Senang Bercinta Dengan Sastra

PEKANBARU – Muhammad Asqalani eNeSTe adalah seorang Sastrawan Riau. Lahir pada 25 Mei 1988, di Huta Paringgonan, salah satu daerah di Sumatera Utara. Selain sibuk mengajar D1 English For Airlines di Smart Fast, Ia juga sibuk dengan komunitas puisi yang didirikannya, yaitu Competer (Community Pena Terbang). Namanya tidak asing bagi para pecinta seni, Ia merupakan sastrawan yang produktif. Hampir seluruh media pernah memuat karya-karyanya baik media lokal, nasional juga internasional, seperti Pikiran rakyat, Suara Merdeka, Suara NTB, Sastra Sumbar, Riau Pos, Pos Bali, Majalah Sagang, Majalah Noormuslima (hongkong) dan masih banyak lagi.

Sosoknya yang humoris terlihat berbeda dengan karya-karyanya yang unik dengan kias-kias yang lembut. Selain menyalurkan sastranya melalui media-media, Ia juga produktif dalam penerbitan buku. Beberapa buku puisi tunggalnya yang pernah Ia terbitkan adalah Tangisan Kanal Anak-Anak Nakal (2012), Sajak Sembilu Tentang Teh Ribuan Gelas (2012), ABUSIA (2013), Doksologi (2014), Anak Luka Susu (2015), Doa Orang Telanjang (2015), dan Bimbilimbica (2016).
Rabu kemarin (9/3) AKLaMASI melaksanakan kegiatan Diskusi Puisi, ia diundang sebagai pengisi acara diskusi tersebut. Dengan gayanya yang santai dan juga humoris, ia tampak berhasil mengajarkan bahwa menulis itu tidak sesulit yang dibayangkan, terkhususnya di bidang puisi.
Setelah Ia sholat dzuhur di masjid Al-Munawwarah Universitas Islam Riau (UIR), Ade Kurniawan Siregar dan Sofiah Reporter AKLaMASI berkesempatan berdialog dengannya mengenai dirinya dan puisi. Berikut kutipan wawancaranya :

Bagaimana awal mencintai puisi?
Berawal dari pesantren secara terpaksa saya masuk pesantren karena kakek saya yang ngotot. Sebenarnya Saya memang dulu benci banget pesantren. Karena orang-orang yang pulang pesantren kebanyakan merokok, mencuri dan macam-macamlah kelakuan yang buruk-buruk.
Nah, akhirnya saya terjebak disitu.
Ayah saya meninggal ketika saya masih bayi. Jadi, saya suka ngeluh kalau orang suka cerita ayah, suka nangis gitu. Ketika itu saya sama guru saya Muhammad Abu Bakar, panggilannya Kak Aab. Kak Aab minta sama saya untuk mijitin dan nginjak-nginjak. Nah disitu saya cerita, saya nangis-nangis cerita tentang Ayah Saya. Sebenarnya, kalau bagi orang lain itu tidak perlu nangis lah ya.

Dan disitulah akhirnya dia bilang, ayo kamu nulis tiap hari! Nah disitulah, saya ga tau dibalik nangis-nangis saya, tapi mungkin menurut dia, saya punya bakat mendramatisir sesuatu atau apa dan layak untuk menulis. Disitulah awal saya nulis-nulis. Awalnya di buku. Pada tahun itu sempat dua kali ngirim ke Analisa via pos, dan ngetiknya di pesantren.

“Saya ga ngerti, ga pandai tu laptop apa, karena pada 2006 pada saat itu, dan saya memang anak kampung banget. Saya ga tau itu, Jadi, guru saya yang ngetik dan yang mengirimkan pake pos dan sampai sekarang tidak pernah dimuat di analisa,” jelas Asqal.

Pencapaian terbesar dalam bidang puisi?

Sebenarnya pencapaian terbesar itu tidak ada. Karena, pada dasarnya manusia itu kan dia punya rasa tidak puas. Dan pada akhirnya orang merasa “Oh ini pencapaian Tertinggi” pada akhirnya menjadi angkuh, sombong, menjadi sudah diatas.

Saya semula menulis puisi karena mencari, untuk menemui Ayah Saya yang sudah meninggal. Dan sesuatu yang mustahil, orang yang tidak ada di bumi di cari. Karena saya tidak akan pernah menemukan dia, untuk itu saya terus menulis dan terus mencarinya melalui puisi. Itu awalnya. Dan dibalik itu sebenarnya ada juga semacam moto atau kata-kata, saya bilang “menulis untuk menangis”. Nah selama saya masih bisa menangis, saya akan terus menulis!

Kalau yang paling berkesan?
Yang paling berkesan mungkin ketika saya juara satu pada menulis puisi tingkat mahasiswa se-Riau. Karena seperti teman-teman lainnya, orang-orang yang tidak betul-betul berkecimpung di dunia puisi, ga nyangka kalau puisi itu bisa di bayar, satu juta misalnya.
Saya memang dari kecil sudah beberapa kali juara kelas, apalagi Madrasah Diniyah Aliyah (MDA) sering juara satu, begitu pula ketika SMP.Tapi, saya itu ga pernah mendapat piala. Kawan-kawan saya di gampang aja dapat piala, juara harapan juga dapat piala. Saya kebetulan ga pernah dapat piala, juara paling dapat buku.

Kenapa itu yang paling berkesan? Karena ternyata puisi, yang dulu saya tidak tau apa itu puisi. Saya dapat uang satu juta, lalu saya dapat piala pertama dalam seumur hidup saya. Dan saya yang dari dulu pengen masuk Koran, ga tau bagaimana caranya masuk X-Pressi, sebuah rubric mingguan. “Oh keren-keren banget ya anak-anak berprestasi masuk X-Pressi” nah ternyata puisi lah yang membuat saya benar-benar diwawancarai. Masuk Koran gitu. Itulah bagi saya pencapaian yang menurut saya bikin shock. Dari situ, ya ternyata puisi itu keren banget!

Inspirasi anda dalam berpuisi?
Dulu saya punya buku puisi dari guru saya, itu ada beberapa opsi yang dikasih ke saya. Tapi saya memilih D.Zamawi Imron Refrein di Sudut Dam.Saya mengambil buku itu juga ga tau, karena saya bilang “Ketika saya baca puisi itu saya pusing, ga paham artinya, itu pertama,” nah kedua yang membuat saya bahagia denga buku puisi adalah karya Cecep Syamsul Hari judulnya Efrosina. Satu kala saya menjadi Gharim di Pasir Pangaraian di Masjid Annur, Sebelumnya ada abang-abang yang tinggal disitu, mungkin dialah yang membawa buku itu.Mungkin.Karena di buku itu tercetak stempelnya SMAN 1 Rambah.Nah, buku itu sebenarnya buku pemerintah.Disitu saya menemukan iamjinasi-imajinasi, kayaknya seperti sihir-sihir.Saya yang kekanak-kanakan bahagia menemukannya, ketidakmungkinan dalam puisi itu.

Kesibukan anda apa saja di bidang puisi?
Kalau di bidang puisi, karna saya selalu menyeimbangkan tiga hal ,pertama, terbit di media. Jadi saya tidak akan berhenti mengirim di media. Kedua, menang lomba. Lomba-lomba tertentu, meskipun diantara ketiga itu mungkin lombalah yang paling sedikit persenannya sekitar 30%. Ketiga, punya buku, jadi menulis puisi fokusnya itu. Selain mengurus anak-anak di Competer.

Competer ini juga selain Competer dunia nyata juga dunia maya.Dan saya juga punya banyak murid. Bahkan yang sudah ibu-ibu, yang mereka tidak ada atas nama komunitas, hanya pengen menulis puisi.

Hal apa yang mendasari anda membuat komunitas?
Karena saya punya kegilaan-kegilaan dan saya tidak puas dengan apa yang diberikan komunitas. Saya punya beberapa komunitas-komunitas menulis, misalnya dulu saya tergabung di AKLaMASI khusunya berita, FLP fokusnya ke Cerpen dan sebaginya.

Saya terlanjur berjanji dalam diri saya, bahwasannya saya akan menjadi sesuatu melalui menulis puisi, dari janji saya kepada Muhammad Abu Bakar guru saya yang di Pesantren.

Jadi, karena itulah saya merasa tidak bebas, saya merasa di kekang-kekang, karena saya memnag jiwanya pemberontak.Itulah saya jadikan komunitas.

Kesibukan selain di Competer?
Jadi dari kecil saya suka bahasa inggris, sebelum saya suka puisi saya suka bahasa inggris.Tapi karena dunia sastra itu lebih elastis.Tapi saya sekarang tetap suka bahasa inggris kok, dunia bahasa inggris masih belum berjarak dengan saya.
Dunia saya seperti amfibi, bahasa inggris dan sastra. Saya masih mengajar di SmartfastEducation, lembaga pendidikan multipropesional satu tahun. Saya ngajar D1 english for airline atau English penerbangan.
Untuk merangkul anak-anak yang baru ingin menulis dan tidak takut dan dia memupuk rasa percaya dirinya, itulah kenapa saya membuat sebuah redaksi Sayap Kata, saya menerima karya-karya teman-teman khususnya puisi.Kenapa tidak cerpen dan yang lain-lain?karena saya ingin fokus, kemudin saya sebarkan dan itulah ketika karya teman-teman saya bisa follow-up meskipun tidak secara langsung mungkin dibalik layar orang-orang gak tau kita diskusi apa.

Pesan anda kepada pemuda agar mencintai sastra?
Orang-orang kan menganggap sastra itu monster ya, orang-orang pada takut sama sastra “Apasih puisi alay banget, ngapain baca-baca cerpern baca komik aja ga jelas.”Orang-orang sibuk dengan gambar-gambar.Itulah yang kemudian membuat Indonesia dalam hal membaca ketinggalan.Coba kita lihat di Jepang, di negara-negara maju atau misalnya Amerika.Orang di toilet aja bawa Koran, sambil nunggu ga mau diam-diam aja gitu.

Saya sempat beberapa kali baca buku itu ketika saya dalam bus, saya berdiri gitu, mata-mata kayaknya aneh gitu.Tapi inilah saya, biarlah aneh.Kalo saya terus-terusan juga nanti kamu mikirnya ga aneh.

Pesan saya kepada pemuda pada dunia sastra, sastra itu asyik loh.Kalo kamu yang dulunya kasar, amburadul, kamu bisa menjadi anak yang tersusun melalui sastra. Kamu yang tadi ngakunya anaknya goblok, ya sastra itu kan elastis banget. Kamu yang tadinyaga pinter matematika, di sastra bisa. Kamu yang tidak pintar bahasa, nah karena melalui sastra kanbelajar melalui bahasa.

Ternyata bisa.Karenakan sastra bukan milik anak bahasa Indonesia, bukan milik orang-orang yang ngaku cinta buku saja. Siapapun bisa!.“Dari arah manapun kaki bertolak, pintu-pintu sastra selalu siap dimasuki”.Jadi ga usah takut sastra.

Oleh : Reporter AKLaMASI, Ade Kurniawan Siregar dan Sofiah
Editor : Rifal Fauzi
Foto : Dokumentasi Pribadi Muhammad Asqalani eNeSTe

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *