Pro Kontra Penyebab LGBT.

Ada perbedaan mengenai penyebab terjadinya Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender, (LGBT) pada seseorang. Seperti yang dikatakan dalam Koran Tempo, Kamis, 14 Juni 2012, dimana sang penulis, H. Soewandi berargumen bahwa LGBT adalah gangguan seksual yang perlu disembuhkan.

Dr.Zakir Naik juga dalam channel Dakwah, mengatakan LGBT (khususnya gay) merupakan penyakit seksual.

Hal ini berbeda dengan yang disebut oleh The American Psychiatric Association (APA) dan World Health Organization(WHO) pada 1973 bahwa homoseksualitas tidak termasuk daftar penyakit psikologis dan juga Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Edisi II (PPDGJ II) yang diterbitkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1983, menyebutkan bahwa orientasi seksual bukanlah suatu gangguan.

Mengenai hal tersebut Dosen Psikologi UIR, Lisfarika Napitupulu, mengatakan kedua hal tersebut adalah benar tergantung siapa yang bicara dan dan tujuan ia mengatakan hal tersebut, sewaktu diwawancara (14/3) di Fakultas Psikologi UIR.

Lisfarika mengatakan dalam Diagnostic and Statistical Manual (DSM), buku pegangan dan panduan para psikolog, LGBT dikatakan sebagai penyakit psikologis. Namun pada DSM yang ketiga terdapat revisi pada DSM, dimana LGBT tidak lagi disebut penyakit psikologis melainkan penyakit genetik, dimana hal tersebut adalah bawaan dia lahir.

“Namun ternyata yang mengevaluasi DSM ketiga adalah para aktivis dan Ilmuwan LGBT.” tambah Lisafarika.

Dalam Blog Iwan Yulianto dikatakan bahwa yang pertama kali memperkenalkan istilah gen gay
,artinya penyakit gay adalah penyakit genetik, adalah Magnus Hirscheld, seorang Ilmuwan Jerman pada 1899 dimana Ia menyatakan bahwa gay itu bawaan dari lahir.

Ia pun menyerukan persamaan hukum untuk kaum homoseksual. Hal ini diaminkan oleh Dean Hammer, seorang peneliti, menyatakan ada satu gen gay yang melekat di kromosom Xq28.

Selain itu Lisfarika juga menambahkan bahwa beberapa orang LGBT itu adalah orang cerdas, mereka belajar dengan sebaik-baiknya , hingga berada di posisi penting, itu sebabnya mereka bisa melakukan revisi pada DSM, dan melobi pada beberapa petinggi negara, hingga akhirnya beberapa negara mulai melegalkan hal tersebut.

“Tapi kemudian terdapat kelompok yang menentang hasil riset yang dilakukan Ilmuwan LGBT tersebut,” jelas Lisfarika. Menurut Lisfarika yang menentang hasil riset tersebut adalah mereka yang kontra pada LGBT, “mereka menentang dari cara metode penelitian yang mereka gunakan itu tidak tepat, seperti subjek, sampel, alat ukur, dan validitas alat ukur,” tambahnya.

PENYEBAB

Ada beberapa penyebab yang dikatakan Lisfarika, yaitu lingkungan, pola asuh sejak kecil, kemudian komunitas pada remaja. Mengenai pola asuh ia mencontohkan seorang anak perempuan yang melihat Ibunya selalu dibentak, selalu dimarahi, dan bahkan mendapat pukulan oleh ayahnya.

“Hal itu membuatnya berpikir, ahh aku malas jadi perempuan selalu tertindas dan tersakiti,” terangnya.

Sedang pada remaja hal itu bisa menjadi gaya hidup. “Mirip rokok, jika kamu tidak seperti ini kamu tidak keren.” Terangnya. Sedangkan Trauma psikologis, misalnya dia pernah punya relasi dengan lawan jenis kemudian dari lawan jenis tersebut ia merasa dikecewakan dan mendapat trauma, kemudian dia menemukan sahabat, dia curhat dan dia merasa nyaman.

BISAKAH SEMBUH?

Lisfarika juga menambahkan mereka yang terkena LGBT tidak mau dikatakan sembuh bahkan kata sembuh merupakan kata yang sensitif bagi mereka sebab mereka merasa tidak sakit. “ohh aku bukan sakit kok kenapa harus sembuh” ujarnya. Menurut lisfarika mereka lebih ingin ketertarikan seks mereka kembali pada heteroseksual, namun hal tersebut membutuhkan waktu yang lama,

“Untuk sembuh bisa, asal Ia berkeinginan kuat untuk sembuh dan lingkungannya membantu Ia untuk sembuh,” tambahnya.

“Kasus yang pernah didapatkan Lisfarika adalah seorang gay menemuinya untuk sembuh, kemudian pasangan, partner, yang ditinggalkan mencari orang lain, mereka yang lemah, tidak berani mengambil keputusan, dan mereka yang tidak independen.” tutupnya.

Oleh : Reporter AKLaMASI, Rifal Fauzi.
Editor : Redaktur Online AKLaMASI
Foto : www.tcd.ie

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *