Nikmat dan Meriahnya Bahasa

Dalam obrolan santai, suatu malam di musim penghujan, saya penasaran bertanya pada teman-teman, selain bahasa Inggris bahasa apakah yang ingin mereka kuasai. Saya perlu bertanya selain bahasa Inggris karena bahasa Inggris adalah penghubung lintas negara untuk saling memahami. Hal ini bisa baik dan bisa menjengkelkan. Dominasi bahasa Inggris begitu mutlak dalam segala aspek pendidikan, sosial, budaya dan ini tentu sebuah kerugian bila menepikan bahasa lain yang tak kalah memberi pengaruh pada peradaban.

Dua lelaki dan satu perempuan. Kami, saya dan teman-teman, duduk hampir melingkar. Teman pertama yang pernah menetap selama satu tahun di kota Saga, Jepang, langsung mengutarakan bahasa Jepang. Menurutnya bahasa ini sangat ekspresif. Masyarakat Jepang yang ia temui dan dia ajak bercakap-cakap seperti punya kekhasan dalam mengutarakan perasaan dan pikiran mereka. Untuk memberi salam saja, mereka musti membungkuk.

Teman kedua, perempuan, mengatakan bahasa Jerman karena ia pernah mempelajari bahasa ini di sekolah menengah. Bahkan pernah memainkan sebuah drama dalam bahasa Jerman. Ia punya alasan untuk menekuni bahasa ini.

“Bahasa Jerman punya struktur yang lebih rumit,” katanya.

Nampaknya ia bersungguh-sungguh akan hal ini. Saat saya tanya bagaimana dia untuk terus bisa belajar bahasa Jerman padahal di kota tempatnya, tempat dimana saya juga tinggal, praktis tak punya kursus atau pusat kebudayaan Jerman. Membaca kamus, katanya.

Teman ketiga menjawab seperti jawaban teman pertama. Untuk ini ia selalu menonton anime dan kartun Jepang. Ia macam terasuki hantu kamen rider setiap kali saya lihat ia bergaya menirukan tokoh dalam film setelah menonton film itu. Supaya tak perlu pakai subtitle, katanya. Namun kini nampaknya ia lebih sering terasuki “arwah” Mael Bukan Kaleng-Kaleng karena begitu sering menirukan tokoh pujaannya.

Itu semua keinginan mulia dan perlu diupayakan sungguh.

Saat Belanda masih menguasai Hindia Belanda, Indonesia waktu itu, Bahasa Belanda jelas adalah bahasa “intelektual” yang mau tidak mau musti dikuasai agar lentur dan lihai dalam bergaul. Misi mereguk pengetahuan dengan mempelajari bahasa si Londo sudah pasti kunci pembuka pintu kearah pencerahan. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Agus Salim (si polyglot dengan lebih enam bahasa) adalah beberapa contoh manusia-manusia pencerah dengan penguasaan lebih satu bahasa. Bahkan Soewardi Soerjaningrat yang lebih kita kenal dengan Ki Hadjar Dewantara bikin Belanda kepanasan saat menulis dalam bahasa Belanda, esainya yang beken itu, Seandainya Saya Seorang Belanda.

Selain menguasai bahasanya si penjajah, mereka juga lihai dalam Inggris, Jerman maupun Perancis. Hal yang rasanya berat kita bayangkan dimiliki oleh generasi saat ini setelah berpuas diri hanya dengan omong Inggris-Amerika.

Ben Anderson dalam memoarnya, Hidup di Luar Tempurung yang memikat itu, memoar yang selalu saya baca berulang-ulang dan selalu terpana saat ia bercerita soal bahasa. Ben memang polyglot tulen meskipun bahasa ibunya Inggris, tapi ia lancar menulis dan bicara Indonesia yang sudah ia anggap bahasa kedua. Nampaknya sejak kecil Ben memang punya bakat bahasa. Di sekolah menengah Eton, ia belajar bahasa Yunani dan Latin kuno, Jerman, Perancis ditambah Rusia. Periode yang ia anggap saat pamor bahasa Jerman dan Perancis sangat mendominasi di dunia intelektual saat itu. Belum lagi ditambah penguasaannya akan bahasa Tagalog, Thai, yang ia kuasai karena memfokuskan penelitian disana. Satu kunci yang ia beberkan kenapa ia tidak kesulitan menguasai bahasa seperti Perancis, Spanyol adalah karena bahasa Latin. Latin induk bahasa-bahasa itu.

Untuk hal ini Ben, dalam memoarnya itu selalu mewanti-wanti agar anak muda selalu mempelajari bahasa-bahasa asing lain, untuk mengetahui bagaimana suatu masyarakat berpikir sekaligus mencecap rasa bahasanya dan belajar budayanya. Membaca buku salah satu jalan untuk bisa belajar sekaligus menikmati bahasa. Meskipun tak semua orang berpikir belajar bahasa akan digunakan untuk membaca. Biasanya lebih untuk alasan praktis seperti bercakap-cakap atau menawar suatu barang, itu sah-sah saja. Itu urusan mereka dan saya tak punya masalah dengan urusan orang lain.

Tapi pesan Ben dalam memoar itu masih selalu terngiang-ngiang di benak saya. Bahasa Inggris memang penting, tapi lekas jadi bahaya yang melenakan. Karena menurut Ben ada yang tak terkatakan dan terjemahkan dari suatu bahasa yang hanya bisa kita merasakan langsung bahasanya, bukan lewat terjemahan Inggris.

Ia menulis periode yang paling meriah dengan saling-silang bahasa dalam perjuangan anti Kolonial di Filipina di penghujung abad 19 dalam Di Bawah Tiga Bendera. Dengan tokoh kunci Isabelo de los Reyes maupun Jose Rizal. Kita bisa membayangkan betapa cairnya komunikasi antar mereka saat menulis surat dalam bahasa Inggris untuk orang Jepang. Menulis bahasa Perancis untuk orang Rusia. Menulis bahasa Spanyol untuk Perancis. Orang Filipina menulis bahasa Jerman buat sobat di Eropa sana. Sangat lentur dan meriah sekali, bukan.


Penulis:
Wahid Irawan, menetap di Pekanbaru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *