Ada Apa dengan Perpustakaan?

Ketika akan menyambangi perpustakaan Universitas Islam Riau (UIR), yang terletak di lantai dua Gedung Rektorat. Di pintu masuk tata letak sudah banyak berubah, ada pita merah setinggi pinggang jadi pembatas antara tempat registrasi masuk dan tempat peminjaman di sebelahnya. Satu komputer terpacak disitu, menggantikan buku panjang yang dulu digunakan untuk mendata nama-nama pengunjung.

Bukan cuma letak, administrasi juga berubah. Anda belum diperbolehkan masuk, jika tidak mempunyai kartu perpustakaan. Kalau tidak punya, lebih baik berpikir ulang untuk datang ke perpustakaan.

Sustriyanto, mahasiswa Fakultas Ilmu KIomunikasi punya cerita. Ia bersama beberapa teman mengunjungi perpustakaan, mereka semua pegang kartu kecuali Sustriyanto. Ia berhasil melenggang masuk tanpa ditegur petugas. Petugas itu biasanya duduk di posisi kanan saat anda masuk perpustakaan. Tapi ketika keluar, dan akan masuk lagi, ia dicegat oleh petugas dan menanyakan kartu anggota. Sustriyanto menerangkan bahwa ia hanya mengerjakan tugas di perpustakaan dan tak meminjam buku. Setelah beberapa waktu akhirnya ia boleh masuk.

Sustriyanto sedikit mujur hari itu. Saya bahkan harus balik badan keluar dari perpustakaan.

Mahyulis, kepala perpustakaan UIR menampik pandangan tersebut. Menurutnya aturan yang dibuat sekarang ini berguna sebagai absen pengunjung yang datanya akan terhubung ke perangkat digital perpustakaan. Tujuannya adalah sebagai laporan pengunjung perpustakaan nantinya digunakan untuk akreditasi universitas. “…jadi tidak ada absennya (manual) cukup kita lengketkan.”

Dan mahasiswa yang tidak mempunyai kartu, menurutnya tetap boleh masuk ke perpustakaan.

Tapi benarkah persoalan perpustakaan sebatas perkara teknis seperti itu? Apakah ini hanya jadi urusan pustakawan lalu kemana para dosen, peneliti, mahasiswa sendiri?

Tarli Nugroho (2014) dalam tulisannya menjajakan minat baca menafkahi tradisi intelektual mengibaratkan sebuah perpustakaan sebagai jantung dan universitas adalah tubuh. Tubuh tak akan hidup tanpa jantung yang secara alami pemompa darah keseluruh tubuh. Tanpanya tubuh hanyalah seonggok benda mati.

Mudah saja mencari gejalanya, pengelolaan perpustakaan sejauh ini hanya sebatas hitungan angka-angka kuantitatif. Misal, berapa banyak pengunjung dalam sebulan, penambahan buku-buku, tempat peminjaman buku. Pustakawan hanya sibuk mengurusi hal-hal manajemen di luar urusan perbukuan. Seorang teman, baru rajin mengunjungi perpustakaan saat akan mengerjakan skripsi. Ia biasanya lebih memilih duduk di kantin.

Perkara “membenahi” perpustakaan adalah urusan seluruh elemen akademik di satu kampus. Lalu, kenapa pandangan urusan perpustakaan hanya urusan pustakawan ini bisa terlalu lama dibiarkan. Untuk ini kita harus membalik pandangan yang sudah mapan ini menjadi sebuah kesadaran bersama. Sebuah kesadaran bahwa kampus sebagai tempat ilmu diteliti, dikaji dan diperdebatkan dalam forum akademik dan disebarluaskan. Peran non-teknis dari perpustakaan inilah didapat titik temu dengan kampus sebagai lembaga ilmu.

Dalam hal yang disebut diatas itulah, peran perpustakaan memainkan fungsinya.

Bagaimana gairah mahasiswa dalam membaca, diskusi, menulis? Tidak ada. Yang ada hanya politik praktis. Ribut soal pemerintahan mahasiswa, seolah paling tahu bagaimana harusnya mengatur mahasiswa. Padahal kepala mereka kosong, yang ada cuma bagaimana memanfaatkan keaktifan di organisasi kampus untuk mendekati calon politikus dan uang.

Lalu dimana peran dosen, selain sebagai pengajar juga melakukan penelitian. Kita hanya menjumpai dosen-dosen yang mampu menggarap diktat-diktat untuk dijual kepada mahasiswa, lain tidak. Jangan berharap ada penelitian. Kalaupun ada, kelompok dosen yang sadar akan peran dan tugasnya ini amat kecil.

Tak perlulah kita bicara tentang intelektual-intelektual kampus, sebelum lahirnya kultur akademik. Semangat membaca, meneliti, mengkaji, menulis.

“Tanpa etos intelektual, pergulatan dengan buku hanyalah sekadar rutinitas akademik yang secara substansial tak berarti. Jika itu yang terjadi, yaitu kegiatan akademik telah menjadi rutin, maka integritas perguruan tinggi sebenarnya tengah terancam. Inilah yang akan membuat sebuah universitas kehilangan ruh…” tulis Tarli Nugroho.

Kampus dalam hal ini, hanya melahirkan sarjana-sarjana formal yang memiliki ijazah. Soal semangat etos intelektual jangan harap. Kita tak akan melihat adanya etos intelektual dan mengharap para sarjana yang mengubah hanya tinggal kenangan.

Penulis : Wahid Irawan
Foto : Sofiah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *