Kadet 1947: Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan dari Maguwo
Penulis: Fani Ramadhani dan Tuni Dariyanti
Film Indonesia yang membangkitkan semangat nasionalisme kembali hadir ke layar lebar. Terakhir kali film nasionalisme seperti ini yang tayang di bioskop adalah Bumi Manusia dan Perburuan di tahun 2019.
Dan kini, Celerina Judisari dan Tesadesrada Ryza yang juga memproduseri Satria Dewa: Gatotkaca kembali merilis film dengan semangat perjuangan, Kadet 1947.
Film ini berlatarkan Agresi Militer Belanda I. Mengisahkan tentang sekelompok siswa sekolah penerbang Angkatan Udara Maguwo yang biasa dijuluki sebagai kadet. Ambisi Sutardjo Sigit (Bisma Karisma), Mulyono (Kevin Julio), Bambang Saptoadji (Marthino Lio), Suharnoko Harbani (Omara Esteghlal), Sutardjo (Wafda Saifan), Dulrachman (Chicco Kurniawan), dan Kapoet (Fajar Nugra) untuk ikut menjaga kemerdekaan dari serangan Belanda yang ingin kembali merebut Indonesia pada tahun 1947.
Namun niat mulia ini terhalang karena status pelajar Angkatan Udara mereka. Untuk menjalankan aksinya, para kadet diam-diam meminta bantuan teknisi mesin untuk merakit pesawat.
Cerita Kadet 1947 merupakan adaptasi dari peristiwa pemboman udara pertama yang dilakukan Indonesia ke markas besar Belanda di Semarang, Salatiga, dan Ambarawa. Film yang berdurasi 110 menit ini tidak hanya bercerita tentang perjuangan tetapi juga tentang pembuktian diri sekelompok anak muda di tengah konflik persahabatan dan cinta.
Skenarionya ditulis dan sekaligus disutradarai oleh Rahabi Mandra dan Aldo Swastia. Rahabi Mandra juga merupakan penulis skenario film Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar bersama Titien Wattimena.
Konflik bermula pada saat Belanda melanggar perjanjian Linggarjati dan kembali menyerang sejumlah wilayah di Indonesia. Hal ini mengobarkan semangat para kadet untuk menggagas operasi pengeboman udara ke markas Belanda.
Pertentangan dan penolakan mereka dapatkan dari para petinggi Angkatan Udara yang dipimpin oleh KASAU Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma (Mike Lucock) dan Halim Perdanakusuma (Ibnu Jamil).
Jalan cerita dari film ini dikemas rapi, dengan dibumbui masalah-masalah seperti pertengkaran antara Sigit dan Tardjo saat ekspedisi rahasia mencari bangkai pesawat, juga situasi menyerah setelah Belanda membombardir, dan pengkhianatan.
Kadet 1947 tidak hanya menampilkan scene yang menegangkan, terselip juga humor sederhana oleh Dulrachman sehingga alur dari film ini tidak terkesan monoton dan memancing tawa di tengah-tengah adegan yang menegangkan.
Ditambah lagi dengan kisah percintaan antara Sigit dan Asih (Givina Lukita) yang apik disuguhkan ke dalam sebuah pilihan antara kekasih atau perjuangan.
“Kalo ada ikatan, tidak usah ikut perang, tidak usah ikut angkatan. Karena akan jadi beban di hati” ucap Tardjo dalam salah satu adegan di Kadet 1947.
Sinematografi dari film ini benar-benar memberikan penggambaran Indonesia di tahun 1947 dengan warna yang bisa memberikan efek kepada penonton untuk masuk ke dalam medan perjuangan. Serta tampilan pada kostum juga pesawat-pesawat di era tersebut. Hal ini dapat terlihat jelas ketika para kadet dan juga teknisi mesin menemukan bangkai pesawat yang jatuh. Pesawat ini diperkirakan adalah pesawat yang ditumpangi Pangeran Diponegoro pertama kali.
Namun terdapat sedikit kekurangan dalam film ini, tampilan CGI masih terbilang cukup kasar. Kurangnya kedalam karakter-karakter yang dieksplorasi, tapi dengan cukup banyaknya karakter di film ini, tentu bisa memakan cukup banyak waktu tayang.
Serta penggambaran motivasi dari Kardi sebagai Sersan udara yang berkhianat belum cukup jelas. Kardi seakan-akan mendukung penuh Indonesia namun ternyata diam-diam membocorkan tempat penyimpanan pesawat dengan memberikan tanda merah di atas atap persembunyian tersebut.
Pada Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2021 Kadet 1947 yang baru rilis pada 25 November 2021 mendapat penghargaan sebagai Best Film dan Best Director. Bukan hanya penggambaran perjuangan dan perang pada masa itu, film ini juga menyuguhkan pesan seperti yang di ucapkan Tardjo si teknisi mesin dan persenjataan.
“Akan ada terus perang, selama manusia masih serakah.”
Editor: Rahmat Amin Siregar