yang akan timbul untuk suatu pengembangan lapangan.

Lebih jauh, dalam metode perjanjian bisnis bidang migas di Indonesia, terdapat metode Production Sharing Contract (PSC) yang berfungsi memperbesar pendapatan negara dari sumber daya alam dan menarik investor untuk menanamkan modal.

PSC yaitu suatu metode perjanjian di dalam bisnis yang digunakan dalam bidang minyak dan gas bumi di Indonesia dalam rangka memperbesar pendapatan negara dari sumber daya alam ini dan menarik investor untuk menanamkan modal di Indonesia.

“Buku yang menerangkan konsep PSC, paling bagus, menurut saya, yaitu Ekonomi Migas yang dikarang oleh Benny Lubiantara. Beliau merupakan Deputi Perencanaan SKK Migas,” ungkap Wisnu.

Dibalik prinsip ekonomi pengelolaan migas

Dalam ide-ide PSC, dapat diibaratkan seperti bagi hasil antara pemilik lahan dan petani. Tujuan dalam jangka panjang, dalam hal ini, migas, dapat dikelola oleh negara. 

“Untuk dapat mengusahakan minyak kita sedapat mungkin oleh kita sendiri dengan mengolah Kartu Perlindungan Sosial (KPS).  Dimana akan terjadi transfer of technology. Perusahaan asing akan memberi laporan kepada pemerintah,” ungkap Wisnu.

Dasar pemikiran migas di Indonesia sebenarnya sudah dirancang dengan ide PSC. Pencetus ide kontrak bagi hasil adalah Bung Karno, yang mendapatkan ide tersebut berdasarkan praktek yang berlaku di pengelolaan pertanian di Jawa.

PSC sendiri mendasar pada filosofis yang berasal dari Indonesia. ‘wong ndeso jadi wong ndeso yang gustisiti.’

Inilah yang kemudian dipakai oleh Sukarno dan Ibnu Sutowo guna menjalankan PSC. Metode ini cukup terkenal di dunia dan di aplikasikan di berbagai negara karena cukup fleksibel dengan tidak menghilangkan sharing split.

First Trench Petroleum

Secara umum, kata Wisnu, pola dasar pembagian minyak maupun gas bumi relatif sama. Ada empat tahapan yang dilewati secara berurutan sebelum melakukan pembagian minyak dan gas bumi.

Pertama, hasil produksi minyak dan gas bumi lebih dahulu disisihkan untuk First Trench Petroleum (FTP), yakni pengambilan minyak dan gas bumi pertama setelah produksi terjadi.

Kedua, hasil produksi minyak dan gas bumi dialokasikan untuk cost recovery sesuai dengan biaya yang dibutuhkan. Ketiga, sisa hasil produksi minyak dan gas bumi dikurangi FTP dan cost recovery dibagi ke negara dan kontraktor KKS sesuai porsi yang telah disepakati.

Keempat, menghitung Domestic Market Obligation (DMO), yakni kewajiban kontraktor KKS untuk menyerahkan migas bagian mereka dalam jumlah tertentu kepada pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.

“Hal ini berkaitan dengan pengamanan penerimaan bagi SKK Migas dan kontraktor sebelum migas digunakan untuk mengembalikan dana talangan yang dikeluarkan kontraktor untuk operasi migas.” Jelas Wisnu menyoal tentang FTP.


Foto: Dokumentasi pribadi

Editor: Rahmat Amin Siregar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *