[Opini] Menjadi Gondrong Bukanlah Tindak Kriminal

Saya merasa risih ketika orang-orang di sekitar saya meminta saya untuk memotong rambut—Ibu, ayah, nenek, kakek, paman, bibi, hingga guru-guru di sekolah. Sudah sejak duduk di bangku sekolah dasar, saya kerap kali terjerat razia rambut. Semahir apapun saya menyembunyikannya, tetap kena juga.

Pada dasarnya, rambut saya memang tebal. Panjang sedikit saja sudah terlihat seperti rimba. Maka dari itu, guru-guru di sekolah harus sering berurusan dengan saya pada waktunya. Tak jarang ada yang memberi sedikit ‘bonus’ kepada saya.

Menduduki bangku SMA, inspeksi rambut ini semakin masif dan menjadi-jadi. Selain ada ratusan murid laki-laki, sekolah saya memiliki satuan khusus untuk urusan satu ini. Pernah suatu kali setelah pengajian jumat pagi, siswa perempuan dipersilahkan untuk membubarkan diri terlebih dahulu—biasanya semua bubar berhamburan tak karuan. Tampaknya kami salah, setelah siswa perempuan angkat kaki, semua pintu segera dikunci. Kemudian para siswa laki-laki panik dan belingsatan, apalagi melihat tim eksekutor menunggu di depan pintu utama. Kami semua terlihat seperti orang-orang pesakitan. Buntutnya, kejadian hari itu diingat-ingat sebagai jumat kelam.

Setelahnya, ketika saya melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan, hal-hal imbesil semacam ini masih saja ada. Saya pernah beradu mulut kepada seorang dosen sewaktu ujian. Ia meminta saya keluar dari ruangan karena berambut panjang, saya katakan tak ada aturannya, ia beralasan karena keyakinan pribadinya. Padahal saya sudah datang rapi dengan rambut diikat dan baju disusupkan ke dalam celana, rapi sekali. Untung saja saya dapat meneruskan ujian, ia angkat tangan dan tak lagi menjawab.

Saya rasa, atau kalian semua yang berambut gondrong, tidak pernah mengganggu proses belajar-mengajar di kelas, tidak pula mempengaruhi prestasi dan ketebalan keimanan. Semua itu hanya ketakutan-ketakutan subjektif belaka.

Memang selagi berstatus mahasiswa ini, saya melampiaskan dendam kesumat yang sudah terpupuk dari kecil. Saya sengaja membiarkan rambut ini memanjang, menolak untuk tunduk kepada orang-orang yang mempunyai rambutnya sendiri untuk diurusi. Termasuk steorotip gondrong di masyarakat—orang-orang jahat.

Saya pernah baca, dulu semasa zaman orde baru, rambut gondrong juga dilarang. Bahkan ada namanya Bakorperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong). Karena di zaman itu pernah ada kultur yang lagi naik daun, yaitu kultur hippiesflower generation. Kala itu pemuda semacam ini hidup bergaya bohemian. Pemerintah merasa gaya-gaya seperti itu sudah menentang nilai-nilai murni nasionalisme, dan tidak mencerminkan kepribadian bangsa. Sehingga dibuatlah razia-razia rambut di jalanan. Tak hanya itu, rambut gondrong dilarang untuk terlihat di ruang publik, termasuk kampus.

Mungkin doktrin-doktrin inilah yang mengantarkan stigma masyarakat hari ini yang menganggap orang-orang gondrong adalah penjahat. Kultur yang semestinya tak berkembang di masyarakat. Singkatnya, semakin pendek rambut seorang lelaki semakin baik ia, barangkali nasionalis.

Persoalan yang membuat semua ini lucu adalah ketika seseorang atau sekelompok memaksa masuk kepada hal yang bukan merupakan hak mereka. Saya selalu benci dengan orang-orang seperti ini, orang yang selalu mengatur benda-benda yang bukan miliknya, dan selalu punya hasrat untuk terus mengaturnya.

Masalahnya, kelucuan itu tak lagi lucu jika terus dilakukan berulang-ulang. Apalagi dibarengi dengan alasan-alasan kedisiplinan. Asal tahu saja, keadaan fisik seseorang tidak akan mempengaruhi karakternya. Lingkunganlah yang akan merubahnya. Lebih-lebih yang punya kuasa turut ikut mencampuri perkara individualitas. Bukannya keikutcampuran itu menyodorkan substansi yang solutif, akan tetapi hanya untuk mempertunjukkan eksistensi kekuasaan mereka. Kadang saya merasa harus intropeksi diri, apa pernah saya melakukan suatu kerugian, yang mengakibatkan kerugian lainnya datang kepada saya. Barangkali ini kasus yang berbeda.

Kini, kultur gondrong sudah mengalami peralihan, yang awalnya adalah bentuk perlawanan terhadap budaya, menjadi mode dalam berpenampilan. Gondrong tak lagi dipandang buruk di dunia industri hiburan. Malahan sekarang banyak muncul kembali gaya-gaya berbusana era 70-an. Namun, dogma itu sepertinya tak mau melepaskan dirinya dalam sistem pendidikan kita.

Apa yang saya lihat, pandangan ini sebagian besar diterima oleh Generasi Millenial. Generasi lama tampaknya masih berkutat pada pakem yang lama pula. Generasi Millenial lebih terbuka dan selalu mau mencoba hal baru, buktinya sosial-budaya kita cepat berubah di abad ke-21 ini dan terus berkembang progresif.

Hari ini, kita bebas menyampaikan pendapat kita dan bebas menentukan pilihan kita. Orang lain tak bisa memaksa kita untuk merubah penampilan kita sesuai dengan keinginan mereka. Asal kita tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan aturan hukum lainnya. Tapi, masih ada saja razia-razia gondrong di sekolahan dan perlakuan inferior di kampus terhadap mahasiswa gondrong.

Harapan saya, untuk orang-orang yang membaca tulisan saya ini, jangan lagi menghujat penampilang orang lain yang tak sejiwa denganmu. Jangan pula berburuk sangka padanya. Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Bumi Manusia menegaskan, “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”□


Opini : Ardian Pratama – Mahasiswa Agroteknologi UIR

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *