Riau Meneroka Industri Halal
Oleh: Oka Pringga
(Alumni UIR, Dosen di Universitas Muhammadiyah Malang)
Tempo hari saya membaca koran yang memuat berita serta tulisan mengenai penerapan UU JPH (Jaminan Produk Halal) No 33 Tahun 2014. Ini wujud dari perlindungan pemerintah terhadap konsumen yang mayoritas Islam. Tanpa mendiskriminasi konsumen, atau larangan bagi pekerja dengan kepercayaan lain di Industri makanan dan minumam. UU ini telah resmi dan wajib diberlakukan sejak 17 Oktober 2019.
Ada tiga point utama, pertama BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) di bawah Kementerian Agama mengambil alih wewenang MUI untuk sertifikasi dan uji produk halal. Kedua, seluruh pedagang makanan dan minumam wajib memiliki sertifikat halal. Ketiga, BPJPH dapat menjalin kerjasama dengan universitas di seluruh Indonesia sebagai laboratorium pengujian lokal dan tenaga ahli (dosen atau teknisi laboratorium) sebagai auditor halal.
Forum-forum diskusi yang pernah saya hadiri, lebih sering membahas kesiapan institusi dari segi SDM (riset dan lokakarya), infrastruktur laboratorium (ketersediaan alat dan sertifikasi SOP pengujian), serta sosialisasi petunjuk teknis pelaksanaan UU. Hal ini juga sejalan dengan agenda pemerintah tentang pengembangan destinasi wisata halal. Dapat disimpulkan bahwa 60% kondisi di daerah pulau Jawa siap dalam menjalankan UU JPH. Tapi bagaimana dengan daerah lain seperti Kalimantan, Papua, Sumatera dan Sulawesi?
Secara khusus saya ambil contoh di Riau, sebab tahun lalu saat saya mudik ke Pekanbaru saya sering melihat baliho ‘Riau the homeland of melayu’ atau Riau rumah tanah melayu secara harfiah dapat diafiliasikan Riau daerah Islam otentik. Selain itu, potensi lokal industri halal pada sektor wisata dan makanan jika dilihat dari jumlah penduduk Islam mencapai 87% dari 8 jutaan penduduk Riau. Lalu, faktor geografis berdekatan negara Kerajaan Islam Malaysia menjadi faktor pendukung. Potensi ini akan jadi keuntungan jika dikemas secara baik atau akan jadi racun penyesalan. Seperti durian, lebih dikenal Musang King Malaysia daripada Tembaga khas Riau.
Di awal tahun ini Gubernur telah mengeluarkan Pergub terkait zona wisata halal, yang diadopsi dari agenda pemerintah pusat. Keinginan itu, secara langsung, saya belum melihat euforia persiapan di jalan-jalan protokol, pemberitaan atau iklan media masa atau karya hasil penelitian dalam bentuk buku maupun jurnal ilmiah.
Sejatinya, Gubernur perlu bermitra dengan pihak Universitas Islam yang ada di Riau guna mendukung agenda pengembangan industri Halal. Itu akan lebih effisien anggaran dari segi pengelolaan dan meningkatkan pengembangan SDM lokal. Dalam bentuk dana hibah atau penyediaan infrastruktur pendukung guna melakukan kajian, penelitian, pembangunan sarana-sarana wisata halal dan program pendampingan UMKM berbasis halal.
Kemudian, dipertegas dengan agenda MoU bersama perusahaan perhotelan dan travel. Untuk itu gubernur perlu bermanuver lobi-lobi politik ke pemerintah pusat agar pembentukan skema industri strategis halal di Riau bisa terealisasi. Inilah ekosistem yang perlu dibentuk untuk memboyong investor baru datang.
Momentum ini juga perlu disambut positif oleh Universitas Islam baik swasta atau negeri untuk mulai mempersiapkan industri halal 4.0. Dimulai dari meningkatkan penelitian pada bidang halal, lalu dilanjutkan dengan menambahkan kurikulum berbasis halal pada materi perkuliahan.
Selanjutnya, mendirikan lembaga sertiffikasi profesi sebagai auditor dan penyelia halal. Bahkan akan lebih baik jika ada konsorsium Halal Center, gabungan beberapa universitas yang kelak akan jadi laboratorium pusat penelitian dan industri pengembangan produk halal. Pada era distrupsi perlu lebih banyak kolaborasi yang dilakukan ketimbang memenuhi agenda individual.