Kenduri Puisi Penuh Aksi…

Teluk Meranti, Kab. Palalawan – Bus Transmetro Pekanbaru yang Aku naiki dengan Ardian meninggalkan halte gelanggang yang dekat dengan gedung MTQ Pekanbaru, tempat kami berkumpul sebelum berangkat ke Teluk Meranti, salah satu daerah di Riau untuk mengikuti Acara Kenduri Puisi II. Terlihat kepanikan di wajah Ardian, jika kami tidak berhenti di halte berikutnya maka kami akan dibawa ke Ramayana Jl. Jendral Sudirman.

Kami diturunkan di halte yang berjarak sekitar satu kilo meter dari MTQ, kami pun terpaksa berjalan kaki menuju MTQ, Jl Jenderal Sudirman Pekanbaru masih belum ramai, Ardian dengan wajah panik dan tergesa-gesa mempercepat langkahnya menyusuri jalan menuju MTQ takut ditinggalkan sebab kata Kunni, Ketua Komunitas Sastra Rumah Sunting Pekanbaru (KSRS), jika telat lewat.

Ibnu Khalid salah satu anggota KSRS selaku Panitia Acara sedang dikerumuni oleh Peserta Kenduri Puisi II, ia sedang menceklis nama yang hadir. Ibnu mengenakan kaos hitam yang lumayan ketat bertuliskan lambang S ,Superman, memakai topi koboi, celana jeans dan sepatu semi boot hitam.

“Rumahkayu bang,” kata Ardian sambil mencari namanya dan namaku, Ibnu langsung menceklis dan kami sudah registrasi ulang, wajah Ardian tidak panik lagi.

Kenduri Puisi adalah sebuah program kerja dari KSRS, sebuah komunitas penulisan di Pekanbaru. Kenduri puisi ini sudah dirancang tahun lalu oleh KSRS dan tahun ini baru bisa diadakan. Untuk kenduri pertama diadakan pada 03 januari 2016 di Koto Panjang, Sumatera Barat sedang yang kedua di Teluk Meranti, Riau, yang diadakan selama dua hari satu malam 5-6 Maret.

“Dua bulan kemudian Insya Allah akan kami laksananakan di Dumai bang,” kata Alvin Ferdian padaku. Alvin adalah ketua panitia untuk acara ini, ia lelaki yang memiliki badan yang tinggi, kurus dan mengenakan kacamata, selama acara Alvin selalu mengenakan syal coklat nya dan terkadang menjadikannya kerudung.

“Amin..” kata semua peserta selesai berdoa yang dipimpin oleh Ibnu. Oleh Kunni semua peserta diminta untuk berfoto dulu, “hitungan ketiga tunjukkan ekspresi paling gokil,” teriak Ibnu pada peserta. Namun hanya beberapa yang menunjukkan ekspresi gokil selebihnya mungkin masih malu-malu termasuk saya sendiri.

Ibnu dan Kunni memastikan semua peserta sudah terisi penuh. Kendaraan kami untuk menuju teluk meranti berjumlah empat. Dua Bus, yang satu ber-AC dan satu tidak dan dua Mobil Avanza Hitam. Bus ber-AC lebih dikhususkan untuk peserta perempuan sedangkan yang tidak untuk peserta laki-laki, “Di Bus yang tidak Ber AC untuk peserta laki-laki, karena bisa merokok,” jelas Ibnu.

Aku dan Ardian telah duduk di dalam bus yang tidak ber-AC, Bus kami berwarna putih didalamnya ada empat kipas angin kecil yang ditaruh oleh supirnya. Ada banyak peserta laki-laki disini karena sesuai anjuran panitia sedangkan peserta perempuan hanya berjumlah lima orang.

Didalam Bus banyak peserta yang desak-desakan beberapa peserta terpaksa berdiri, “Ada dua kursi kosong untuk dua orang cewek, ” kata Kunni sewaktu memasuki bus kami. Sejenak tidak ada jawaban, “Udah kak disini aja ,” jawab Yuliana, salah satu peserta perempuan dari komunitas Bujang dan Dara Tembilahan ,”kami mau nyanyi-nyanyi disini kak.”

Kunni mengacungkan jempol dan Bus pun berjalan menuju Teluk Meranti selama di perjalanan aku melihat Yuliana tidur hingga sampai di lokasi.

Perjalanan menuju Teluk Meranti kami tempuh selama enam jam setengah yang biasanya empat jam. Ada banyak hal yang membuat perjalanan lama salah satunya ialah Bus kami seringberhenti di jalan, “Aku heran dengan kebanyakan bus-bus ni pal, kenapa setiap sudah jalan selalu berhenti-berhenti gak jelas,” kata Ardian sambil menulis puisi yang akan dibaca nya untuk sore nanti.

Salah satu peserta perempuan dari Bahtera Kata, Siti Khadijah, harus turun di salah satu SPBU di kerinci, sebab luka bekas operasinya terbuka,”kami manggilnya DJ,” kata Wafi teman satu komunitas dengan Siti Khadijah, “Kemarin dia habis operasi pembuluh darah, didalam bus bekas operasinya itu terbuka nanti dia dijemput abangnya,” tambahnya. dan yang terakhir Ban Mobil Avanza panitia bocor.

Di perjalanan Wafi bercerita dengan kami, Ia pernah menjadi panitia untuk sebuah kegiatan sosial sewaktu kabut asap riau di pangkalan terap salah satu desa di Kec.Meranti.

“Di pangkalan terap itu kantor kepala desa isinya ayam, kambing, dan peliharaan ternak, disana itu organisasi daerahnya gak jalan, kepala desanya dia, bendahara anaknya, sekretaris menantunya,” terang Wafi sambil duduk di lantai bus.

Kata Wafi kepala desa dan penduduk lain banyak yang bekerja sebagai nelayan. Lanjut nya pernah suatu waktu warga hendak meminta tanda tangan kepala desa.

“Halo pak dimana ?saya mau minta tanda tangan bapak,?”. Kata wafi sambil memeragakan seseorang yang menelpon. “Saya di tengah laut ni, kesinilah,” lanjut Wafi sambil menirukan ucapan Si Kepala Desa Kampung Terap.

“Warga yang tadi pun datang dengan mengendarai speed boat, jadi diperahunya itu udah ada stempel, pena dan kertas,” tutup Wafi yang disambut dengan tawa oleh peserta lain.

Sesampai di lokasi Ibnu kembali mendata peserta dan mengatakan sore nanti semua perwakilan komunitas akan membacakan puisi di dermaga. Di dermaga itu telah disediakan panggung dan dibariskan kursi-kursi plastik. Namun banyak peserta yang memilih duduk di pinggir pinggir sungai.

MERINDING MENDENGAR PUISI

Pembacaan pertama adalah pembacaan puisi yang berjudul Akukah oleh Komunitas Bedah Kata. Melihat pembacaan Akukah yang bagus dan mendapat banyak tepuk tangan dari banyak peserta, Ardian menunjukkan wajah paniknya “aku kenak serangan panik ni pal,” kata Ardian.

Ada 14 komunitas yang ikut Kenduri Puisi II ini, masing-masing komunitas mengirim sedikitnya dua orang yang mewakili acara itu. “Kami pakai kuota terbatas untuk acara yang kedua ini, sebab banyak sekali yang mau mendaftar, yang pertama kalau tidak salah hanya 25 orang, sekarang kurang lebih ada 75 orang,” terang Alvin.

Menurut aku alasan kenapa ramai karena diadakan di meranti, palalawan dimana disitu ada sungai dengan ombak bononya yang terkenal, sebab Cuma ada dua didunia, satu di Brasil dan satu di Riau. Kunni mengatakan sewaktu teknikal meeting ada peserta yang bertanya apakah mereka nanti boleh ikut dan membawa papan selancar. “disini kami tidak menjamin akan melihat bono,” jelas Kunni sewaktu Technical Meeting (TM).

Aku sendiri ikut karena penasaran dengan ombak nya, bukan untuk menikmati puisinya, aku berpikir bahwasanya aku tidak pantas berada diantara penyair-penyair itu, aku hanya pemula , Poedjangga Amatir, yang puisinya belum banyak terbit di Koran. Untuk pembacaan puisi aku masih merasa belum siap itu makanya aku menyuruh Ardian untuk mewakili komunitas kami, Rumah Kayu Pekanbaru, “kalau kak desi, Koordinator Rumah Kayu pekanabaru, tahu yan aku tak baca puisi kenak repet lah aku ni,” kata ku pada ardian.

“Haha runtuh pulak nanti pangging tu, ” canda ardian sewaktu pembacaan puisi selanjutnya oleh Community Pena Terbang (Competer) yang berjudul Katakan Aku Ikan Sungai ciptaan Muhammad Asqalani eNeSTe, sekaligus Ketua Competer. Mereka melakukan visualisasi puisi yang dilakukan lima orang dengan pembaca M. De Putra, slah satu anggota komunitas di Competer dan peserta termuda di acara ini, ia masih kelas dua smp, sambil didekati lima orang yang melakukan gerak gerik seperti ikan, sang pembaca pertama diam, mereka mengitari panggung dengan lenggak lenggok seperti ikan.

“Entah apa-apa aneh kali,” kata Ardian. Satu peserta disebelah kiri ku pun melihatnya dengan aneh. Namun ketika M. De Putra berteriak dengan lantang.

Ataukah Kau…

Sekejap aku lihat bulu kuduk dan lengan Ardian merinding.Peserta disebelah yang tadi terlihat meremehkan juga diam takjub terlahat pori-pori di lengannya menonjol dan bulu kuduknya terangkat ia merinding, aku juga dalam hati aku berpikir kenapa bisa begini, kenapa setiap pembacaan puisi yang dihayati pembaca membuat pendengar merinding, hal yang sama jika kita menghayati lagu Indonesia Raya, Wage Rudolf ataupun ketika kita mentranslatelaguWe Will Not Go Down oleh Michael Heart.

Tak mau kalah komunitas Bujang dan Dara Tembilahan membaca puisi berjudul Renungan Pelaut ciptaan May Moon Nst.

Yee yee yaaa yaaatuk tuk tuk, Badru yang satu komunitas dengan Yulianamelengkingkan suaranya sambil memukul panggung. Suara Yuliana dan Nirma, teman satu komunitas dengan Yuliana dan Badru, membuat bulu kuduk di tangan kami merinding lagi.

Kau masih menyirat jaring pukat,
Menjerat maut yang ingin merenggut

Melihat begitu banyak peserta yang tampil bagus membuat Aku dan Ardian ciut untuk tampil hingga satu peserta dari komunitas Bengkel Senimembaca puisi berjudul “Jerawat.”

Jerawat ..
Aku punya jerawat di jidat, supaya tidak hebat Aku loncat-loncat..

Dengan diksi yang biasa ditambah mimik wajah yang terlihat seperti anak-anak si pembaca mendapat tepuk tangan dan membuat peserta gelak tawa.

Puisi diakhiri dengan visualisasi oleh Rizky, Reza, Aidil dan Yanda.Ini pasti lebih gila lagi pikirku. Merekatampil berempat, mengenakan celana pendek, sambil membacakan puisi mengenai kematian dan kehidupan mereka meloncat dari dermaga ke sungai setelah membaca puisi dan mengakhiri acara sore itu.

BERBAGI IDE, CERITA DAN MASALAH DENGAN TEMAN SESAME KOMUNITAS
Di ruang tamu rumah warga tempat kami tinggal Aku, Ardian, Muhammad De Putra, dan Mulya, peserta Competer, mendengar Reza Atma, salah satu peserta dari komunitas Lata Tuah, bercerita bahwasanya ia pernah membaca puisi yang makna puisinya ‘Cara Membuat Indomi.’

“Dari cara membuat indomi penyair itu membuat puisi, namun karena ia sudah menjadi penyair besar kita kagum mendengarnya,” tambah Reza.

Muhammad Asqalani, pemimpin Competer, ikut bergabung dengan kami yang sedang mendengar cerita Reza.

Dari Reza aku mengetahui tentang lomba menulis lakon, kalau lomba menulis lakon langsung dilokasi, “kalau lomba menulis lakon itu, kadang kita meras down duluan, tapi abang dapat juara tiga dari tiga peserta,” jelas Reza.

Setelah mendengar cerita Reza, kami pun mendengar cerita Asqal, “Saya tidak bisa menulis puisi yang kemelayu-kemalayuan gitu, saya tidak seperti May Moon yang sukuis, yang artinya jika ke jambi maka ia jadi orang jambi, karena saya tidaak bisa seperti itu maka tuhan yang saya permainkan dalam puisi saya dan terkadang seperti anak-anak,” terang Asqal.

Asqol mengatakan ketika ia sudah menulis enam buku kini ia merasa jenuh begitu juga dengan Reza yang merasa jenuh dalam dunia tulis menulis.

Belum sempat aku bertanya bagaimana nanti mengatasinya, Alvin masuk ke rumah kami dan mengajak makan malam.

Hujan yang turun sedari maghrib tidak berhenti turun, acara kenduri puisi tidak bisa diadakan di dermaga yang akhirnya digelar di pendopo yang berjarak sekitar delapan meter dari dermaga. Menurut aku pribadi malam kenduri puisi ini tidak lah semarak yang pertama disore hari mungkin karena hujan dan masyarakat yang menonton tidak seramai yadi sore. Namun suasana tetap seru. Ditambah aksi Reza yangseperti orang gila mempraktekkan Gerak Puisi.

Gerak puisi jika aku deskripsikan adalah puisi yang tidak menggunakan kata-kata, ianya menggukan gerak tubuh, dan mimik muka. Reza membawanya dengan baik dan membuat kami paham bahwa yang ingin disampaikannya adalah ketakutan seseorang ketika ombak bono, seven ghost, datang.

Aku dan Ardian dari komunitas Rumahkayu pekanbaru, komunitas yang berdiri pada 2014 lalu, sekarang komunitas ini sedang vakum yang artinya kami sudah jarang berdiskusi dan kumpul bersama lagi. Mungkin karena masih baru disbanding komunitas lain pikirku.

Eby adalah salah satu peserta dari komunitas kongkow nulis, komunitas yang berdiri pada tahun 2014. Eby mengatakan menulis itu tidak perlu dibatas. “Menulis itu bebaskan aja, dibiarin aja,” jelas Eby kepadaku dan Ardian. Eby mencontohkan mereka yang menulis puisi di instagram yang kebanyak caption di potonya. Sekarang kong kow beranggotakan 80 orang dan 20 orang volunteer.

Sebelum pulang aku berdiskusi dengan Asqal mengenai puisi yang dibuatnya Katakan Aku Ikan Sungai.

Serta ikan-ikan selais menyusuri bulu betisku..
Ikan inggit-inggit serasa membuat tumitku sakit
Tuhan, ternyata aku ikanmu yang mampu berair sidatatan
Kafirkah aku?

Asqal mengaku itu adalah puisi eksperimen dia, namun sewaktu ikut lomba gelombang maritim dengan puisi itu ia masuk kedalam antologi puisi dan mendapat uang seratus ribu, dari Riau yang diterima di situ adalah dia dan Marhalim Zaini.

Setelah makan siang, Bus kami pun berangkat meninggalkan Teluk Meranti, pada pukul dua siang. “Di perkirakan kita akan sampai Pekanbaru pada jam delapan malam,” terang Ibnu mengakhiri acara itu.

Oleh : Reporter AKLaMASI, Rifal Fauzi
Foto : Panitia Kenduri Puisi II, Komunitas Sastra Rumah Sunting Pekanbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *