Sidang Putusan Perkara Syafrudin Segera Digelar
Oleh: Rahmat Amin Siregar
Syafrudin (69) petani asal Rumbai, Pekanbaru dituntut empat tahun penjara serta denda Rp 3 miliar dan subsider selama enam bulan penjara atas dakwaan membakar lahan garapannya seluas 20×20 meter. Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU), Syafrudin terbukti melanggar pasal 98 ayat 1 Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kamis (30/01) sidang kembali digelar dengan agenda duplik atas replik JPU pada sidang sebelumnya. Rian Sibarani, selaku penasihat Syafrudin menolak dalil yang disampaikan JPU, Rian menyatakan JPU dalam tuntutan dan repliknya tidak mampu membuktikan telah terpenuhinya unsur tindak pidana yang dilakukan Syafrudin sebagaimana dimaksud dalam rumusan pasal tersebut.
Dikutip dari tempo.co, Syafrudin membersihkan lahan garapannya dengan membakar sisa hasil panen pada 16 Maret 2019. Disebutkan bahwa Syafrudin telah membuat sekat bakar agar api tidak menyebar ke lahan lain.
Ketika api sudah hampir padam, Syafrudin meninggalkan lahan untuk melaksanakan salat zuhur. Sekembalinya ke sana, Ia dikejutkan dengan kedatangan dua polisi dari Polsek Rumbai. Sore harinya, Ia dibawa ke kantor Polsek Rumbai yang kemudian melimpahkan kasus ini ke Polresta Pekanbaru.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru yang juga sebagai Penasihat Hukum Syafrudin, mengkritik langkah Polresta Pekanbaru dan Kejaksaan Negeri Pekanbaru yang memproses kasus ini, serta menyoroti ketimpangan penegakan hukum pada korporasi besar yang diduga membakar lahan secara besar-besaran pada 2015 lalu. Polda Riau juga menerbitkan surat penghentian penyidikan terhadap 15 korporasi yang diduga terlibat kebakaran hutan dan lahan.
“Disini kita melihat bahwasanya penegakan hukum lingkungan, lebih condong menyasar kepada petani kecil dan tidak melihat pelaku pembakaran yang berskala luas” jelas Rian Sibarani pada selasa (28/01) di sidang replik JPU terhadap nota pembelaan di PN Pekanbaru.
Zedma Ernawilis (54) istri Syafrudin menuturkan bahwa Syafrudin sempat ditarik pada salah satu bagian bajunya oleh polisi ketika hendak mengambil barang bukti berupa mancis sebagai alat yang digunakan untuk membakar lahan garapannya, Selasa (28/01). “Sedih lihatnya diperlakukan begitu, seperti orang yang bersalah besar.”
Selama sang suami ditahan, Zedma bekerja mengambil getah karet dan melanjutkan pekerjaan Syafrudin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia juga harus memenuhi kebutuhan hidup dua orang anaknya yang merupakan penyandang disabilitas akibat kecelakaan. “Ya gimana lagi, cukup gak cukup ya begitu, anak juga ada yang bantu,” jelasnya.
Zedma juga menerangkan kondisi suami yang sudah tua dan memiliki riwayat penyakit asam urat dan rematik yang mengakibatkan pembengkakan dibagian ruas tangan. Ia rutin dua kali dalam seminggu mengunjungi sang suami di Lembaga Pemasyarakatan (lapas) dan memberi obat karena dilapas Syafrudin mendapat obat-obatan berupa sirup.
“Saya minta keadilan dan keringanan, itu gak adil untuk kami orang miskin yang tak punya uang,” tambah Zedma.
Di laman change.org terdapat sebuah petisi yang meminta PN Pekanbaru untuk membebaskan Syafrudin dari tuntutan hukum. Petisi ini dimulai oleh Noval Setiawan kepada PN Pekanbaru dengan judul petisi ‘Bebaskan Syafrudin dari Tuntutan Hukum: Petani Bukan Penjahat Lingkungan’ dan telah ditandatangangi 3100 orang pada Jumat sore (31/01) pukul 17.00 WIB.
Adapun putusan perkara atas kasus ini akan dibacakan pada Selasa (04/02) di Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Editor: Putri Anugrah
Foto: Rahmat Amin Siregar