13 Tahun yang Lalu Bersama Apak

Hidup terasa abu-abu ketika terngiang memori bersama Apak. Sakit sekujur tubuh ini ketika aku tidak mampu move on dari memori itu. Warna-warninya kehidupan yang tidak bisa lagi ku rasakan dan tidak lagi bisa ku genggam. Sudah 13 tahun lalu perasaan ini melekat dihatiku dan merasuk di dalam tubuhku. Oh Tuhan, apakah ini sebagai kekuatan dalam hidupku? Ah, aku tak tahu. Rasanya ingin ku tembus dunia nyata ini dan masuk ke alamnya, agar aku bisa bersua dan bercengkrama bersamanya.

Usiaku yang kala itu memasuki angka 7 dan seharusnya masih sibuk bermain bersama teman sebayaku namun akun harus merasakan pahitnya kehilangan, apalagi aku harus kehilangan sosok seorang motivator dalam hidup. Pernah terlintas dibenakku bahwa tuhan tidak adil, disaat anak lain seusiaku dapat merasakan kasih sayang dan lindungan dari badan kokohnya, tapi tidak bagiku padaku.

Masih ku ingat dalam memoriku, 13 tahun yang lalu disaat Apak pulang kerja, tidak pernah mengatakan bahwa ia lelah bahkan waktu yang tersisa di pakai untuk bermain denganku. Ku rindu masa itu, memori yang belum mampu ku buang semenjak 13 tahun yang lalu.

13 tahun lalu bersama Apak, aku pernah membuat sebuah janji. Janji yang terhebat untuk masa depanku dan keluargaku, namun siapa sangka aku harus memenuhi janji tanpa sosok Apak di dunia ini tapi aku bertekad untuk memenuhi janjiku kepada Apak.

Dalam dan semakin dalam hidup ini ku jalani, satu persatu janji itu telah ku penuhi. Tapi, satu janji yang tidak mampu rasanya untukku penuhi dalam hidup ini. Air mata ibu, ya, aku pernah berjanji untuk menjaga dan tidak pernah membuat ibuku meneteskan air matanya karena ulahku. Namun saat itu, tepat usiaku ke 20 tahun ibu, meneteskan air matanya untuk pertama kali, bukan air mata kesedihan melainkan air mata kebahagiaan melihat anak yang dibesarkannya seorang diri ini sukses tanpa studi walau tanpa bantuan seorang Apak.

Malam pun melangkah mengiringi suka dan duka kehidupan yang kini ku jalani. Pernak-pernik kehidupan yang rumit dan tidak menentu pun kini menghampiri. Cakrawala yang leluasa pun kini mengarungi pikiranku. Aku yang kini menjadi seorang pejuang Sarjana Pendidikan pun tak luput dari sebuah wacana yang telah dilontarkannya pada 13 tahun yang lalu. Ku akui aku memang lemah tanpanya, mungkin aku akan kalah bila tidak bersamanya tapi masih ku ingat, aku masih memiliki seorang ibu. Elusan tangan Ibu yang juga kurasakan adalah elusan tangan Apak memang menjadi obat dalam setiap langkah kesuksesanku.

Kini, memori 13 tahun yang lalu menjadi penguat nadiku untuk tetap bergerak. Kulupakan apa yang menjadi hati ini kalah, ku lenyapkan apa yang membuat langkahku terhenti, tapi tetap ku teguhkan apa yang membuatku menjadi yakin bahwa inilah hidup. Tak ada hidup itu yang instan, dan tak ada hidup itu yang tak ada luka. Langkahku pun semakin yakin atas apa yang ia tuju, dan pandanganku pun semakin jelas atas apa yang ia tampak. Apakah aku akan sukses? Ntahlah, aku belum sampai kepada jawaban itu. Kini yang ku tahu hanyalah berjalan dan terus berjalan walaupun di atas kaca dan duri sekalipun.

Apak, tetap berada dalam setiap denyut nadi dan desir darahku. Ia yang mengubah hidupku ketika aku merasakan apa yang telah diberikannya 13 tahun yang lalu. Cinta tetap ku tujukan padanya disetiap penadahan tangan ku pada-Nya. Ku akui kini memang tak sanggup ku menggapainya, tak mampu ku menembus dunianya, dan tak mungkinku bertemu empat mata bersamanya di dunian nyata ini. Tapi, entah mengapa kurasakan semangatnya kini menjadi semangatku, perjuangannya rasanya kini diwariskan kepadaku. Oh Tuhan, ku titipkan ia pada-Mu, karena ku tahu sebesar apapun sayang ku padanya, tapi lebih besar sayang-Mu padanya.

Aku tetap ingat panggilan “bungsu” yang dilontarkan Apak padaku untuk melembutkan hatiku, dan kini bibir itu tak bisa mengumam lagi untuk memanggilku. Ku berharap 13 tahun yang lalu menjadi pengantar warna yang cerah dalam hidupku nantinya.

Sayang, kini langkahku telah mantap tapi tidak mampu ia lihat langsung bagaimana bungsunya kini sudah menjadi pejuang yang tangguh dalam menjalani lika-liku hidup yang runyam. Tak masalah, yang penting inilah Aku, walaupun tak pernah mendapatkan belaian dari seorang Apak setelah 13 tahun yang lalu. Dunia, ingatlah kau yang menjadi saksi bisu atas perjuangan anak yatim ini setelah ditinggal Apak 13 tahun yang lalu.

 

Oleh : Eko Wahyudi (Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau)

Editor : Arniati Kurniasih

Foto : thayyiba.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *