Warga Dunia, Bersatulah!

Roger Hamilton- Martin

PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (IPS) – SEBAGAIMANA politik, ekonomi, konflik, dan kebudayaan yang menjadi kian bertautan, akankah identitas individu juga mulai melampaui batas-batas negara?

Sifat “kewarganegaraan global” yang sulit dipahami dikemukakan Dr Palitha Kohana, perwakilan tetap Sri Lanka untuk PBB, dalam IPS Forum on Global Citizenship pada 18 November 2014 di Misi Tetap Sri Lanka untuk PBB di New York.

“Konsep kewarganegaraan global menantang pikiran manusia untuk waktu lama meski definisi yang tepat tak pernah benar-benar mengkristal,” kata Kohana.

Ide tersebut dikemukakan dengan baik oleh Tony Blair dalam pidatonya di Chicago pada 1999. “Kita semua kini internasionalis, suka tidak suka. Kita tak bisa menolak untuk berpartisipasi dalam pasar global jika kita ingin maju. Kita tak bisa mengabaikan ide-ide politik baru di negara-negara lain jika kita ingin berinovasi,” kata Blair.

Kohana mengatakan, bahkan setelah runtuhnya kekaisaran melahirkan sistem Westphalian, tumbuhnya negara-negara luar biasa kuat tidak mendorong pengembangan sebuah sistem yang benar-benar global.

Kohana menekankan pentingnya PBB sebagai institusi yang mengangkat prinsip kewarganegaraan global

“Terbentuknya PBB menciptakan forum bagi kemanusiaan untuk melakukan upaya mengatasi masalah umum bersama-sama dari perspektif global. PBB dan lembaga-lembaganya telah berhasil membangun pengertian yang berguna untuk mendekati banyak tantangan hari ini bersama-sama.”

Forum tersebut dipimpin Dutabesar Anwarul K. Chowdhury, mantan perwakilan Bangladesh dan penggerak utama resolusi Majelis Umum PBB tahun 1999 yang mengadopsi Deklarasi PBB dan Program Aksi (PoA) Budaya Damai.

“Ketika kita berbicara tentang kewarganegaraan global, refleksi-refleksi tertentu muncul dalam pikiran,” katanya. “Hal pertama yang harus dipahami adalah spiritualitas. Apa nilai-nilai kita, apa komitmen kita sebagai manusia? Kedua, keyakinan dalam kesatuan kemanusiaan. Kita harus keluar dari batas-batas sempit kita, tak hanya dari diri kita sendiri tetapi masyarakat kita.”

Selain tantangan, banyak panelis sepakat bahwa promosi kewarganegaraan global bergerak melawan arah angin apa yang diklaim sebagai benturan peradaban, menurunnya sumber daya, dan sinisme budaya.

Kepala Perwakilan Inter Press Service (IPS) Walther Lichem mencatat bahwa, “Hingga hampir 200 tahun setelah dimulainya diplomasi multilateral di Kongres Wina, kita menjadi sadar bahwa diplomasi multilateral kian memberikan andil bagi pemerintahan global.”

Lichem mengatakan, kewarganegaraan global perlu dilihat dalam konteks sistem yang mengemban norma seperti “tanggungjawab untuk melindungi”, sebuah prinsip yang menempatkan masyarakat internasional di atas negara-bangsa ketika tiba waktunya untuk melindungi warga negaranya sendiri.

“Kewarganegaraan global harus dipahami sebagai kewarganegaraan dengan hak asasi manusia sebagai cara hidup,” kata Lichem.

Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mengidentifikasi kewarganegaraan global sebagai area prioritas ketiga dalam Global Education First initiative, menganggapnya penting bahwa siswa bukan hanya belajar bagaimana lulus ujian dan mendapat pekerjaan di negara sendiri, tetapi ditanamkan pemahaman pentingnya rasa hormat dan tanggung jawab lintas budaya, negara, dan wilayah.

“Kewarganegaraan global adalah sebuah perang melawan lupa,” kata Erol Avdovic, wakil ketua Asosiasi Koresponden PBB. “Ini adalah perang melawan prasangka dan pengabaian –atau bahkan lebih buruk lagi, manipulasi– fakta-fakta yang jelas.”

Aliansi PBB untuk Peradaban (UNAOC), satu entitas yang menggali akar polarisasi antara masyarakat dan budaya, yang hadir dalam IPS Forum on Global Citizenship, dengan jurubicara Perwakilan Tinggi Nassir Abdulaziz Al-Nasser, Nihal Saad, mencatat bahwa pendidikan kewarganegaraan global “punya kekuatan untuk membentuk masa depan berkelanjutan dan dunia yang lebih baik.”

“Kebijakan pendidikan harus mempromosikan perdamaian, saling menghormati, dan peduli lingkungan. Pendidikan tak cukup hanya menghasilkan individu yang bisa membaca, menulis, dan berhitung. Pendidikan harus membawa nilai-nilai hidup bersama.”

Pandangan Saad digaungkan Monte Joffee, perwakilan Soka Gakkai International AS, yang mengatakan, “Kurikulum kita perlu menyertakan topik yang lebih bersifat global sehingga siswa-siswa kita dapat mengembangkan semangat empati terhadap ‘liyan’.”

“Ini tidak mengakomodasi inti dari krisis pendidikan saat ini. Berbicara hanya soal pendidikan Amerika, saya harus katakan bahwa kesenjangan dana pendidikan, tingkat putus asa dan putus harapan terlalu banyak dalam masyarakat kami… menyebabkan kekurangpekaan terhadap realitas dan ‘perangkat’ kurikulum tentang kewarganegaraan global bukanlah solusi.”

Joffee mengaitkannya dengan kisah Anand Kumar, seorang matematikawan India yang dikenal karena program “Super 30” di Patna, Bihar. Ia memfasilitasi siswa-siswa kurang mampu secara ekonomi untuk ikut ujian masuk sekolah teknik terkenal, Institute Teknologi India (ITT), dan sukses besar.

Programnya memilih 30 calon berbakat dari kalangan tak mampu, melatih mereka, serta menyediakan materi-materi pelajaran dan penginapan mereka selama setahun.

Joffee mengatakan, kisah ini memberikan sebuah contoh luar biasa bagi Pendidikan Kewarganegaraan Global. “Para pendidik harus mengatakan, ‘Saya akan mulai di sini, dengan siswa tepat di depan saya’.”

Ramu Damodaran dari Divisi Layanan Departemen Informasi Publik PBB juga berbicara tentang pentingnya akademisi diberi lebih banyak kesempatan untuk memiliki suara di PBB.

Penerjemah Imam Shofwan

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *