Romantisme Pilu Aktivis 1998

Sumber : Tokopedia
Sumber : Tokopedia

JUDULNYA nyentrik,1998. Deretan angka yang menunujuk pada periode sejarah tergulingnya Suharto. Novel 1998 gambarkan bagaimana keadaan mahasiswa yang “dihilangkan” akibat turut serta dalam aksi turunkan Suharto. Novel ini ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim. Terbitan PT Gramedia Pustaka Utama,Jakarta. Cetakan pertamanya September 2012. Novel 1998 adalah karya terakhir Ratna dari 12 buku yang pernah ditulisnya. Saat Ratna sakit stroke, Dia tetap lanjutkan penulisan buku ini. Akhirnya Ratna berpulang pada 28 maret 2011. Semangat penulisan novel 1998 adalah mendokumentasikan tragedi orang hilang pada masa 1998. Dikatakan novel ini tribute dari Ratna bagi perjuangan orang-orang yang akan selalu menolak lupa atas tragedi 1998.

Novel mengambil setting tempat di Malang, Ratna menggunakan sudut pandang orang ke 3 sesekali tokoh aku dalam cerita berubah. Alur ceritanya maju-mundur. Novel ini dikemas dalam kisah cinta penuh dinamika.

1998 bercerita tentang Putri, anak Walikota Malang yang kuliah di Universitas Brawijaya Malang. Ibunya, Ninik, keturunan priyayi Jawa. Ayahnya Suwarno wali kota Malang. Putri punya sahabat, namanya Heni. Heni seorang keturunan etnis Tionghoa, ayahnya seorang konglomerat di Jakarta. Meski teman-teman kampus banyak bilang, mereka itu borjuis, tapi nyatanya mereka berdua sangat sederhana.

Di Malang saat itu banyak demonstrasi mahasiswa. Mereka tuntut Suharto mundur dari jabatannya. Suharto dianggap sebagai pemimpin otoriter. Suasana kampus yang semula tenang jadi bergolak. Banyak mahasiswa turun ke jalan sambil bakar foto Suharto.

Sebagai seorang anak Walikota, Putri menghindari kondisi seperti ini, karena selain ayahnya seorang Walikota – ayahnya Putri – juga tergabung di partainya penguasa saat itu. Dalam kondisi inilah Putri dekat dengan Neno, seorang aktifis mahasiswa dari kampusnya. Neno merupakan anak seorang guru sejarah. Baginya, Neno merupakan sosok yang humoris, entah mengapa, Putri dan Heni begitu akrab dengan Neno, hingga akhirnya Neno dan Putri berpacaran.

Kisah cinta Mereka menjadi kekuatan tersendiri novel ini. Percikan bumbu romantisme percintaan anak seorang kepala daerah dengan aktivis. Bagaimana-pun orang tua Putri secara politik berlawanan dengan Neno kekasih Putri.

Sementara perpolitikan terus memanas. Intensitas demonstrasi Neno meningkat. Neno sering demo bolak-balik Malang-Jakarta. Mereka hanya bisa kontak telpon aja, jarang bertemu bahkan untuk sekedar bertatap muka. Masyarakat mulai banyak turun ke jalan. Pembakaran dimana-mana. Demontrasi membesar keseluruh penjuru negri.

Pada satu ketika unjuk rasa, Neno dikabarkan hilang. Dia diculik orang tak dikenal. Dia disekap di rumah kosong setelah diseret dua orang saat hendak ke wartel mau nelpon Putri. Di tempat penyekapan Neno hanya diberi sedikit nasi dan oseng kangkung untuk ganjal perut. Dia disiksa. Disiram es, untuk menjawab pertanyaan dimana keberadaan kolonel Hadi seorang agen CIA. Neno sempat dekat dengan kolonel Hadi tapi tiga bulan belakangan kolonel Hadi menghilang, tidak bisa dihubungi. Neno tak tau keberadaannya. Neno dimasukan sel.

Saat Neno sering berhubungan dengan kolonel Hadi dia pernah bilang pada Putri, “Kalau urusan dengan kolonel Hadi sudah selesai, aku ingin hidup seperti laki-laki biasa, sepulang kerja makan malam bersama anak—istri, baca Koran dan nonton TV sampai tertidur. Kehidupan yang sederhana. Aku baru tahu itu setelah bersamamu Putri,”. Kini Neno tak lagi sebagai manusia bebas yang bisa wujudkan cita-cita sederhananya dengan Putri. Dia di dalam sel dan Putri tak tau keberadaan Neno.

Sekuat tenaga Putri mencari Neno. Dia datang ke Senayan,berhari-hari amati puluhan ribu demonstran tak ada juga Neno diantara mereka. Semua relasi dihubungi untuk bantu temukan Neno. Tapi tak juga ada hasilnya. Sejak Neno menghilang hari-hari Putri ditemani derai tangis. Kesedihan yang mendalam dirasanya.

Usai lulus kuliah Putri putuskan untuk lanjut S2 ke Amerika atas dukungan temannya, tentunya dengan kerinduan yang mendalam pada Neno. Dari jauh dia terus berusaha mencari Neno. Suharto telah mundur pada 21 Mei 1998. Dia pun memutuskan kembali ke Malang setelah kondisi terkendali. Dan menemukan kenyataan bahwa tak seorang pun yang mau bertanggungjawab atas penculikan mahasiswa. Termasuk penculikan Neno. Bahkan sampai kemelut politik telah reda,Neno tak pernah ditemukan. Menyisakan kemelut tersendiri di hati Putri.

Novel ini sangat menarik, penulis gambarkan secara lugas realitas perpolitikan di tahun 1998. Demonstrasi, penculikan aktivis, juga kisahkan detik-detik runtuhnya rezim Suharto sebagai presiden yang sudah bercokol selama 32 tahun.

Saya katakan ini Novel inspiratif bagi mahasiswa, karena di dalam cerita, Ratna menggambarkan bagaimana perjuangan mahasiswa. Mereka berjuang, turun kejalan, melakukan aksi demonstrasi mendesak Soharto mundur, lalu diantaranya disekap. Menggambarkan mahasiswa yang peduli atas perpolitikan dan kondisi sosial negaranya disela teror penculikan.

Novel 1998 ini berhasil memberi kesan bagaimana ‘keganasan’ Suharto dalam menumpas orang-orang yang akan mengganggu kepentingannya. Banyak mahasiswa yang diculik, disiksa dan keadaan mereka tidak diketahui. Ada juga sepenggal cerita soal tahanan politik yang dituduh PKI, Suryo seseorang yang dijumpai Neno di penjara bersamanya. Suryo dibebaskan dan akan menikahi mantan kekasihnya yang sudah janda dengan empat anak. Tapi Neno tetap didalam sel.

Meski novel ini secara garis besar, menceritakan tragedi tahun 1998, Ratna mengemas cerita percintaan antara Neno dengan Putri. Romantisme itu berakhir dengan pernikahan Putri dan Marzuki teman Neno yang juga aktivis. Sebuah ending yang mengagetkan.

Kalau-pun ada kurangnya itu lantaran penulis banyak gunakan serapan bahasa Jawa. Mungkin ini perkuat setting cerita—Malang. Tapi bagi pembaca yang tak ngerti bahasa Jawa akan memutar otak untuk menerka apa maksud kata itu.

Membacanya seperti kita kembali ke tahun 1998. Buku ini layak dibaca mahasiswa. Sebagai refleksi zaman sekarang, untuk tidak hanya diam, tidak peduli dengan keadaan negeri ini. Dan tentunya melawan lupa atas tragedi penculikan aktivis 1998.

Penulis : Ratna Indraswari Ibrahim

Tebal : 328 halaman

Terbit : September 2012

Penerbit : Gramedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *