Pesona Negeri Matahari Timur

SONY DSC
Indonesia sangat kaya akan warisan leluhur serta keindahan dan keasrian alamnya. Tanahnya yang subur, lautannya yang biru serta hutannya yang hijau dan lebat membuat wisatawan baik nasional maupun internasional terus mengembara di Nusantara ini.
Salah satu ranah nusantara yang sangat familiar karena peninggalan cagar budaya dan keasrian alamnya adalah provinsi Riau. Dengan bermodal minyak bumi dan gas alamnya, tak heran bila Riau meraih gelar predikat sebagai salah satu provinsi paling kaya di Indonesia.
Predikat yang telah diperoleh Provinsi Riau tidak terlepas dari peran masing-masing kota maupun kabupaten yang membentuknya. Kabupaten Siak merupakan salah satu dari sepuluh kabupaten yang ada di Provinsi Riau. Siak meraih penghargaan Adipura untuk pertama kalinya di tahun 2013.
Kabupaten yang terbilang masih berusia sangat dini ini wajib berbangga hati dengan beragam situs peninggalan sejarah serta cagar budayanya. Tempat wisata di kabupaten ini pun tak kalah asyiknya untuk dieksplor. Beragam peninggalan sejarah seperti balai kerapatan tinggi yang langsung berhadapan dengan sungai Siak, istana kerajaan melayu di Siak Sri Indrapura, kantor dan rumah Kotler, kapal Kato yang tersandar di pinggir sungai Siak serta makam anggota kerajaan dan ulama penyebar Islam di masa kerajaan.
Puing-puing sejarah tersebutlah yang membuatku menjatuhkan pilihan untuk menelusuri negeri Matahari Timur ini melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga pers yang aktif di salah satu kampus terbesar di kota Pekanbaru, Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Islam Riau, Aklamasi namanya.
Berawal dari pengetahuan masa kecil seputar kerajaan melayu di kota kelahiranku, aku sangat antusias untuk menelusuri kerajaan melayu di kabupaten Siak ini. Meskipun harus ku bayar dengan bosannya menunggu perjalanan di dalam bus selama 15 jam serta sesaknya aroma kabut asap hasil pembakaran tanah gambut dan karbondioksida yang selalu ku hirup setiap harinya di Riau. Rasa penasaranku yang sangat mendasar mengenai kesultanan Siak adalah masih adakah hubungan antara kesultanan Deli yang didirikan oleh sultan Ma’mun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah dengan istana Maimoon-nya di Medan dengan kesultanan Siak yang didirikan oleh sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin dengan istana Asseraiyah Hasyimiah-nya di Kabupaten Siak ini.
Entah mengapa aku tak pernah sekalipun mendengar kesultanan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin ini di tanah kelahiranku, di kota Medan. Namun, hal itu hanyalah masa lalu. Saat ini ada banyak hal yang dapat kuceritakan kepada rekan-rekanku sesampainya di Medan nanti.
Kerajaan Siak
Kerajaan Siak merupakan kerajaan melayu Islam terbesar di Provinsi Riau. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang kuat dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan di pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Sebagai sesama pecahan kemaharajaan Melayu, Kerajaan Siak memiliki hubungan yang amat dekat dan sangat baik dengan Kerajaan Deli di Medan. Ditambah lagi dengan konflik berkepanjangan yang keduanya sama-sama selalu berkonflik dengan kerajaan Aceh.
Beragam konflik dan intrik senantiasa mengiringi perjalanan kerajaan Siak. Singkatnya, Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di daerah itu.
Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut.
Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik berhasil merebut tahta Johor.
Tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing pihak mengundurkan diri.
Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecik mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan. Namun, pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan.
Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota Buantan pindah ke Mempura, pindah kemudian ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap disana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir. Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889-1908, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889. Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi.
Dan pada masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II).
Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden. Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Pada tahun 1960 beliau kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968. Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu. Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Makam Sultan Syarif Kasim II terletak ditengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya disamping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin.
Di awal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999. Kisah kerajaan Siak ini dapat dinikmati di situs web resmi pemerintah Kabupaten Siak.

Istana Negeri Matahari Timur
Asseraiyah Hasyimiah adalah nama asli istana ini. Istana ini dibangun oleh Sultan Siak ke-11, Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin. Istana ini dibangun saat Sultan Syarief Hasyim (sebutan singkatnya) baru mulai memimpin Kerajaan Siak pada 1889. Jika sekarang terlihat sangat kokoh, tak lain karena hasil renovasi. PT. Pembangunan Perumahan terakhir kali merenovasinya pada tahun 2008 yang sebelumnya diresmikan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 11 Agustus 2007.
Jika kita memasuki gerbang istana ini, tampaklah beberapa patung elang hitam yang mencengkram kuat tiang-tiang penyangga istana. Patung elang hitam ini melambangkan kekuatan dan kekokohan kesultanan Siak.
Menurut riwayatnya, Istana ini dirancang oleh arsitek asal Jerman dan tidak terlepas dari pengaruh budaya Eropa. Dulunya sang sultan memang kerap melawat ke Belanda dan Jerman. Sekarang pun, salah satu koleksi antik yang ada di istana ini adalah alat musik Komet buatan Jerman, yang memiliki piringan pemutar berdiameter 90 cm. Konon, di dunia ini Komet hanya diproduksi dua buah. Yang satu masih di negara asal, negara Jerman yang satunya lagi yang berada di Istana Siak.
Bukti lain bahwa istana ini tak terlepas dari pengaruh Eropa dapat kita temukan beragam pernak-pernik khas Eropa di dalamnya. Diantaranya adalah Gramopon. Pemutar piringan hitam khas Eropa yang populer di abad ke-18 ini, dapat kita temukan di lantai 1 istana di lorong sebelah kiri dari pintu masuk Istana. Pernak-pernik lainnya seperti lampu dengan desain Eropa banyak kita temukan di Istana ini. Perlengkapan makan kerajaan pun langsung didatangkan dari Eropa. Maka tak heran jika ukuran sendok makan kerajaan Siak sangat berbeda dengan sendok makan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Di sepanjang dinding kamar istana di lantai dua, dapat ditemukan beragam aktifitas penghuni istana yang diabadikan dalam foto dan lukisan. Pernak-pernik perayaan adat seperti syukuran dan perkawinan anggota kerajaan juga masih tertata dengan baik di dalam istana ini. Silsilah raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Siak juga dapat ditemukan di dalam istana ini.
Istana ini dijuluki dengan ‘Negeri Matahari Timur’ karena desainnya yang memadukan arsitektur Melayu, Arab dan Eropa. Di Istana Siak juga dapat dilihat beragam koleksi warisan kerajaan berupa kursi singgasana yang bersepuh emas, kursi berlian, duplikat mahkota kerajaan, brankas kerajaan, tombak, payung kerajaan serta patung perunggu Ratu Wihemina. Saat ini beberapa koleksi benda antik dari Istana Siak Sri Indrapura disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Kini istana ini difungsikan sebagai perkantoran, rumah tinggal, penginapan, dan toko suvenir oleh penduduk setempat. Istana Siak dan ratusan benda pusaka di dalamnya dikelola Yayasan Amanah Sultan Syarif Kasim dimana pengurusnya masih keturunan Sultan Siak dan bertanggung jawab kepada dinas pariwisata Kabupaten Siak.
Pengunjung Tak Berkenan Masuk ke Istana
“Beberapa pengunjung merasa tidak nyaman bahkan tak berkenan masuk ke dalam istana ini.” Tutur Siam dengan mimik serius. Siam adalah salah satu petugas dinas pariwisata yang ditugaskan sebagai penjaga istana. Pria berusia 37 tahun ini mempunyai sebuah pengalaman aneh dengan seorang pengunjung.
Siam yang ketika itu masih bertugas sebagai petugas taman istana merasa heran dengan seorang pengunjung yang duduk di depan istana. Ia mendekati pengunjung tersebut.
“Nape tak masuk?” Siam membuka pembicaraan.
“Di dalam ramai sekali pak. Saya tidak mau masuk.” Sahut si pengunjung.
Siam merasa heran karena istana kala itu sedang sepi pengunjung.
“Tak ape. Itu patung saje.” Siam berusaha menjelaskan beberapa patung yang dijadikan sebagai replika seolah-olah anggota kerajaan yang sedang melakukan rapat kerajaan.
“Bukan pak. Mereka berjalan-jalan di seluruh istana.” Pengunjung tersebut mencoba meyakinkan Siam.
Siam yang merasa keanehan pada pengunjung itu pergi meninggalkannya dan melanjutkan pekerjaannya membersihkan taman.
Kondisi mistis masih sangat kental di sekitar istana Siak ini. Maka tak heran bila petugas istana tidak segan-segan melarang pengunjung yang berpakaian minim untuk masuk ke dalam istana. Petugas juga membuat peraturan agar pengunjung tidak menyalakan rokok selama berada di dalam istana.
“Kami cuma bisa melarang dek. Kewajiban kami cuma itu. Kami tidak mau arwah-arwah anggota kerajaan mendatangi kami dengan membiarkan hal-hal seperti itu masuk ke dalam istana.” Siam mengakhiri perbincangan siang itu.
Kebudayaan di sekitar istana juga sangat dijaga untuk menghormati raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Siak. Masyarakat sekitar sangat mempercayai bahwa arwah raja-raja terdahulu masih berada di sekitar mereka karena makam raja-raja tersebar di beberapa penjuru di luar istana. Bahkan sesekali mereka membuat perayaan serta festival adat melayu atau arak-arakan keliling istana untuk terus melestarikan budaya Siak serta mengabadikan gaung kesultanan Siak.
Jembatan Siak
Jembatan Siak berada sekitar 100 meter disebelah Tenggara kompleks Istana Siak, Siak Sri Indrapura.  Jembatan ini merupakan ikon dari Kabupaten Siak. Jembatan yang sangat megah ini dibuat tahun 1899. Di bawah jembatan istana terdapat sungai Siak yang dulunya disebut dengan sungai Jantan, diduga dulu sekaligus sebagai parit pertahanan kompleks istana.
Saking lebarnya sungai Siak yang berada dibawahnya, kapal-kapal besar pengangkut ikan dan kayu tak henti-hentinya melintas di bawah jembatan Siak ini. Di atas jembatan Siak yang tingginya sekitar 50 meter, pemerintah Kabupaten Siak membangun restoran yang bisa dinaiki dengan menggunakan lift khusus. Namun untuk saat ini hanya pemerintah Kabupaten Siak dan jajarannya saja yang dapat menikmati restoran tersebut.
Meskipun pewaris tahta kerajaan Siak sudah terputus dan meskipun pemerintahan modern telah memerintah di negeri ini, kejayaan kesultanan Siak menjadi daya tarik tersendiri. Ibarat pepatah Melayu, “Takkan hilang Melayu ditelan bumi”. Pada masa mendatang, Sultan Melayu akan tetap ada walau kekuasaannya tak lagi sehebat dulu. Kerajaan Siak adalah sebuah warisan emas untuk Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *