Menyemat Semangat Di Pangkalan

Dinding rumah dari papan bekas pohon meranti itu masih berlumpur, lantai rumah dipenuhi lumpur warna coklat pekat dengan rerumputan yang ikut melekat. Baju-baju yang tergantung di tali yang melintang dari sisi kiri dinding dapur ke sisi kanan pun sudah terjatuh, menyatu dengan lumpur, rumput, bekas amukan banjir di Desa Jurang Lubuk Nangko.

Awal Maret lalu aku dan teman-teman berangkat ke salah satu desa korban banjir, di Jalan Nasional Pangkalan Sumbar. Dengan satu mobil dan lima motor, kami menempuh  perjalanan selama lima jam. Teman-teman yang pergi menggunakan sepeda motor basah kuyup karena kehujanan di perjalanan.

Setelah sampai di Pangkalan Sumbar, kami beristirahat di rumah ibu angkat Fajri. Pukul dua dini hari, kami menghangatkan badan di ruang tamu dengan menyeruput teh dan makan kue yang dihidangkan ibu Fajri. “Besok kita mau ngapin dulu? liat lokasi longsor, atau langsung antar sembako untuk korban?,” aku melempar pertanyaan.

Dengan badan masih menggigil kedinginan, Age menjawab “kita antar sembako dulu, habis itu langsung kita lihat-lihat lokasi bencana.” Kami pun mengiyakan saran Age lalu segera tidur.

Adzan subuh sudah berkumandang. Suara Oky membangunkan kami untuk pergi solat ke mesjid. Dengan mata yang masih mengantuk kupaksakan kaki melangkah. Belum jauh berjalan, mataku tiba-tiba melihat sesuatu “bung Oky, lihat tu, rumah nyo masih balumpua.” Dengan logat minang yang tidak lancar aku menunjukan sebuah rumah yang masih berlumpur, akibat banjir dan longsor.

Usai membagikan sembako di lokasi pengugsian, rasa penasaran mendorong untuk berkeliling di lokasi bencana. “Pak, bisa tolong dampingi kami untuk lihat-lihat situasi lokasi pak?,” minta Abadi Anwar petugas sukarelawan. Lantas Anwar mengiyakan dengan senang hati.

Anwar menunjukkan rumah-rumah yang tiangnya sudah bergeser dan atap rumah bekas jamur air. Sekitar 1000 rumah warga terendam banjir, jamur-jamur air sungai masih membekas di antara dinding dan langit-langit rumah menandakan kalau banjir bukan setinggi lutut orang dewasa.

Sampailah kami di rumah Bu Siti. Ia menggedong anaknya yang masih balita lantas  memanggilku “dek, sini lah foto rumah ibuk.” Dengan kamera yang menggantung di leherku, kemudian mulai membidik setiap sudut gambar rumah Bu Siti.

Dari pintu, terlihat semen halus di lantai masih menyisakan debu lumpur yang baru saja disapu Bu Siti. Ada seorang remaja lelaki dan anak perempuan usia 13 tahun. Lelaki tua, yang merupakan ayah Bu Siti, duduk di antara tumpukan pakaian yang terlipat di atas kasur tipis bewarna maron. Didampingi istri yang sudah ikut beruban.

Di luar rumah, anak-anak yang berenang di atas kabel listrik yang padam. Para relawan yang datang dari berbagai daerah, menyapu sisa-sisa lumpur tebal di pinggiran jalan. Kami masih berkeliling sembari Bu Siti bercerita tentang kejadian waktu itu.

Sekitar pukul dua dini hari, air dengan arus kuat menghantam Desa. Anak laki-laki Bu siti yang menyadari bahwa badannya sudah terendam hampir setengah badan, langsung membangunkan seisi rumah yang tertidur lelap.

Semuanya panik, tak sadar air sudah sampai setinggi pinggang, Anak laki-lakinya mengambil tangga lalu menempatkannya di sisi langit-langit dekat dapur. Bu Siti mengangkat anak bungsunya menaiki tangga ke langit-langit rumah untuk menyelamatkan diri. Begitu pula anak perempuannya. Kedua orangtua Bu Siti yang tidak kuat lagi memanjat, mengharuskan anak laki-lakinya menggendong kakek lebih dulu. Memopong tangan, kemudian mengikatkan kain ke bahu lalu mulai menggendong sang kakek menaiki tangga yang lapuk. Begitu pula yang ia lakukan kepada neneknya.

Satu jam sudah air terus naik tanpa henti. Langit-langit loteng hanya bisa mengamankan mereka beberapa saat saja. Air perlahan sampai ke atasnya. Di sudut dinding ada bata yang sudah mulai lapuk, bata kemudian dipukul oleh anak laki-laki Bu Siti lalu terlihat sorot lampu bantuan dari warga. Dengan menggunakan sampan mereka sekeluarga dibawa ke tempat yang lebih tinggi.

Fajar menjelang ketika adzan subuh berkumandang. Para korban banjir masih berada di posko pengungsian. Air sudah mulai surut, dan para relawan sudah berdatangan. Berbagai media sudah memuat berita tentang banjir di Pangkalan, awak media dari berbagai media berdatangan untuk meliput.

Rumah buk siti baru bisa ditempati kembali sekitar empat hari setelah kejadian. Tidak ada barang-barang terselamatkan, semua rusak jadi bangkai berbalut lumpur. Kursi dan sofa dikeluarkan ditaruh dibawah sinar matahari berharap masih bisa digunakan. Sepeda motor anak laki-lakinya dibongkar, mungkin akan dijual batangan. “Hanya baju di badan ibuk ni saja harta yang selamat,” ujar Bu Siti.

Untungnya tidak ada korban jiwa pada kejadian ini, “ibuk sudah bersyukur masih diberikan keselamatan sama Allah, anak-anak selamat, kakek dan nenek pun selamat, walaupun harta benda banyak terendam banjir dan rusak.” Aku pun melangkah meninggalkan buk Siti dan melanjutkan berkeliling di Desa Jurong Lubuk Nangko.

Reporter : Rega Al Susar

Editor    : Laras Olivia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *