Saya dan Ibu

Saya menemukan sebuah album foto di dalam toples plastik bundar di rumah. Jadi satu dengan sandal refleksi dan beberapa mainan adik. Dari beberapa foto yang saya bolak-balik, ada satu foto yang jadi perhatian saya.

Perempuan muda berumur 21 tahun dengan gaun hitam duduk membopong bayi di depan. Itu foto saya dan ibu—22 tahun lalu. Foto ini spesial, tidak tahu kenapa. Yang pasti, saya senang memandanginya berlama-lama. Mungkin ikatan emosional pada ibu besar. Bahkan, saya memotong foto itu menjadi bagian kecil agar pas di dompet. Ketika tidak memakai dompet, adik saya, menaruh—diselipnya di cermin dalam kamar.

Momen kebersamaan itu saya rasakan lagi ketika kembali tinggal bersama ibu—saat kuliah. Sebelumnya, saya menghabiskan masa sekolah di Selat Panjang—kampung halaman ibu. Di sana saya tinggal bersama nenek dan paman.

Ibu membawa saya kepada nenek, ketika mulai bersekolah. Saya sangat sedih ketika harus pisah dengannya saat itu. Juga, saya tidak bisa menampakkan kesedihan itu di depan orang ramai. Untuk meluapkan kesedihan, saya memilih bergulung di kasur. Meneteskan airmata.

Minggu-minggu awal pisah dengan ibu, saya belum bisa menghapus kesedihan. Selalu terkenang ibu.

Tahun 2011, selesai dari sekolah menengah atas di kampung halaman, saya berangkat ke Pekanbaru untuk lanjut kuliah. Saya kembali berkumpul bersama ibu. Memang tidak lama, baru empat tahun sejak kedatangan awal.

Tapi bagi saya, ini momen yang tidak akan dilupakan. Begitu senang rasanya, bisa kumpul kembali bersama ibu, dan saya tidak merasa ada beban. Ketika tinggal bersama nenek dan paman, saya rada tertekan. Tidak bebas untuk melakukan sesuatu.

Di rumah—dengan ibu, saya bisa enak saja bermalas-malasan tanpa merasa bersalah. Kenapa harus bersalah, bukankah ibu yang paling mengerti dengan anaknya sendiri?

Ibu juga tidak banyak omong kalau di rumah. Bukan tipe emak-emak yang ngomel dan marah-marah. Walau pun begitu, ia tetap punya batas kesabaran terhadap tingkah kami.

Tapi ada satu kejadian yang tidak terpikirkan oleh saya. Ketika ibu berulang tahun ke-41 pada Juni, dua adik saya berinisiatif merayakannya secara kecil-kecilan. Mereka dari sore sibuk menyiapkan dan patungan untuk membeli kue.

“Bung, mau ikut nyumbang tidak,” kata adik saya. Saya tidak ikut kontribusi apa-apa untuk membeli kue itu, murni kedua adik saya. Saya merasa keinginan mereka, di luar kebiasaan keluarga kami. Saya merasa canggung.

Saya melihat mata ibu berkaca-kaca. Ia pasti tidak sangka anaknya berinisiatif berikan kejutan pada hari ulang tahunnya. Ia bertanya kepada adik bungsu saya, apa yang mau disampaikan kepada ibu. Adik saya senyum-senyum saja. Saya juga begitu, malah cenderung diem. Di keluarga kami memang tidak biasa saling mengutarakan perasaan sayang secara langsung.

Tapi bukan tidak ada kasih sayang. Saya melihat betapa ibu sangat menyayangi kami. Saya memang agak bandel kalau soal urusan tidur, asal lepak langsung tidur. Ibu sering menasehati saya untuk memakai selimut. “Pasang alas itu, jangan tidur di semen, sejuk nak,” kata ibu. Saya cuma membalas “Ya,” tanpa melakukan perintahnya. Kalau sudah begitu, ibu lah yang sering melihat, memasangkan selimut, dan mencolokkan obat nyamuk elektrik. Demi melihat saya melingkar kedinginan. Saya tahu ibu menyelimuti saya, kadang-kadang saya pura-pura tidur.

Awal kuliah, ibu sering bertanya saya di mana, kenapa tidak pulang. Saya memang jarang pulang ke rumah, karena sibuk dengan kegiatan sendiri. Kalau sudah begitu ibu akan mengirim pesan, mengingatkan untuk jangan lupa makan. Ia juga bertanya saya pegang uang apa tidak. Kalau tidak segera pulang. Untuk tidak membuat ia risau, saya membalas, saya baik-baik saja. Saya risih juga dengan hal-hal begitu. Sudah besar kok masih ditanyain, begitu kadang saya berpikir. Tapi, sekarang semenjak ponsel beliau hilang, kebiasaan itu hilang. Saya jadi rindu.

Ibu lahir dan besar di Selat Panjang. Generasi kedua dari keluarga Jawa, semenjak nenek menetap di Selat Panjang. Nenek asal Salatiga, salah satu kota di Jawa Tengah. Saya pikir, kesabaran dalam merawat kami didapat dari keluarganya. Nenek seorang yang bertarung sendirian dalam menghidupi anak-anaknya. Sabarnya maksimal.
Di umur sekarang, saya cuma berpikir, apa yang bisa saya berikan untuk membuat ia senang. Ibu tentu berharap pada anak sulungnya yang belum tuntas kuliah. Anak sulung yang sangat menyayangi dan mencintainya, walau tidak pernah mengutarakannya langsung.

Saya ingin sekali mengajaknya berdua untuk menonton film-film Stephen Chow, Jackie Chan, atau film garapan P. Ramlee kegemarannya, yang juga saya gemari, atau mengajaknya keluar untuk makan.

Saat ini saya cuma bisa menulis seperti ini. Ya, apa peduli saya…

Penulis: Wahid Irawan
Pemimpin Umum AKLaMASI 2015-2016
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Akutansi Angkatan 2012

Editor dan Ilustrasi: Dede Mutiara Yaste

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *