Revisi Untuk Melumpuhkan KPK?
Oleh: Endang Suparta
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau)
Meski menuai kontroversi akhirnya Revisi UU KPK resmi diberlakukan dan dimuat dalam Lembaran Negara sebagai Undang-Undang No. 19 Tahun 2019. Dengan diberlakukannya UU tersebut sebagian kalangan menilai keberadaannya akan memperlemah bahkan dianggap bisa melumpuhkan KPK. Dalam catatan KPK, terdapat 26 poin permasalahan, mulai dari posisi KPK yang berada dibawah rumpun eksekutif, dihapuskannya kewenangan cekal yang dimiliki penyelidik, keberadaan Dewan Pengawas yang mempunyai kewenangan masuk dalam teknis penanganan perkara seperti memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan, Ketidakjelasan Status Pegawai KPK sebagai Aparatur Sipil Negara, adanya kewenangan SP3 terhadap perkara yang tidak selesai penyidikannya dalam jangka waktu 2 tahun, hingga kewenangan supervisi yang dilucuti dan berbagai kewenangan lainnya yang dipangkas.
Dengan berbagai permasalahan yang diadopsi oleh Revisi UU KPK, dikhawatirkan kedepannya KPK tidak ubahnya sama seperti penegak hukum lainnya yang mandul dalam pemberantasan korupsi, padahal sejatinya dibentuknya KPK adalah karena tidak efektifnya lembaga penegak hukum lainnnya dalam memberantas korupsi. Ketidak efektifan tersebut salah satunya disebabkan karena ketidak seriusan dan tidak independennya, sehingga ketika itu muncul gagasan untuk membuat sebuah lembaga baru yang fokus dan independen dalam pemberantasan korupsi lengkap dengan segala kewenangan mumpuninya.
Motif DPR
Kini apa daya, kewenangan KPK sudah dilucuti. Presiden yang awalnya diharapkan menyelamatkan KPK dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tidak jua mengambil tindakan. Upaya mengumpulkan aktifis dan tokoh di istana, oleh sebagian kalangan dianggap sebuah bentuk pemberian harapan palsu kepada publik, mengingat ketika itu sebagian besar aktifis yang hadir menyarankan agar Presiden menerbitkan Perpu. Kini, apa boleh dikata, sikap Presiden tersandera oleh sikap partai politik pendukung yang kesemuan ya setuju akan Revisi UU KPK. Presiden terlihat gamang dan tak berdaya sekalipun publik diberbagai daerah menyuarakan penolakan terhadap Revisi UU KPK.
Penolakan publik beralasan dikarenakan adanya kecurigaan akan motif DPR yang begitu antusias merevisi UU KPK, mengingat sejak KPK berdiri hingga bulan Juni 2019, berdasarkan keterangan Ketua KPK Agus Raharjo, dikutip dari detik.com, KPK sudah menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR/ DPRD sebanyak 255 perkara dan melibatkan kepala daerah yang sebagian besarnya adalah kader partai sebanyak 110 perkara. Banyaknya anggota dewan dan kader partai yang dijaring KPK tentu saja menimbulkan tanda tanya besar adakah kaitan revisi dengan sikap garang KPK memberantas korupsi.
Tidak dapat dipungkiri, keberanian KPK menyentuh Koruptor kelas kakap di DPR yang melibatkan Ketua DPR kala itu dengan kerugian keuangan negara mencapai Rp. 2.3 Triliun (Kompas.com), tentu saja menjadi pukulan telak dan mempermalukan DPR secara kelembagaan sebab pimpinan tertingginya terjerat korupsi, hal inilah yang semakin memperkuat dugaan seakan ada dendam terselubung DPR terhadap KPK, dengan melumpuhkan berbagai kewenangannya.
Target Revisi
Salah satu kewenangan yang seolah menjadi target DPR untuk direvisi adalah terkait Penyadapan. Beberapa kali rencana revisi yang digulirkan oleh DPR selalu menguliti persoalan penyadapan sebagai prioritas utama pembahasan, apakah entah karena banyaknya politisi yang tertangkap akibat kewenangan yang dimiliki tersebut atau karena memang kewenangan tersebut sudah selayaknya diawasi dan diperketat?.
Dalam dasal 12B Revisi UU KPK disebutkan untuk dapat melakukan penyadapan harus mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Yang menjadi kekhawatiran publik adalah adanya birokrasi yang berbelit untuk mendapatkan izin penyadapan, kekhawatiran bocornya informasi penyadapan kepada Subjek yang akan disadap atau dalam hal tertentu tidak diizinkannya KPK menyadap oleh Dewan Pengawas. Kekhawatiran tersebut beralasan sebab posisi Dewan Pengawas yang sangat kontroversial mengingat dalam Pasal 69A Revisi UU KPK menyebutkan untuk pertama kali Dewan Pengawas diangkat dan ditunjuk oleh Presiden.
Pengangkatan dan penunjukan Dewan Pengawas oleh Presiden dinilai sebagian kalangan akan rentan disusupi oleh kepentingan, terlebih posisi strategis Dewan Pengawas yang sangat menentukan diizinkan atau tidaknya penyadapan. Tentunya hal ini akan menimbul persoalan baru, KPK dikhawatirkan tidak lagi mampu melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) seperti biasanya.
Dalam catatan KPK (detiknews.com), tahun 2016 KPK berhasil melakukan OTT sebanyak 17 kasus, tahun 2017 sebanyak 19 Kasus, dan Tahun 2018 sebanyak 28 kasus, sedangkan untuk tahun 2019 sampai bulan Oktober sudah lebih dari 20 kasus. Banyaknya tangkapan tersebut membuktikan bahwa penyadapan sangat mumpuni untuk menangkap koruptor, tak terbayangkan bila penyadapan harus melalui mekanisme yang berbelit dan melibatkan Dewan Pengawas, akankah KPK masih bisa OTT? Apakah KPK masih mampu menangkap para koruptor kelas kakap seiring keberadaan Dewan Pengawas? entahlah.
Kedepannya, saya berharap meskipun terkesan terlambat, agar Presiden segera menerbitkan Perpu, supaya KPK secara kelembagaan tidak terlemahkan dan terselamatkan, dengan jalan mengembalikan kewenagan KPK seperti sedia kala sehingga KPK tetap semakin garang menangkap para koruptor yang menggerogoti bangsa ini.