Warisan Cita Rasa dan Keberagaman di Kedai Kopi Akur Bienam

Kedai Kopi Akur Beinam berdiri dari ide pemuda 16 tahun asal Provinsi Hainan. Telah 126 tahun berdiri, meninggalkan warisan cita rasa roti dan kopi yang melegenda di Rantau Prapat.


Penulis: Muhammad Hafiz Hasibuan


Di sekitar perempatan lampu merah kota Rantau Prapat terlihat beberapa kendaraan melintas melewati tugu ikon Kabupaten Labuhanbatu. Sore itu, Jumat 29 Juli 2022 awan putih menyelimuti langit yang menjelang pukul lima sore. Becak dengan interior bendera salah satu klub sepak bola liga Spanyol, perlahan menepi di salah satu kedai kopi yang berjarak delapan toko dari perempatan itu.

Ketika becak benar-benar berhenti, saya pun bergegas turun dan membayar ongkos. Tembok yang dibaluri cat warna jingga menyambut, dan memudahkan dalam mengenalinya diantara toko-toko yang sederet dengan kedai kopi ini.

Terpampang ‘Kedai Kopi/Roti Akur Bienam’ dengan warna emas berbahan baja nirkarat di atas pintu masuk. Kedai yang katanya sudah ada sejak zaman penjajahan. Cat jingga juga menyelimuti interiornya, adalah sponsor merk rokok yang telah menjalin kerjasama sejak satu dekade lalu.

Saya berhenti di depan bar, memesan segelas kopi susu yang menjadi menu andalan disini. Tak lupa, roti bakar dengan baluran selai srikayanya.  

Tak perlu waktu lama, pesanan saya sudah terhidang. Uapan asap kopi yang krimernya sudah menunggu di dasar gelas menunggu untuk segera diaduk. Menggunakan jenis kopi Robusta, kedai kopi ini mampu menghabiskan sepuluh kilogram bubuk kopi per harinya, yang diantar langsung dari salah satu daerah di Sumatera Utara, tepatnya di Siantar.

Tanpa menghitung putaran adukannya, kopi dan susu sudah menyatu bersama, dan saya bersiap untuk menyeruput kopi susu ini. Dengan dua tangan saya angkat gelas perlahan, terus menuju ke depan mulut, sambil mendekatkan ke hidung untuk perlahan menghirup semerbak aromanya. Dengan sedikit gerakan jari di kedua tangan mengarahkan ke bibir. Lalu. Sluurrrppp…

Sejarah dan Perkembangan Kedai Akur Bienam

Hampir satu seperempat abad lalu, seorang remaja berusia 16 tahun mendirikan kedai kopi ini. Ia berasal dari Provinsi Hainan di bagian paling Selatan di Republik Rakyat Tiongkok. Mulanya, warung  tersebut dinamakan ‘Bienam’, yang bermakna ‘Selatan Indah’. Hingga akhirnya, sang remaja yang bersuku Hainan tersebut menetap dan berkeluarga di Indonesia.

Kini Agus Chandra Tanizar (32) menjadi generasi ketiga pengelola. Ia perlahan menceritakan perjalanan panjang kakeknya membangun Kedai Kopi Bienam yang masih semerbak harumnya. “Awak (aku) belum lahir kakek sudah meninggal, jadi tak sempat awak melihatnya,” kisah Agus dengan nada yang meninggi dan berkarakteristik keras ala kedaerahan Labuhanbatunya. Agus juga tak ingat nama kakeknya itu.

Sambil menyeruput kopi susu yang mulai dingin, saya menyimak Agus. Ayahnya, Amin Tjoa, yang kerap disapa Ahau, pernah berkisah tentang bangunan awal kedai kopi tersebut. Dahulu masih dengan kondisi tanah merah, tembok papan, dan seng. Perbedaan jelas terlihat hari ini, bangunan Kedai Kopi Bienam telah bertembokan beton tiga lantai, bahkan terletak di ibukota kabupaten, yang pula melahirkan dua kabupaten pada pemekaran di 2008 silam.

Kedai Kopi Beinam sempat berganti nama dari sejak pertama didirikan. Dimana terdapat kejadian yang yang mengharuskan penggantian nama kedai kopinya. Dan kala itu, kakek Agus yang bersahabat dengan tuan guru di kota ini, meminta pendapat untuk memberikan nama pengganti kedai kopinya tersebut.

“Buat saja namanya ‘Akur’” ucap agus menirukan perkataan tuan guru dari kisah ayahnya.

Sejak saat itu, nama ‘Bienam’ digantikan menjadi ‘Akur’. Namun terjadi perubahan lagi saat Agus mulai mengelola 7 tahun terakhir. Ia menambalkan kembali ‘Selatan Indah’ itu, alias ‘Beinam’ di depan kata ‘Akur’.  

Keberagaman dari Sebuah Nama ‘Akur’

Sesuai dengan nama kedainya, Agus berujar, sedari kecil ia kerap membantu Ahau mengurus kedai dan melihat banyak keberagaman yang ada didalamnya.

“Kami tetap duduk bersama, meskipun berbeda suku,” ucap Agus sebagai etnis Tionghoa kepada teman sejak kecil di sampingnya yang bersuku Batak.

‘Akur’ bagi keluarga Agus bukan hanya makna dalam bisnis kedainya, hingga saat ini, solidaritas yang diajarkan Ahau masih tetap terjaga. Ia menutur cara sang ayah menunjukkan kebersamaan kepada pengunjung. Agus berkisah, dengan para pengunjung lamanya yang sudah banyak wafat, Ahau, kerap hadir diproses pemakaman pelanggannya yang meninggal dunia.  

Setelah membakar batang rokok ketiganya, Agus kembali menceritakan pengunjung yang sering datang ke kedainya.

“Ada orang tua yang masih fresh, sampai bertongkat pun masih mau berkunjung kesini,” kisah Agus tentang pengunjung Akur Bienam yang bertahan hingga saat ini.

Kedai Kopi Akur Bienam yang buka mulai pukul 07.30 hingga 23.00 WIB bukan hanya tempat melegenda bagi kaum lansia, namun sejak dulu tempat ini pernah menjadi ruang diskusi para jurnalis dari media cetak, “Bah, kalau dulu basecamp kalangan jurnalis memang disini,” ujar Agus antusias masih dengan logat Labuhanbatunya.

Agus harus pamit dari meja tempat kami duduk dan menuju pintu depan kedai karena salah seorang pengunjung ingin menemuinya. Tak perlu waktu lama, saya pun melompat pindah meja berbincang kepada salah satu pengunjung.

Seorang pria yang bertubuh gemuk duduk sendirian sambil memainkan gawainya yang bersandar pada bungkus rokok, “Disini lebih banyak orang tua, jadi ruang lingkupnya nyaman untuk ngobrol. Selain lingkupnya tetap nyambung bagi awak pribadi, wawasan awak juga bertambah,” ucap Fadli Syahnizar (35) yang bekerja sebagai sekuriti di salah satu bank swasta di kota ini.

“Sehari bisa empat kali?” tanya saya heran.

Fadli mengungkapkan bahwa sejak tiga tahun terakhir, ia hampir setiap hari mengunjungi kedai ini. Bahkan saat  tidak bekerja,  dalam sehari bisa empat kali balik ke Kedai Kopi Akur Bienam ini. Fadli juga menambahkan bahwa bukan hanya suasana yang nyaman menurutnya, namun juga cita rasa kopi yang ia aminkan, “Cemanalah ya, berasa kali paduan kopi sama susunya, belemak dia,” ucap semangat pria yang sudah 11 tahun bekerja sebagai sekuriti tersebut.  

‘Akur Bienam’ kini

Potongan terakhir roti dengan selai srikaya baru saja melewati kerongkongan. Bersama kopi susu yang membantu memperlancar perjalanannya, saya bersiap menuju ruangan belakang tempat produksi Roti dan Srikaya. Ya, Kedai Kopi Akur Bienam ini bukan hanya menjual roti bakar yang hanya bisa disantap di tempat, melainkan juga memiliki pabrik untuk memproduksi Roti dan Srikaya mereka sendiri untuk dibawa pulang.

Susanto, seorang petugas kasir sekaligus tangan kanan Agus, memandu saya ke ruang produksi Kedai Kopi Akur Bienam. Melewati dua daun pintu, sederet rak bertingkat dengan roti-roti yang sudah dikemas terlihat di sisi kiri ruangan, juga terlihat meja berbentuk huruf ‘L’ tempat mengadon roti dengan mesin yang bertenaga listrik di sisi kanannya.

Seorang petugas Kedai Kopi Akur Bienam tengah membuat kopi / Muhammad Hafiz Hasibuan

“Dulu sempat juga menjual roti kacang dan pulut srikaya, dan saat ini sudah mulai untuk menjualnya kembali,” ujar Susanto sambil bergeser beberapa langkah menuju mesin pemanggang.

Dengan cara diputar, Susanto mengerahkan tenaga kedua tangannya untuk membuka pemanggang roti dengan tuas berbentuk bulat layaknya stir kapal tersebut. “Mesin ini menggunakan bahan bakar Solar,” ujar Susanto sambil kemudian memperlihatkan mesin yang berada di bagian samping pada lubang dengan kedalaman sejengkal di bawah lantai yang saya pijak.

Sebentar saja dihadapan sang mesin yang masih dengan hawa panas dan aroma solarnya, Susanto kembali mengajak ke ruangan terakhir, ruang paling belakang bangunan kedai kopi ini. Mesin Srikaya berbentuk tabung dengan ukuran besar terlihat sedang diam beristirahat.

Di samping mesinnya, terdapat tiga tabung gas minyak cair dengan satunya yang terpasang regulator serta dua tabung lainnya yang masih disegel bersiap gagah menunggu giliran. Tak perlu waktu lama untuk memutuskan bahwa mesin srikaya ini bekerja menggunakan gas yang kerap disebut LPG (Liquefied Petroleum Gas) bertabung 12 kilogram.

Dengan memproduksi roti dan srikaya sendiri, tak jarang roti akur juga dijadikan sebagai buah tangan oleh pengunjung yang berasal dari luar kota. Bahkan, beberapa usaha kedai kopi yang semisal dengan Akur Bienam juga memasok roti melalui kedai ini.

Meski demikian, Agus Chandra sebagai pengelola dari generasi ketiga kedai Akur Bienam, sudah mempersiapkan target kedepannya untuk membuat cabang kedai Akur Bienam dari bisnis keluarga yang diwariskan turun temurun ini.

Pengelola, Pegawai dan Pengunjung Akur Bienam

Dari ruangan mesin srikaya sambil memandangi terakhir tumpukan karung berisikan arang, masih bersama Susanto, kami kembali menuju ruang depan kedai kopi. Kembali menuju meja Fadli, sekuriti bank yang saat ini sedang puas tertawa bersama salah satu pegawai kedai kopi. Entah apa yang mereka bicarakan hingga membuat Fadli dan lawan bicaranya tertawa, namun keseruan itu harus saya potong untuk pamit pulang saat senja mulai menyatu dengan kesan jingga kedai kopi ini. 

Menuju meja Agus, pengelola dari generasi ketiga kedai kopi Akur Bienam ini. Sedikit tertawa sambil mengeluarkan asap rokok kreteknya, terlihat Agus sedang berbincang dengan salah satu pengunjung yang sepertinya jauh lebih tua darinya dengan rambut putih yang sudah dominan.

Satu dua kalimat basa basi saya lontarkan, lantas mohon pamit dan tak lupa terima kasih atas jamuannya serta kopi susu dan roti yang Agus sendiri menolak untuk menerima uang saya.

Terletak di jantung kota Rantau Prapat, tak susah mencari becak yang berkeliaran memantau calon penumpang. Baru saja keluar dari kedai kopi, terlihat dua orang lelaki sepantaran saya baru saja turun dari becaknya. Bergegas menaiki becak dengan sepeda motor Honda Win 100 bereksterior cat hitam yang mulai kusam, “Gang Hasanah, Wak,” ucap saya singkat memberitahu tujuan saya, dengan sapaan ‘Uwak’ yang mengartikan seseorang lebih tua dari orang tua kita.     

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *