Empat Desakan LBH Pekanbaru atas Vonis Bebas Syafri Harto


Penulis: Fani Ramadhani


Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengadakan konferensi pers mengenai putusan bebas yang diberikan kepada pelaku kekerasan seksual di Universitas Riau.

Konferensi pers yang diadakan pada Selasa (5/4) melalui ruang virtual dan disiarkan langsung melalui  kanal Youtube YLBHI ini dihadiri oleh Rian Sibarani selaku pendamping hukum korban dari LBH Pekanbaru, Meila Nurul Fajriah dari YLBHI, dan Siti Aminah Tardi dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan.

Putusan bebas ini dinyatakan karena majelis hakim menganggap bahwa tiga dakwaan yang diberikan jaksa penuntut umum yaitu, dakwaan Primer Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), subsider Pasal 294 Ayat (2) Kedua KUHP, dan lebih subsider Pasal 281 Kedua KUHP tidak terbukti.

Namun menurut Meila, hakim tidak mengindahkan adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Banyak sekali pasal-pasal yang dilanggar, seperti pada Pasal 1 Nomor 9 dimana hakim tidak mengindahkan masalah relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa. Serta di bab 3 tentang Pemeriksaan Perkara Pasal 4 dimana hakim diwajibkan untuk melihat konteks sosial yang dalam kasus ini yaitu relasi kuasa, dan kondisi korban.

“Padahal jika dilihat pada salah satu poin dalam Perma yang menyebutkan bahwa kondisi psikologis korban harus diperhatikan dan itu bisa dijadikan bukti. Apalagi sudah diperkuat oleh jaksa dengan adanya keterangan ahli. Tapi itu tidak dibahas lebih lanjut,” ujarnya.

Selain itu, Meila juga menambahkan hal-hal yang dilanggar hakim pada putusan ini.  Seperti putusan yang dilakukan di ruangan yang lebih kecil dari biasanya, waktu putusan yang selalu mundur dari jadwal, dan teman-teman pendamping  yang tidak mendapatkan akses untuk mendengarkan putusan secara langsung.

“Masih banyak proses peradilan pidana yang tidak berpihak kepada korban, khususnya dalam kasus kekerasan seksual dan apalagi yang melibatkan seseorang dengan relasi kuasa yang sangat besar,” tegas Meila.

Rian Sibarani memaparkan desakan-desakan yang dilakukan LBH Pekanbaru.

Pertama, mendesak jaksa penuntut umum dalam menyusun memori kasasi untuk lebih spesifik menjabarkan fakta hukum. Kedua, mendesak ketua Mahkamah Agung untuk menunjuk hakim agung pemeriksa perkara yang progresif dan berperspektif gender.

Ketiga, meminta rektor Universitas Riau untuk memberikan sanksi administratif kepada pelaku berdasarkan Peraturan Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 tahun 2021. Dan terakhir, meminta Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim memberikan atensi khusus terhadap kasus ini sehingga dapat mempertegas keberadaan aturan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus itu.

Rian juga sangat menyayangkan bahwa putusan bebas ini akan menjadi cerminan buruk dan berdampak terhadap penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.

“Putusan bebas kekerasan seksual di Universitas Riau ini membuat seolah-olah akan melanggengkan kekerasan seksual di dunia pendidikan,” ujar Rian.

Sedangkan Siti Aminah menjelaskan bahwa Komnas Perempuan sangat memberikan perhatian khusus terdapat kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Dan untuk putusan majelis hakim, Komnas Perempuan menghormati kebijakan tersebut.

Siti juga berpendapat bahwa setiap orang maupun lembaga yang menganggap putusan ini mencederai keadilan korban, maka bisa menyampaikan pendapat dan saran ke Mahkama Agung untuk mengoreksi ketidaktepatan sistem pembuktian dan ketidaktepatan dalam menguraikan unsur-unsur dakwaan.

“Mari kita mendorong semua pihak memberikan masukan kepada Mahkama Agung untuk mengoreksi putusan ini dan juga memberikan  semangat dan solidaritas kepada korban,” tutupnya.


Editor: Rahmat Amin Siregar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *