Mempromosikan HAM melalui Pendidikan Kewarganegaraan Global

Ravi Kanth Devarakonda

JENEWA (IPS) – Di tengah meningkatnya konflik dan merajalelanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di seluruh dunia, meluaskan “pendidikan HAM” bukanlah tugas yang mudah. Namun sebuah organisasi nonpemerintah dari Jepang mulai membangun pengaruhnya melalui pendekatan “pendidikan kewarganegaraan global”.

Dalam pertemuan tahunan Dewan HAM PBB (UNHRC), pada 8-16 September 2014, dua peristiwa yang berdampingan menandai dimulainya janji meluaskan pendidikan hak asasi manusia (HRE) secara berkelanjutan.

Selain peluncuran web “Hak untuk Pendidikan HAM” oleh Kantor Komisaris Tinggi HAM, sebuah workshop khusus mengenai HRE juga diadakan untuk pekerja media dan jurnalis.

Pertemuan tersebut merupakan inisiatif Kelompok Kerja NGO HRE yang dipimpin Soka Gakkai International (SGI), sebuah NGO terkemuka dari Jepang yang berjuang untuk penghapusan senjata nuklir, pembangunan berkelanjutan, dan pendidikan HAM.

“Ini kali pertama Kelompok Kerja NGO Pendidikan dan Pembelajaran HAM dan sebuah kelompok tujuh negara yang mewakili Platform untuk Pelatihan dan Pendidikan HAM mengadakan workshop mengenai pendidikan HAM untuk pekerja media dan jurnalis,” ujar Kazunari Fujii, perwakilan SGI di Jenewa.  

Fujii telah bekerja di antara kelompok-kelompok penekan HAM di Jenewa untuk memobilisasi dukungan demi meluaskan kampanye HRE. “Melalui promosi pendidikan HAM, SGI ingin membantu perkembangan budaya HAM yang mencegah pelanggaran terjadi di tempat pertama,” kata Fuji kepada IPS setelah workshop.

“Jika perlindungan HAM menjadi tujuan utama dari Piagam PBB, begitu pula sama pentingnya mencegah terjadinya pelanggaran HAM,” ujarnya.

Mengutip pesan utama Ketua SGI Daisaku Ikeda untuk menumbuhkan “budaya HAM”, Fujii mengatakan misinya di Jenewa untuk membangun solidaritas di antara NGO-NGO demi tercapainya tujuan utama SGI mengenai HAM, pelucutan senjata nuklir, dan pembangunan berkelanjutan.

Pertemuan tahunan Dewan HAM mencoba memecahkan sejumlah konflik yang meradang di belahan dunia. “Dari perspektif HAM, jelas prioritas utama dan mendesak dari komunitas internasional seharusnya menghentikan konflik yang kian kuat di Iraq dan Syria,” ujar Zeid Ra’ad al Hussein, Komisioner HAM PBB yang baru.

“Secara khusus, upaya yang sungguh-sungguh dibutuhkan untuk melindungi kelompok agama dan etnis, anak-anak –yang berisiko mengalami perekrutan-paksa dan kekerasan seksual– serta perempuan, yang menjadi target sejumlah pembatasan,” Al Hussein mengatakan dalam pidato pertamanya di hadapan Dewan HAM.

“Langkah kedua, sebagaimana pendahulu saya (Navanetham Pillay) secara konsisten menekankan, harus dipastikan akuntabilitas akar pelanggaran HAM dan kejahatan internasional,” lanjutnya. Dia berpendapat, “impunitas hanya akan menyebabkan konflik dan kekerasan berkepanjangan, karena dendam membara dan mengambil pelajaran yang salah.”

Al Hussein, yang berasal dari keluarga kerajaan Jordania, menginginkan Dewan HAM untuk mengatasi faktor-faktor yang mendasari terjadinya krisis, terutama “sistem politik diskriminatif dan korup yang mencabut hak sebagian besar penduduk serta para pemimpin yang lalim atau menyerang dengan kekerasan tokoh-tokoh masyarakat sipil independen.”

Selain itu, dia menekankan perlunya mengakhiri “impunitas dan diskriminasi yang tak henti-hentinya” dalam konflik Israel-Palestina –di mana 2.131 warga Palestina dibunuh selama krisis Gaza, termasuk 1.473 warga sipil, 501 di antaranya anak-anak, dan 71 warga Israel.

Pertemuan tahunan Dewan HAM juga dijadwalkan membahas isu seperti hak-hak mendasar dalam ekonomi dan mata pencaharian, yang akan ditangani melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB, kondisi buruk migran di seluruh dunia, dan penahanan para pencari suaka dan migran, termasuk anak-anak di Amerika Serikat.

“Jelas, sejumlah pelanggaran HAM dan kondisi buruk masyarakat adat menjadi isu utama yang perlu ditangani secara berkelanjutan,” kata Fuji. “Tapi penting juga meningkatkan kesadaran pendidikan HAM di antara pekerja media dan jurnalis yang selalu terjebak dalam pusaran konflik.”

Selama diskusi terbuka dalam workshop pekerja media dan jurnalis, beberapa wartawan tidak hanya berbagi pengalaman pribadi mereka namun juga mencari kejelasan tentang bagaimana wartawan bisa melindungi HAM dalam konflik di mana mereka disertakan (embedded) dengan pasukan pendudukan di Irak atau negara lain.

“Ini merupakan masalah besar yang perlu ditangani karena sulit bagi wartawan untuk menghargai HAM jika mereka disertakan dengan militer,” ujar Oliver Rizzi Carlson, seorang wakil dari United Network of Young Peacebuilders, kepada IPS.

Mengomentari pekerjaan yang harus dilakukan untuk meluaskan pendidikan kerwarganegaraan, Fujii mengingatkan bahwa kemajuan nyata telah dibuat dengan membawa sejumlah kelompok penekan HAM bersama-sama dalam mengintensifkan kampanye pendidikan HAM.

“Solidaritas di dalam masyarakat sipil dan meningkatnya pengakuan atas kerja kita oleh negara-negara anggota telah membawa hasil nyata,” kata Fujii. “Pembentukan sebuah koalisi NGO –HR 2020– yang terdiri dari 14 NGO seperti Amnesty Internasional dan SGI tahun lalu merupakan perkembangan signifikan dalam intensifikasi kampanye kita.”

Penerjemah Meidella Syahni

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *