Situs Lembaga Pers Mahasiswa SUARA USU Disuspensi Karena Cerpen

Oleh: Yenny Elvira

“Apa salahnya? Bedanya aku tidak menyukai laki-laki tapi perempuan walau sebenarnya aku perempuan.”

Begitulah bunyi lead cerpen bertema “LGBT” yang ditulis oleh Yael Stefani Sinaga, Pimpinan Umum Pers Mahasiswa SUARA USU (Universitas Sumatera Utara) di suarausu.co pada Senin (12/03). Setelah cerpen tersebut diterbitkan, SUARA USU mendapat pencekalan dari berbagai pihak, termasuk rektorat Universitas Sumatera Utara. Kemudian, pada Rabu (20/03) situs suarausu.co tidak bisa diakses, atau disuspensi. Kepada AKLaMASI, Yael menceritakan kronologi situs suarausu.co tidak dapat diakses melalui pesan Whatsapp Pada Kamis (21/03).

***

Senin 12 Maret, Pers Mahasiswa SUARA USU menerbitkan sebuah cerpen berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya”. Cerpen tersebut bercerita tentang seorang tokoh wanita yang dihujat oleh masyarakat karena berstatus penyuka sesama jenis—lesbian. Kemudian, pada Senin 18 Maret, artikel tersebut baru dipublikasi melalui instagram @suarausu. Enam jam setelah postingan tersebut diterbitkan, komentar-komentar dari pembaca terhadap cerpen tersebut membludak.

Pagi esoknya, 19 Maret, sekitaran jam 9, Yael Stefani Sinaga, Pimpinan Umum SUARA USU sekaligus penulis cerpen tersebut dihubungi Wakil ketua Koordinator Unit Jurnalistik untuk menarik cerpen tersebut dari suarausu.co, namun Yael menolak  dan meminta harus ada diskusi dengan pihak keredaksian terlebih dahulu.

Tak lama berselang, pukul 13.00 Widiya Hastuti—Pimpinan Redaksi SUARA USU beserta Yael dipanggil oleh Elvi Sumanti selaku Kepala Humas USU ke rektorat. Elvi mengatakan cerpen tersebut sudah dibicarakan dengan pihak Wakil Rektor I dan Majelis Wali Amanat (MWA), setelah itu mereka berdua dihadapkan kepada Muhammad Husni, Staff ahli MWA.

“Menurut mereka bahasanya terlalu vulgar, ditambah warna pelangi dalam ilustrasi yang mana itu logo LGBT, mereka semakin yakin kalau SUARA USU pembela LGBT,” tutur Yael.

Yael juga juga mengatakan bahwa Husni meminta SUARA USU untuk segera mencabut cerpen tersebut, karena sudah meresahkan pihak civitas akademika USU. Husni beralasan pihak SUARA USU salah tempat dalam menerbitkan pemberitaan yang mana mereka hanyalah mahasiswa, apalagi SUARA USU masih didanai oleh rektorat. SUARA USU juga mendapat ancaman akan dibubarkan oleh pihak rektorat.

“Dia (Husni) bilang kalau kami bukan wartawan Tempo yang bisa menulis tulisan seperti itu, apalagi SUARA USU membawa nama USU didalamnya juga sebagai mahasiswa tidak layak membuat kalimat vulgar seperti itu.”

Sore harinya, sekretariat SUARA USU didatangi oleh beberapa mahasiswa USU untuk meminta klarifikasi, sebagian ada yang meminta SUARA USU untuk lebih memperhatikan konten bahkan meminta video permintaan maaf.

Karena SUARA USU tak kunjung menarik cerpen tersebut, Elvi kembali menghubungi Yael dan menanyakan perihal tersebut, Yael juga diberi tenggat waktu untuk menarik cerpen hingga pagi hari. Namun, keesokan harinya, Rabu 20 Maret, situs suarausu.co tidak bisa diakses. Tampilan pada website tersebut ialah “Account Suspended” atau akun telah disuspensi. Hingga saat ini, pihak SUARA USU tidak mengetahui mengapa situs mereka tersuspensi atau siapa pihak yang mensuspensikan website mereka.

Badru Chaerudin, Koordinator Forum Pers Mahasiswa (FOPERSMA) Riau menyayangkan adanya intervensi dari pihak rektorat USU, ditambah dengan permintaan menarik artikel dan mengancam akan membubarkan SUARA USU jika tidak menuruti keinginan dari pihak kampus.

“Menurutku ada kemunduran cara berpikir dari pihak rektorat dalam menyikapi fiksi, di sini bukan berarti saya mendukung gerakan LGBT. Kedepan sepertinya tantangan pers mahasiswa bukan soal dana cetak lagi, melainkan suspend website, kemahiran kru soal IT,” ucapnya.

Badru juga mengapresiasi dengan sikap SUARA USU yang mampu mempertahankan cerpen  yang bukan produk jurnalistik.

“Cerpen saja mereka berani mempertahankan, apalagi produk jurnalistik. Dan lagi SUARA USU hingga saat ini masih baik-baik saja terlihat dari aktivitas postingannya di media sosial mereka.”

Berdasarkan data dari Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia, sejak tahun 2013 hingga 2016 setidaknya ada 47 LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) yang mengalami ancaman. Mulai dari pemberedelan, sensor, kriminalisasi, serta intimidasi.

Pada 2016, ada kasus pembredelan yang dialami oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta oleh rektorat karena pemberitaan di Buletin Poros edisi Magang mengenai Fakultas Kedokteran di UAD. Pembredelan tersebut dilakukan hanya berlandaskan “ketidaksukaan” pihak rektorat terhadap pemberitaan itu dan dianggap merusak nama baik kampus. Selanjutnya Majalah Lentera Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga juga dicekal karena membuat edisi khusus peristiwa tahun 65 pada 2015.


Editor: Ardian Pratama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *