Diskusi Suku Seni Riau: Sensor Media Sosial Harus Dari Diri Sendiri

Oleh: Gerin Rio Pranata

“Sensor yang paling arif dan bijaksana adalah hati nurani manusia,” –Zainul Ikhwan.


Komunitas Suku Seni Riau adakan diskusi publik di Rumah Suku , jalan Amal Ikhlas, Marpoyan, Pekanbaru pada Sabtu malam, (14/09). Tema diskusi adalah “Sensor Media Sosial”, dengan pemantik Zainul Ikhwan (pegiat media dan ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah  Riau 2010-2016) dan Dr. M. Badri, M.Si., (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim).

Zainul Ikhwan membahas soal telatnya regulasi Indonesia terhadap kemajuan teknologi. Indonesia selalu gagap beradaptasi terhadap kemajuan teknologi, sehingga regulasi yang mengatur teknologi tersebut lemah. Seperti, layanan streaming dan media sosial. Pemerintah hanya mau bermain enteng dengan memblokir jika ada mengarah kepada keamanan negara, atau melakukan intervensi terhadap perusahaan media sosial.

Intervensi pemerintah kepada perusahaan media sosial telah banyak dilakukan oleh banyak negara di dunia, seperti kasus yang terjadi di Selandia Baru, Turki, China, dan Indonesia sendiri. Selandia Baru pernah meminta semua layanan media sosial untuk menghapus video penyerangan terhadap Masjid Al Noor di Christchurch. Karena, untuk menenangkan situasi publik dan keamanan publik.

Kemudian, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak memiliki wewenang untuk menyensor media sosial karena tidak ada regulasi yang mengatur. Karena dalam penyiaran yang ada di Indonesia, yang berhak menutup akses sebuah penyiaran adalah Kementrian Komunikasi dan iInformatika (Kominfo), “Sensor yang paling arif dan bijaksana adalah hati nurani,” tambah Zainul Ikhwan.

Zainul Ikhwan juga mengungkapkan bahwa dalam dunia penyiaran, Indonesia masih tertinggal dalam masalah peralatan pemantau penyiaran, sehingga fungsi KPI sebagai lembaga yang diharapkan untuk memantau penyiaran alatnya tidak memadai.

Selanjutnya, M. Badri memberi pengertian bahwa sensor adalah pengawasan terhadap penyiaran sebelum siaran diterbitkan. Namun, ia katakan yang terjadi saat ini adalah masih terjadi pelanggaran ketika sebuah konten sudah diterbitkan.

M. Badri juga menuturkan bahwa penyensoran konten di media sosial termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Karena mengganggu kebebasan berekspresi seperti yang termaktub dalam Undang-Undang nomor 32 tentang Penyiaran bahwasannya, “Kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Di era digital saat ini, hal yang paling utama adalah literasi terhadap dunia digital, bukan konten apa yang harus diblokir. Ia menyepakati pernyataan Zainul Ikhwan, bahwa sensor harus dimulai dari diri sendiri sebelum menerbitkan sesuatu di media sosial.

Zainul Ikhwan juga berpendapat bahwa ada kekurangan dalam regulasi perfilman di Indonesia. Karena lembaga penyiaran melakukan pemantauan setelah film sudah ada di tayangan televisi, bukan saat sebelum film itu dipublikasikan.

Dalam dunia penyiaran terdapat pedoman perilaku penyiaran yaitu:

  1. Lembaga penyiaran wajib taat dan patuh hukum terhadap segenap peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.
  2. Lembaga penyiaran wajib menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia.
  3. Lembaga penyiaran wajib menjunjung tinggi norma dan nilai agama dan budaya bangsa yang multicultural.
  4. Lembaga penyiaran wajib menjunjung tinggi Hak-hak Asasi Manusia dan Hak Privasi.
  5. Lembaga Penyiaran harus menjujung tinggi prinsip ketidakberpihakan dan keakuratan.
  6. Lembaga penyiaran wajib melindungi kehidupan anak-anak, remaja dan kaum perempuan.
  7. Lembaga penyiaran wajib melindungi kaum yang tidak diuntungkan.
  8. Lembaga penyiaran wajib melindungi publik dari kebodohan dan kejahatan.
  9. Lembaga penyiaran wajib menumbuhkan demokratisasi.

Saya juga sempat melontarkan pertanyaan kepada pemantik, apa yang menjadi tolak ukur Kominfo dalam menerapkan undang-undang ITE untuk memberi hukuman kepada pengguna sosial media yang menyimpang?

Zainul Ikhwan memberikan jawaban bahwa tolak ukur pemerintah dalam menerapkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) adalah demi stabilitas keamanan negara. Yosa Satrama Putra, salah satu peserta dalam diskusi tersebut juga memberi pernyataan bahwa pentingnya literasi digital pada saat ini kepada masyarakat. Tujuannya, agar dapat melakukan penyensoran secara pribadi dan membentengi diri dari arus informasi.


Editor: Ardian Pratama
Foto: Gerin Rio Pranata

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *