Kuasai Bahasa Inggris, Keluar Sarang Indonesia

tamu

Pada 15 Maret 2012 Dr Sriwahyuni A Kadir tiba di Pekanbaru usai selesaikan program study post doctoral (S4) di Vrije Universiteit Brussel, Belgia. Program itu didapatnya lewat beasiswa. Sebelumnya Dia sudah selesaikan program doktoralnya di Law Faculty of Bremen, Germany juga lewat beasiswa. “Kalau mau kuliah gratis kuasailah bahasa asing,” katanya di majalah AKLaMASI edisi 02. Dia dapat beasiswa karena bisa Bahasa Inggris.

Tiba di rumah, Dia bilang pada tetangga ingin mengajar anak-anak sekitar rumah dengan gratis. Ternyata dapat respon positif, dua hari setelah kepulangannya dari Belgia ada sepuluh anak datang. Mereka mulai belajar Bahasa Inggris di halaman rumahnya di Jalan Pondok Al Kautsar No 07, Sail, Pekanbaru.
Puput Jumantirawan berbincang dengannya, soal kegiatan mengajar anak-anak sekitar rumah, soal urgensi bahasa Inggris, juga soal pendidikan di Indonesia dan luar negeri. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana awal ceritanya sampai mengajar anak-anak sekitar rumah?
Saya lihat sekitar rumah banyak yang ekonominya tidak terlalu mampu. Kemudian anak-anak tersebut gak punya kegiatan usai sekolah. Nah, saya berpikir berarti anak-anak ini banyak waktu luangnya hanya bermain-main saja. Kalau orang tuanya mampu mungkin bisa menyekolahkan lebih baik dengan les. Saya pikir inilah saatnya berbuat. Saya kumpulkan anak-anak tersebut dengan izin ketua RT dan RW lalu ngobrol dengan ibu-ibu tetangga akhirnya jadilah. Awalnya hanya sepuluh anak. Lama-lama meningkat. Sekarang sudah dua puluh.

Saya memberikan pelajaran gratis pada anak-anak sekitar rumah mulai TK sampai SMP sebenarnya itu cita-cita terpendam. Saya ingin punya sekolah gratis bagi orang tidak mampu. Kebetulan punya rejeki, berhasil dalam sisi formal. Karena ada perjalanan panjang mulai selesaikan program belajar S1 sampai S4 barulah dapat merealisasikan itu. Walaupun kecil-kecilan.

Bagaimana bisa punya cita-cita begitu?
Selama di rumah saya dapatkan kenyamanan dunia. Tapi di luar Saya lihat banyak yang bisa dilakukan kalau mau. S1 saya di solo, lihat orang di Solo ternyata orang Riau masih lebih sejahtera dibandingkan Jawa. Walau pendidikan di sana lebih maju. Tingkat kehidupan merekaa tidak begitu baik. Saya KKN di Gunung Kidul, miris sekali tidak punya air, lahannya tandus. Hal seperti itu lah yang buat saya ingin sekali buat sekolah yang betul-betul gratis tidak bayar apa-apa, tapi malah saya yang sediakan semuanya.

Bagaimana perjalanannya sejauh ini?
Sudah dua bulan ini hasilnya sudah nampak. Mereka senang sekali. Walaupun dulu di teras rumah lalu pindah ke garasi, ada satu white board sekarang uda dua. Kedepannya saya ingin kalau ada rejeki pakai bangku. Suatu saat, ada saya sediakan halaman belakang yang luas bikin pondokan dan itu adalah sekolah. Insyaallah yang penting punya niat dulu.
Tapi yang saya ajarkan sekarang baru bahasa Inggris. Diselingi suami yang mengajar bahasa Arab.

Kenapa bahasa Inggris?
Sebenarnya bukan hanya bahasa Inggris. Saya mulai dengan bahasa Inggris karena kepedulian saya. Cikal bakal orang maju itu bahasa. Walaupun ada bahasa Arab, Jepang tapi itu nanti. Saya tidak mematok hanya bahasa Inggris. Saya lihat dulu enam bulan kedepan. Evaluasi lagi. Saya pikir begini, pengalaman pergi kemana-mana bukti kemampuan bahasa Inggris, itulah yang utama untuk melangkahkan kaki keluar dari sarang Kita (yang pakai) bahasa Indonesia ini. Minimal dapat pengalaman lihat negara dan budaya orang. Lebih tinggi lagi kita dapat ilmu, transfer knowledge karena bahasa mereka kita kuasai. Hal itulah kenapa saya mengajar bahasa Inggris.

Ketertarikan mereka belajar bahasa Inggris bagaimana?
Mereka senang sekali, di sekolah sebetulnya ada juga. Tapi taulah kita dengan satu guru dan beberapa puluh anak kan perhatian itu kurang. Di rumah, saya guru untuk dua puluh anak, meskipun tidak cukup sendiri, tapi mereka enjoy sekali. Bermain dalam bahasa Inggris.

Ibu sendiri belajar bahasa Inggris dari mana?
Dari kelas satu SD. Saya dari keluarga, terutama ayah saya yang suka pakai bahasa Inggris. Menanyakan misalnya, how are you? Kelas empat SD saya minta ikut les. Ada juga bilang faktor bakat. Tapi saya tidak tau apakah faktor bakat mempengaruhi saya, karena saudara saya yang lain juga tidak terlalu suka dengan bahasa Inggris. Ketertarikan saya tidak hanya dengan bahasa Inggris, saat SMP saya pernah belajar bahasa Jepang tapi karena tidak ada teman bicara akhirnya hilang. Bahasa Arab juga saya suka, sempat kuliah di Fakultas Ushuludin (sekarang FAI) UIR untuk belajar bahasa Arab.

Mengajarnya kapan aja?
Hanya hari Minggu dari jam empat sampai jam enam sore. Sebetulnya mereka minta lebih, tapi jadwal saya tidak bisa, dua kali saja tak bisa. Saya ngajar di pascasarjana mulai Senin sampai Minggu, ada yang sampai malam. Mereka bilang, ‘Umi gimana kita jangan hari Minggu saja, tiga hari seminggu’. Bahkan ada yang minta setiap hari. Mereka minta istilahnya saya ibu pengganti mereka, ada PR mereka minta bantu buatin.

Bagaimana metode belajarnya?
Saya bilang learn fun. Banyak bermainnya agar pelajaran bisa masuk. Misalnya, menggambar nama bendanya pakai bahasa Inggris atau bernyanyi. Beda dengan mengajar mahasiswa.
Sebetulnya tidak ada patokan cara mengajar. Saya lakukan dari hati saja. On the spot pada saat mengajar saja. Misalnya minggu lalu, mereka suka menggambar dengan bahasa Inggris. Minggu ini tidak terus saya lakukan hal sama, saya lihat dulu mereka inginnya apa itulah yang dilakukan. Kalau disekolah kan ada pola yang sistematis. Kita tidak. Ya Kreatif saja.
Nah yang kreatif ini sebenarnya yang diambil lembaga non formal. Untuk bisa dibayar.

Target yang hendak dicapai?
Mewujudkan sekolah gratis. Terutama untuk orang kurang mampu, tapi tidak menutup kemungkinan untuk mereka yang mampu sekolah formal, tapi tidak mampu untuk les saya juga akan bantu.

Harapan ibu untuk mereka?
Saya akan mengiringi mereka hingga besar, mereka akan bisa menambah wawasan. Kalau dapat buat sekolah gratis yang formal.
Mengapa ada yang berbuat seperti saya, atau mereka yang sudah lama membantu anak jalanan. Ada urutan sistem sebenarnya. Dalam UUD kita, pendidikan adalah hak semua warga Negara. Tapi manakala hak itu diimplementasikan ternyata mahal. Tarok lah SD sudah dibantu dana BOS bisa gratis. Selanjutnya yang gratis itu sudah sesuai belum dengan kualitasnya? Kalau gratis, tapi tidak pikir kualitas apa gunananya?. Nah, kualitas inilah yang diambil lembaga les, pendidikan mahal jadinya. Apa lagi les untuk ujian masuk ini masuk itu, semuanya uang.

Bagaimana di Jerman?
Saat di Jerman terbuka mata saya, pendidikan yang dikelola pemerintah di sana tidak ada lagi yang namanya les. Bahkan untuk berenang saja mereka sediakan. Kecuali orang tua yang mau asah bakat anaknya. Paling les hobi seperti olahraga, tenis, bola, musik dan sebagainya. Tapi soal kualitas pendidikan sudah selesai di sekolah. Lima tahun di Jerman, di Belgia hampir enam bulan lalu keliling Eropa Saya lihat gak ada lembaga non formal sampai menjamur seperti itu. Sebenarnya miris saya, makanya saya buat ini untuk anak-anak.

Bagaimana dengan pendidikan di Indonesia?
Banyak orang baik tapi persoalannya etikanya kena. Ada pendidikan moral, pendidikan karakter yang harusnya mulai dilaksanakan TK sampai SD. Tapi kualitas yang kita terima tidak sebagaimana mestinya. Anak Saya yang SD mata pelajarannya sampai sebelas mata pelajaran. Dengan banyaknya mata pelajaran itu, Dia tidak ada waktu lagi untuk berpikir bahwa kita menciptakan karakter Dia yang baik. Karena sudah disibukan dengan pelajaran yang terlalu berat. Ada IPA, IPS. Benar itu pelajaran-nya, tapi lupa, karakternya hilang. Akhirnya hidup kita ini maunya serba enak, serba cepat. Pendidikan itu hanya sekedar dapat lebel S1, S2, S3 kita sudah bangga. Apakah bisa dipertanggung-jawabkan dengan moral yang baik? Itu yang terjadi di Indonesia.
Implementasi pendidikan moral kita hanya sebatas belajar moral, tidak dibina. Misalnya anak saya TK dan SD waktu di Jerman, gurunya bilang kita menyayangi tumbuhan. Besoknya bersama gurunya mereka jalan ditunjukan ini bunganya kita harus jaga. Nah seperti itu, harus ada imple-mentasi lang-sung. Kalau kita belajar moral baca buku, tapi tidak pernah kita tunjukkan, yang benar itu gini nak!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *