Menelisik Akar Historis dan Psikologis Resolusi Tahun Baru


Penulis: Gerin Rio Pranata dan Muhammad Hafiz


Januari 2022 telah memasuki pertengahan bulan dan hiruk pikuk tahun baru masih berseliweran. Salah satu yang kerap berulang saat tahun baru tiba yaitu, munculnya resolusi hidup.

Belum lama ini, tepatnya 13 Januari 2022 Okky Madasari, pengarang Indonesia dan pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2012 ini mengunggah resolusi tahun baru 2022 di kanal Twitter pribadi miliknya, @okkymadasari. “Resolusi 2022 ku adalah tidur lebih cepat, bangun lebih pagi, tidur siang,” tulis akun tersebut.

Tidak hanya Okky, Afy Aulia Rahmi, mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau (UIR) juga menganggap resolusi merupakan hal yang patut dipersiapkan. Menurutnya, resolusi menjadi patokan untuk mengetahui arah dan tujuan hidup, serta pencapaian yang harus diraih.

“Kalau kita mau maju, harus punya planning, kalau kita mau berubah, harus punya planning, karena kalau kita tidak punya planning, tidak pernah tahu apa tujuan kita,” ungkap Afy. 

Resolusi dan Kepercayaan Babilonia Kuno

Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk mengetahui makna dari resolusi tahun baru. Berdasarkan Kamus Cambridge, resolusi tahun baru merupakan janji yang dibuat pada diri sendiri.  Hal ini berkaitan dengan memulai sesuatu yang baik dan menghentikan kebiasaan yang buruk dari hari pertama di tahun baru.

Kebiasaan membuat resolusi ketika tahun baru sudah terjadi sejak zaman Babilonia Kuno, tepatnya 4.000 tahun lalu. Menurut kepercayaan masyarakat Babilonia, tahun baru jatuh pada pertengahan Maret, bukan Januari. 

Ritual-ritual agama dilakukan selama 12 hari lamanya—dikenal dengan Akitu. Dalam ritual tersebut masyarakat Babilonia menobatkan raja baru atau menegaskan kembali kesetiaan mereka kepada raja yang memerintah.

Mereka juga membuat janji kepada para dewa untuk membayar hutang dan mengembalikan barang-barang yang dipinjam. Jika orang Babilonia menepati janji, dewa-dewa akan memberikan kebaikan kepada mereka untuk tahun yang akan datang. 

Namun jika hal ini tidak terlaksana, hal sebaliknya justru yang terjadi, mereka tidak disukai para dewa. Janji-janji ini dapat dianggap sebagai cikal bakal resolusi tahun baru yang dirasakan sampai detik ini.

Tidak hanya di Babilonia, praktik serupa juga terjadi pada masa Romawi Kuno, setelah Kaisar Julius Caesar “berbenah” kalender Roma sebelumnya, Julius menetapkan 1 Januari sebagai awal tahun baru sekitar 46 SM (Sebelum Masehi). Nama Januari merupakan representasi dari Dewa Janus—dewa yang digambarkan bermuka dua. 

Bagi bangsa Romawi, secara simbolis Januari memiliki makna melihat ke belakang atau ke tahun sebelumnya dan ke depan atau ke masa depan. Tidak berhenti disitu, masyarakat Romawi Kuno juga mempersembahkan sacrifice–pengorbanan kepada para dewa–untuk membuat janji.

Lebih lanjut, pendeta Inggris, John Wesley, pendiri methodism pada 1740 menciptakan Covenant Renewal Service atau Layanan Pembaruan Perjanjian, yang diadakan pada malam tahun baru. Hal ini juga disebut dengan kebaktian dan diselingi dengan pembacaan kitab suci serta nyanyian himne.

Pandangan Psikologis dalam Membuat Resolusi Tahun Baru

Terlepas dari akar tradisi agama, kini wacana yang hadir dalam resolusi tahun baru tidak lagi bersifat vertikal antara manusia dan sang pencipta. Lebih luas, resolusi tahun baru kini digagas untuk meningkatkan potensi diri atau capaian-capaian yang akan diraih dalam hidup dalam jangka waktu tertentu.

Berdasarkan fenomena tersebut, dosen Psikologi Pribadi UIR, Bahril Hidayat, M. Psi., Psikolog menjelaskan, pentingnya melakukan resolusi diri untuk setiap individu agar mampu secara terus menerus mengevaluasi aspek-aspek dalam diri seperti, emosi dan pikiran.

“Hal ini juga menjadi perbaikan yang berkesinambungan—emosi dan pikiran. Karena setiap individu pasti melakukan suatu perilaku keliru. Jadi resolusi penting untuk meningkatkan kualitas diri secara terus-menerus,” ujar Bahril.

Dalam membuat resolusi, individu acap kali mengacu pada self-perception. Menurut Sumanto dalam bukunya Psikologi Umum (2014), persepsi merupakan proses pemahaman atau pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus. 

Stimulus didapatkan melalui proses penginderaan terhadap objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan antar gejala yang diproses oleh otak. Persepsi sendiri digunakan setiap individu untuk menangkap pengalaman terhadap benda atau kejadian yang dialami.

Mengacu pada konsep self-perception, Bahril mengungkapkan bahwa resolusi menjadi tools bagi individu untuk melakukan evaluasi. Lebih lanjut, resolusi juga menjadi tolak ukur aktualisasi diri setiap individu dalam meraih hal-hal yang telah dikonsepkan di dalam resolusi.

“Dengan adanya resolusi, setiap individu mampu menyusun strategi untuk mempertahankan achievement yang sudah dicapai dan menyusun ulang rencana tujuan-tujuan belum diraih oleh individu,” pungkasan.

Dalam membuat resolusi, Bahril mengungkapkan, setiap individu perlu mengetahui dengan jelas tujuan hidupnya. Selain itu, membuat resolusi dalam waktu yang lebih ringkas—jangka waktu 1 hari, 1 minggu, ataupun 1 bulan—menjadi hal yang diutamakan dalam membuat resolusi.

Menurutnya, membuat resolusi dalam waktu yang lebih ringkas akan memudahkan setiap individu dalam mengevaluasi diri. Hal ini tidak lepas dari kemampuan daya ingat setiap individu. Sebab, dalam penyimpanan informasi manusia acap kali mengalami ingatan yang memudar karena berlalunya waktu—dalam psikologi istilah ini disebut juga dengan Decay theory.

Walaupun Bahril menyarankan untuk membuat resolusi dalam waktu yang lebih ringkas, Ia tak menyangkal individu yang membuat resolusi dalam kurun waktu 1 tahun. 

“Individu yang membuat resolusi dalam waktu yang panjang perlu memiliki rencana yang jelas dalam hidup dan pemetaan yang baik tentang hidupnya dalam 1 tahun, serta memiliki kemampuan open mind dalam menerima penilaian dari orang lain,” tutupnya.


Ilustrasi: Ludiana Mubarikah Suraya

Editor: Rahmat Amin Siregar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *